Banjir mendunia. Bahtera besar hanya satu, milik nabi Nuh, ayah kan’an. Siapa ikut, selamat. Siapa tak mau ikut, celaka dunia akhirat. Tak ada pilihan lain. Tapi Kan’an memilih tidak ikut perahu ayahnya. Mungkin malu, sebab pernah turut mencaci perahu ayah. Mungkin juga punya keyakinan lain. Sehingga, sampai saat ini kita mengutuknya sebagai teladan anak durhaka, dan karenanya celaka.
Tapi menurut saya, Kan’an memang punya keyakinan sendiri yang menentukan pilihannya. Ia punya perahu sendiri yang akan ia dayung sendiri dalam mengarungi banjir kehidupan. Perahu itu saya namai rasio atau akal budi. Lihat perdebatan ini.
Nuh: “Aku disuruh Tuhan membikin bahtera. Tuhan akan membuat banjir besar yang mendunia. Siapa ikut perahuku, akan selamat. Siapa tidak ikut, akan tenggelam dan celaka. Dengan begitu, semua manusia yang tersisa adalah mereka yang beriman pada Tuhan.”
Kan’an: “Mengapa harus begitu? Bukankah Tuhan tidak masalah jika di dunia ini hanya sedikit yang beriman padaNya? Bukankah kebesaran Tuhan tidak berkurang saat tak seorangpun menyembahNya?”
Nuh: “Manusia itu memang diberi kemerdekaan memilih. Apakah memilih beriman, atau ingkar. Yang keduanya punya kosekuensi. Itulah kenapa aku diturunkan untuk memberi kabar tentang pilihan jalan selamat. Tapi manusia memang beku hatinya. Tak tahu bersyukur. Hanya menuruti nafsu belaka. Lupa sama sang Pencipta, sang pemberi hidup.”
Kan’an: “Pasti Ayah miskomunikasi terhadap wahyu Tuhan. Tuhan itu pengasih dan penyayang. Tuhan tidak mungkin pula mengisi dunia dengan manusia yang hanya tunduk menyembahnya. Itu homogen. Dan manusia sengaja tak dicipta demikian. Apa bedanya dengan malaikat? Saya yakin, Tuhan tak bakal menghabisi mereka yang tak menyembahnya. Agar ada dialektika kehidupan sesuai kodratNya.”
Nuh: “Begini saja, ikuti sajalah aku. Agar kau selamat, nak. Percayalah padaku.”
Kan’an: “Tidak ayah. Aku punya jalan sendiri. Aku punya perahu sendiri.”
Tapi dalam cerita, banjir memang datang menggempur bumi, menenggelamkan mereka yang ingkar pada ajaran yang dibawa nabi Nuh. Menenggelamkan mereka yang hendak memilih jalan keselamatan lain diluar bahtera Nuh. Entahlah. Tapi setelah manusia kembali beranak-pinak, penentangan-penentangan ajaran Tuhan selalu saja muncul. Kan’an-kan’an juga akan tetap muncul.
Pemunculan Kan’an yang menentang ayahnya adalah gejala wajar. Nuh mewakili golongan tua yang mungkin terlalu khawatir akan perubahan yang belum jelas bakal mengarah kemana. Sementara, Kan’an mewakili kalangan muda yang mencoba menegasi kalangan tua agar hidup ini dinamis. Mereka berdua mewakili dua zaman yang berbeda. Bukankah tiap zaman melahirkan generasinya masing-masing?
Dalam cerita, pemenangnya memang Nuh. Mungkin kesadaran masyarakat saat itu belum siap menerima pemikiran Kan’an. Atau bisa saja kita simpulkan bahwa wacana dominan saat itu memang sedang memihak Nuh. Tapi Kan’an-kan’an lain akan terus bermunculan dalam rentetan zaman. Kan’an yang selalu membuat hidup jadi dinamis, semarak. Hidup yang benar-benar hidup. Bukan hidup yang tidak hidup.
Sarkem, 23/10/13
Ahmad Taufiq