Home - Orang-orang Terasing

Orang-orang Terasing

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Kemarin siang kubaca narasi tentang Widji Thukul. Seorang penyair “kiri”(begitu setidaknya label “hadiah” pemerintah waktu itu) anggota Partai Rakyat Demokratik yang hingga kini tak ditemu rimbanya. Ia adalah bunga perlawanan yang tumbuh mekar semasa Reformasi 98. ”Seumpama bunga, kami adalah bunga yang tak kau kehendaki tumbuh” ungkap serpihan sajaknya yang berjudul “Bunga dan tembok.”

Diceritakan bahwa ialah penyair yang dalam masa-masa terakhir kepemimpinan Soeharto berani lantang menentang represifitas pemerintah. Moment mula kisahnya bermula tatkala kerusuhan Kudatuli (kerusuhan 27 juli 1996). Kudatuli adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi di kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia (DPP PDI) Jakarta.

Kerusuhan pecah sebab adanya penyerangan dari kelompok simpatisan PDI kubu Soeradji (ketua umum PDI versi kongres Medan) pada Mimbar Bebas yang diselenggarakan di DPP PDI Jakarta. Latar belakangnya ialah perebutan kepemimpinan PDI antara kubu Megawati vs kubu Soeradji. Belakangan baru diketahui campur tangan Soeharto adalah dalang dibalik kejadian. Dengan dibantu Militer, PDI kubu Soeradji menyerang kantor DPP PDI Jakarta yang waktu itu diduduki kubu Megawati.

Selanjutnya, tanpa diketahui asal-usulnya, berhembus kabar bahwa PRD adalah dalang dibalik kerusuhan. PRD sendiri pada waktu itu belum seumur jagung, karena Manifestonya baru saja dideklarasikan lima hari sebelumnya, 22 juli 1996-dari manifestonya bisa dilihat secara kasat mata kontra pada pemerintah Orba. Sejak itu, militer terus memburu setiap oknum yang disinyalir anggota PRD serta yang terlibat dalam Kudatuli.

Widji Thukul, anak dari keluarga tukang becak di Sorogenen, Solo. Sejak itu dipaksa hidup dalam pelarian dan persembunyian, menghindari Sweeping yang dilakukan militer. Dalam pelariannya, pernah ia singgah di Salatiga, Jogja, Magelang, Jakarta hingga Kalimantan. Kebanyakan dalam pelarian ia mengungsi di tempat kenalan serta kawan sesama aktivis Pro-Demokrasi.

Kejelasan hilangnya Widji Thukul pun baru disadari publik pasca peristiwa Mei ’98, setelah berselang beberapa waktu masih tak ditemui keberadaannya dimana. Beberapa orang kawan hingga organisasi telah berusaha mencari, tetapi hasilnya nihil. Hingga tahun 2000 ia resmi dinyatakan sebagai orang hilang.

Ia hilang ditelan keadaan. Setelah berbulan, mungkin juga tahun mencari aman. Diceritakan, ketika “mengungsi” ditempat kawannya sesama aktivis, sering ia disembunyikan dalam ruang gelap. Demi menghindari “sinyal” adanya kehidupan tak jarang ia hanya berdiam dalam ruangan, tanpa teman bicara, tanpa lampu, juga rokok. Keadaan seperti itu bisa berjalan selama berhari-hari bahkan minggu, sebelum ia kembali berpindah persembunyian di kota hingga pulau lain.

Dari belahan negeri lain, cerita kedua berawal dengan penggalan puisi; Paris/Dulu kau pernah tak kugubris/tapi kini mengalir aku diurat darahmu/bersarang aku dijantungmu. Sobron Aidit, begitu nama penulis penggalan puisi diatas. Potongan nama yang terakhir mungkin tak begitu asing ditelinga kita, mengingatkan pada pemimpin organisasi yang menjadi momok dalam ingatan masyarakat Indonesia semasa orde baru, PKI (Partai Komunis Indonesia).

Yah, ia tak lain adalah saudara muda D.N Aidit, almarhum telah meninggal tahun 2007 lalu, di usianya yang ke-73, jauh dari kampung kelahirannya Belitung, Paris. Sebagian besar hidupnya ia habiskan dalam keterasingan. Setelah menetap di Beijing selama beberapa tahun ia kemudian pindah ke Paris. Sobron tak bisa pulang, kampungnya telah jadi tanah terlarang baginya sejak  30 september ‘65, semenjak Soeharto berkuasa.

Dalam puisi berjudul “Parisein” itulah Sobron menceritakan kisahnya. Asingnya pada negeri yang ia tempati, Perancis, serta terasingnya ia dari negerinya sendiri, Indonesia. Sebagai seorang komunis, mungkin tak pernah terlintas dalam fikirnya untuk menetap di Paris, jantung kapitalis. Tapi, mungkin itulah inti sebuah keterasingan, tak ada pilihan.

Pun kita sendiri merasa asing tatkala mendengar nama Sobron serta daftar nama lain seperti; A. Kembara, Agam Wispi, Chalid Hamid, Kuslan Budiman, dan Soepriadi Tomodihardjo. Hanya penggalan kisahnya bisa kita tangkap dari serpihan beberapa puisi, dalam Pinang Agam Wispi berdeklamasi “Hai perantau/dari mana kau?/dari mana saja aku mau/melekat jadi debu.” Dalam buku Di Negri Orang, kumpulan Puisi Penyair Indonesia Eksil (2002) memuat beragam untaian “keterasingan” orang-orang terbuang. Juga kerinduan akan tanah kelahiran yang mulai memudar bayangannya di ingatan.

Kini, setelah 48 tahun berlalu (terhitung sejak 30 september 1965) semua nyanyi sunyi ini kian terasa asing. Kalaupun ada cerita, ialah cerita yang sumbang tuna kejujuran. Kita masih “takut” pada ingatan-ingatan masa lalu tentang Gestapu, yang sebenarnya kini kita semua telah tahu hanyalah fiksi Orde Baru.

Hari ini, dari tiga harian besar nasional (berinisial KP, RP dan JP) yang saya tengok, dua diantaranya samasekali tak membahas tentang peristiwa yang berlangsung pada esok  fajar, 48 tahun lalu itu. Hanya JP yang sedikit menulis tentang tidak pentingnya peringatan G30S/PKI, itupun kolomnya tak lebih besar dari gambar pose seksi Girl Band JKT 48 dihalaman berikutnya.

Bermula pada ’65, berujung ’98. Masa selama 32 tahun serasa hilang dirtelan gelap malam bernama Orde Baru. Mungkin hanya berkas-berkas ingatan yang dimanipulasi wacana rezim Soeharto itu. Hingga kini, kita yang berdiri disini, linglung mengais-mengorek jatidiri.

Kuingat seorang muda, waktu semasa itu ia seumuran denganku, ia menulis,“lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan”-Gie. @ jamaludin_ahmd