Home - Garis Tepi Bermunajat

Garis Tepi Bermunajat

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi diambil dari http://inspirasiislami.com/

Oleh: Zainuddin Muza*

Percaya akan terimanya doa adalah kunci utama dalam bermunajat, tapi mengapa Lipi tetap tidak percaya? Bahkan ia menganggap petuah itu hanya dongeng. Dongeng yang tak seharusnya ia percaya sebab itu hanya fiktif.

“Tidak masuk akal,” pikirnya.

Pantas saja hidup Lipi selalu susah. Padahal ia telah beberapa kali mendengarkan  ceramah agama di masjid-masjid. Sama sekali tak berpengaruh padanya. Ia tetap saja mempertahankan pendapatnya bahwa berdoa itu harus khusyuk, sementara dirinya tak mengerti pengertian khusyuk sebenarnya apa.

Munal sebagai istrinya menyangka sikap suaminya itu. Berulang kali ia mencoba menegurnya agar tetap percaya bahwa doanya akan diterima. Anggapan Munal, Lipi itu masih ragu-ragu dalam hal keyakinan. Hal itu dikarenakan suaminya itu dari kecil tak pernah percaya pada dirinya sendiri. Bahkan ketika ingin menikah saja, ia yang memaksa agar yakin bisa bahagia. Dan setelah menikah, kenyataannya memang tidak bahagia. Nah, mungkin faktor itulah yang mendorong suaminya tetap tidak meyakini bahwa berdoa harus percaya doanya akan diterima.

Di tempat ibadah, di salah satu kamarnya Munal berjamaah pada Lipi. Setelah salam, pasti ia selalu menepuk pundak suaminya itu.

“Mas, harus yakin biar diterima. Itu kunci diterimanya suatu doa,” ujarnya sehabis Lipi mengucapkan salam dalam shalatnya.

“Iya, iya,” gerutunya.

“Loh, mau berdoa kok marah-marah, Mas. Mana mungkin doamu bisa diterima.”

“Katanya harus percaya. Setelah aku percaya, kok malah mengomeli!”

“Ya, harus ikhlas, Mas!” kata Munal sedikit kesal. Lalu ia beranjak dari ruangan itu, tempat bersembahyang. “Sebaiknya Mas harus banyak lagi belajar berdoa. Tuh, banyak buku Rudi dan Rara yang mengajarkan cara berdoa yang baik dan benar.”

Lipi hanya diam seraya menggerutu dalam hati. Menghela napas panjang seraya mulai mengangkat tangan dan berdoa. Berpura-pura, agar terlihat Munal meyakini bahwa ia telah percaya doanya akan terkabul. Padahal tidak. Perkataan istrinya selama ini tetap tak berpengaruh padanya.

Malah Lipi menambah shalat wajib lima waktu menjadi tujuh kali sehari semalam agar doanya cepat diterima. Ia pikir ketika berdoa terus-menerus akan lebih mudah diterima seperti orang belajar. Jika belajar terus-menerus maka akhirnya akan pintar juga. Ketika fajar satu kali, shalat subuh. Siang hari sekali, sembahyang zhuhur. Ibadah Ashar sekali saat sore hari. Satu kali waktu senja, itulah sembahyang maghrib. Waktu malam juga sekali yaitu shalat isya’. Dua kewajiban selanjutnya ia tambahkan di antaranya waktu sepertiga malam, shalat Tahajjud dan pagi menjelang siang, itulah sembahyang Dhuha.

“Bagaimana rasanya kalau berdoa itu khusyuk dan yakin diterima?”

“Nyaman dan damai,” jawabnya.

Munal mempercayai betul suaminya telah bisa berubah. Ia senang sekali mendengar ucapan pertama kali itu dari suaminya. Ia merasa tanggung jawabnya telah selesai dalam mengingatkan suaminya. Dan kali ia benar-benar bersyukur, meski tak tahu sebenarnya yang terjadi pada suaminya.

****

Dulu, ketika masih kecil Lipi kerap sekali menghafal doa-doa, termasuk ilmu berdoa. Tujuan itu ia lakukan tetap saja, ingin terkabul doanya dan setelah itu hidupnya akan bahagia. Suatu hari Munal menemaninya shalat. Kembali ia ditanya hal yang sama tentang percaya atau tidaknya doanya akan diterima. Ia pun gundah luar biasa. Ucapan beberapa waktu lalu yang ia ucapkan itu ternyata bohong. Sebenarnya ia tak mau berbohong pada istrinya, kali ini saja.

“Maaf, Nal, waktu itu aku berbohong.”

“Apa? Bohong? Padahal aku senang sekali loh, Mas saat itu. Bagaimana mungkin kamu belum bisa percaya pada doamu sendiri. Tuhan itu akan mendengar doa siapapun, termasuk akan mengabulkannya.”

“Aku belum bisa, Nal!”

“Ayo coba untuk percaya diri, Mas.”

“Tetap saja tak bisa.”

Munal diam. Ia sedang memikirkan sesuatu. Lalu, ia berujar kembali. “Aku rasa, Mas itu kurang sabar. Selain itu mungkin, Mas, terlalu banyak protes.”

“Nah, benar, Nal. Aku memang sering protes pada Tuhan. Ya, Maaf.”

“Minta maafnya pada Tuhan!” gerutu Munal pada suaminya.

Akhirnya Lipi mempercayai ucapan Munal. Ia mencoba berusaha memperbaiki kualitas doanya. Ia telah percaya doanya akan dikabulkan oleh Tuhan. Beberapa hari-bulan ia lalui, tapi tetap saja seperti dulu, susah dan tetap tak punya pekerjaan. Ia mengira bahwa ada yang salah dengan doanya.

“Kurasa Tuhan tidak mendengar doaku,” pikirnya. “Mengapa Tuhan pernah mendengar doaku? Jangan-jangan…”

Ya, begitulah akhirnya Lipi mengira Tuhan malah tidak adil. Padahal ia sudah mengira kualitas doanya sudah baik. Kata-kata yang telah ia ucapkan tidak ada yang keliru. Gerakannya sangatlah tepat. Waktu menunaikannya juga tepat waktu. Khusyuk disertai kepercayaan teguh, sampai-sampai tak ada yang lebih baik darinya dalam hal berdoa. Doanya itu sudah sangatlah benar dan tiada lagi tandingnya akan kebenarannya. Akhirnya ia menggerutu pada istrinya lagi mengenai hal ini.

“Aku itu heran! Mengapa doaku belum juga terkabul-kabul. Sebenarnya apa yang salah dengan doaku?” tukasnya.

“Pasti ada yang kurang!”

“Tidak mungkin!”

“Mungkin saja kamu terlalu banyak protes pada Tuhan,” ucap Munal. “Mas, setiap doa itu pasti terkabul. Kalau tidak sekarang mungkin di kehidupan selanjutnya.”

Lipi kaget mendengar jawaban istrinya. Ia baru sadar bahwa selama ini memang sering banyak protes pada Tuhan karena doanya tak pernah merasa terkabul. Untuk saat ini ia tidak akan mengulangi lagi sikap bodoh itu.

****

“Nal, kurasa Tuhan tetap tidak pernah mendengar doaku. Aku kan sudah percaya doaku diterima. Aku juga tak banyak protes lagi. Apa yang salah denganku. Impianku tetap saja tak tercapai.” Gerutu Lipi pada Munal. “Tetap saja kita ini tak bahagia. Tidak kaya, beda dengan tetangga kita itu. Pasti mereka banyak melakukan penyelewengan. Kalau jujur seperti aku bekerja, mana bisa kaya!”

Munal kali ini diam mendengar perkataan suaminya. Hanya matanya yang mampu berbinar. Ia terlihat sedih mendengar perkataan suaminya. Tidak hanya itu, air matanya mulai mengalir. Ia benar-benar kecewa pada suaminya yang tak pernah puas dengan rezeki. Ia menganggap suaminya tergolong orang yang tak bersyukur dalam hidupnya. Padahal akhir-akhir ini sudah ada peningkatan rezekinya jika dibandingkan tahun yang lalu. Kebahagiaan yang ia rasakan sudah mulai tumbuh dari pernikahannya. Kali ini ia benar-benar kecewa dan beranjak dari kamar, tempat shalatnya.

“Nal, kenapa kamu!” tukas Lipi yang heran akan sikap istrinya. Ia segera menyusul Munal yang benar-benar dilanda kekecewaan. Sama sekali ia belum mengerti tentang istrinya. Tak lama ia melihat Munal sedang berteriak-teriak di dapur. Histeris. Sama sekali ia belum mengerti maksud istrinya yang ingin bunuh diri.

“Diam…!” teriak Munal seraya memegang pisau tajam. “Mas, tak usah pedulikan aku lagi. Lebih baik aku mati punya keluarga seperti ini. Tak ada rasa syukurnya kepada Tuhan yang telah melimpahkan nikmat.”

“Maksud kamu apa, Nal? Aku sama sekali tidak mengerti.”

“Jangan bertingkah bodoh dan pura-pura tidak tahu, Mas! Keluarga ini tidak bahagia karena, Mas, sendiri yang menjadi penyebabnya.”

“Baik, aku akui. Tapi kenapa dengan aku?”

“Mas, aku sudah bilang! Tidak ada doa yang tidak diterima. Semua doa akan dikabulkan. Kalau pun tidak dikabulkan di dunia, di akhirat pasti Tuhan akan membalasnya. Dan satu hal lagi, Mas, itulah yang tak pernah bersyukur. Doa kita ini sudah dikabulkan oleh Tuhan. Buktinya, kita sama-sama sudah mempunyai pekerjaan.” Munal masih saja ingin memegang pisau tajam mengkilat itu. Ia ingin memutuskan urat nadinya. Napasnya terpenggal-penggal. “Mas, kalau ingin mendapatkan kebahagiaan, jangan pernah membandingkan antara kebutuhan dan keinginan. Kita harus bersyukur dengan kebutuhan yang mulai terpenuhi. Dan dari kebutuhan itulah nanti kita akan mendapatkan keinginan. Kita harus bersabar dengan hidup ini.”

Lipi hanya diam mendengar perkataan istrinya itu. Ia sama sekali belum berani untuk mendekat. Tapi secara perlahan ia harus segera menghalangi istrinya agar tidak berbuat sedemikian itu. “Baik, Mas, akan segera berubah. Dari dulu aku memang tidak tahu berdoa yang benar. Sekarang aku tahu dari kamu. Maka aku harap kamu batalkan kelakuan bodoh itu, Munal!”

“Tidak!”

“Ayolah, Nal! Kita akan mulai dari awal keluarga ini,” ujar Lipi membujuk istrinya agar meletakkan pisau itu.

Mendengar kelembutan perkataan suaminya itu, hati Munal luluh. Ia baru sadar dengan kelakuan bodohnya. Ia benar-benar terhanyut oleh emosi. Dan kini ia melepas pisau itu. Lalu, ia beranjak dari tempat itu ke arah suaminya yang sedang tersenyum.

 

*penulis adalah penggiat sastra di Garawiksa Institute, sekaligus mahasiswa jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta