Oleh Imam*
“…Kekuatan sejarah itu berjalan seperti api dalam sekam. Kita mengira politik itu menentukan, sehingga kita bayar mahal untuk pesta demokrasi, untuk memegang kekuasaan dan kemenangan. Kita tidak tahu bahwa politik itu hanya sepersekian dari kekuatan sejarah. Kadang-kadang kekuatan sejarah itu berjalan sendiri, kadang-kadang terjadi secara bersamaan. Sebuah revolusi terjadi bila kekuatan-kekuatan sejarah bergabung…” (Kuntowijoyo)
Student Government (Pemerintahan Mahasiswa) merupakan momentum terbaik baik anak muda di perguruan tinggi untuk melakukan eksperimentasi berpolitik, baik secara etis maupun praktis. Meskipun masih dalam tahap eksperimentasi, dalam prakteknya, Student Government harus tetap dijalankan dengan penuh tanggung jawab, menjunjung tinggi moral demokrasi, taat pada prosedur, dan berpihak pada kepentingan mahasiswa tanpa terkecuali.
Kebijakan politik massa mengambang (floating mass) ala Orde Baru, publik di Indonesia—termasuk mahasiswa dalam konteks politik kampus—cenderung melakukan aktifitas politiknya hanya menjelang dan saat pemilihan umum saja. Hal ini tentu saja mereduksi makna kegiatan politik itu sendiri. Sebab kegiatan politik hanya dimaknai sebagai aktifitas memilih pemimpin (lembaga) politik saja, sehingga urusan politik adalah urusan partai politik saja. Padahal dalam konteks demokratisasi politik, kolektifitas para aktor politik tidak hanya terpaku pada peran dan fungsi partai politik saja sebagai representasi aspirasi politik warga negara, misalnya.
Penguatan peran civil society juga merupakan agenda yang tidak boleh dilupakan dalam agenda demokratisasi politik kampus. Eksistensi dan agensi civil society semakin penting saat publik cenderung menganggap bahwa kegiatan politik mereka berakhir sesaat setelah mereka menjalani event pemilihan umum. Publik mungkin lupa bahwa “memilih pemimpin” justru merupakan langkah awal. Sebab langkah-langkah selanjutnya telah menanti mereka; kontrol terhadap kinerja! Di titik itulah keberadaan dan peran politik civil society menjadi penting dan sangat mendesak.
Dalam konteks student government, keberadaan dan fungsi civil society bahkan belum banyak dilirik oleh berbagai aktor politik kampus, khususnya berbagai gerakan mahasiswa yang merepresentasikan gerakan politiknya melalui partai politik saat pemilihan umum mahasiswa (pemilihan umum mahasiswa). Fungsi ini hanya dijalankan secara minimal oleh media internal kampus, yaitu LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) Arena. Arena telah dengan maksimal dan konsisten menjalankan fungsinya sebagai watch-dog bagi student government. Namun kita harus tetap sadar bahwa sebagai media, Arena tetap memiliki keterbatasan; ia tak bisa mengeksekusi isu dan wacana politik yang berkembang. Maka di titik itulah civil society harus berperan penuh. Demikianlah, dengan mengucapkan laa haula wa laa quwwata illaa billah, kami keluar dari zona nyaman apatisme politik mahasiswa untuk melakukan kontrol terhadap tindak-tanduk student government.
*Mahasiswa Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), Semester 9