Home - Menengok Perkembangan Sastra Indonesia

Menengok Perkembangan Sastra Indonesia

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

“Sastra pada zaman orba berfungsi sebagai agen perubahan, sekarang sastra hanya sebagai aktor yang mengikuti perubahan masyarakat”

-Faisal Kamandobat.

 

Lpmarena.com, “Sastra sebagai alat yang menggerakkan masyarakat sebelum dan sesudah reformasi” itulah tema diskusi yang diusung Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Poros Universitas Ahmad Dahlan (UAD) bekerja sama dengan Tempo Yogyakarta (13/11). Acara yang berlangsung di auditorium lantai empat UAD kampus dua jalan Pramuka ini menghadirkan tiga pembicara. Iman Budi Santoso, Faisal Kamandobat, dan Aris Setiawan yang masing-masing adalah penggiat dan budayawan Yogyakarta.

“Awalnya karena berkaitan dengan sumpah pemuda dan hari pahlawan, kemudian kita mencari korelasi apa yang bisa untuk diajak berdiskusi bersama, kebetulan teman-teman juga sedang tertarik di sastra sehingga kita memilih tema sastra”, ungkap Irma Restyana, Pemimpin Umum LPM Poros seusai acara.

Ruang auditorium dipenuhi puluhan peserta sejak 19.30 WIB dengan berbagai latar belakang. Mereka dari LPM Poros sendiri, Ormawa (Organisasi Mahasiswa) UAD, LPM se-Yogyakarta, mahasiswa jurusan Sastra, juga komunitas sastra dan teater.

Iman Budi Santosa selaku pembicara memberi beberapa contoh perbedaan sastra zaman dahulu dengan sastra modern sekarang. “Pada zaman kerajaan di Jawa, posisi sastrawan atau pujangga benar-benar dianggap, memiliki posisi elit dan strategis. Pujangga, kalau menurut orang-orang Yunani sudah mirip dengan dewa. Kalau sekarang, mayoritas masyarakat kita jan-jane ra moco (sebenarnya tidak membaca-red) sastra, sastra Indonesia modern menjadi bagian kelompok tertentu yang kadang entah tidak mau peduli atau memang tidak peduli dengan kondisi masyarakat”.

Ruang auditorium ramai dengan tepuk tangan peserta. Pemaparan para pemateri pun ditanggapi oleh beberapa peserta dengan mengajukan pertanyaan. Salah satunya adalah UJi dari LPM Paradigma UIN Sunan kalijaga yang bertanya mengenai bagaimana sastra bisa masuk dalam masyarakat, sastrawan yang harus berubah untuk memenuhi  masyarakat atau sebaliknya sehingga sastra bukan bagian lain dari masyarakat.

Menanggapi pertanyaan tersebut, Faisal Kamandobat mengatakan bahwa sastrawanlah yang perlu berubah. “Dari sastrawan sendiri yang berubah, baru kemudian masyarakat mengikuti”, jawab pemateri asal Cilacap tersebut. (Dhede Lotus)

 

Editor : Ulfatul Fikriyah