Oleh: A Taufiq*
Seiring dibukanya kran demokratisasi sejak Reformasi 1998, paham-paham radikal disinyalisir tumbuh subur di Indonesia. Salah satunya, dan yang masih paling populer saat ini, adalah kelompok Islam radikal. Dan bahayanya (katanya), terorisme selalu merupakan ujung dari radikalisme tersebut. Sementara terorisme telah memakan banyak korban. Salah satunya tragedi Bom Bali.
Dalam ranah global, ada tragedi 11 september di Amerika Serikat (AS), dengan pelaku utama adalah Al-Qaeda pimpinan Osama Bin Laden. Sejak itu, AS yang dikomandoi George Bush, menyatakan perang melawan terorisme golbal. Tapi buntutnya, perang melawan terorisme itu malah memakan korban. Yang paling jelas adalah AS meluluh-lantakkan Afganistan dan Irak.
Di Indonesia, bom yang mengguncang Bali sampai dua kali, kemudian disusul bom-bom yang lain, membuat pemerintah harus bekerja keras untuk mengatasi problem ini. BANPT dibentuk. Begitu juga Densus 88. Agendanya sama dengan (kalau bukan disetir) AS: perang melawan terorisme.
Selain itu, banyak kalangan muslim (non-pemerintah) yang mengaku moderat, juga kebakaran jenggot. Saat Islam disudutkan sebagai agama yang berpotensi teror, mereka melawan isu-isu itu. Bagi mereka, Islam agama perdamaian. Islam tidak mengajarkan—atau malah anti dengan—kekerasan. Terorisme adalah bentuk kebodohan dalam memahami ajaran Islam. Islam tidak membenarkan terorisme.
Lalu, sebagai langkah preventif dalam menangani terorisme salah satunya adalah dengan melakukan deradikalisasi, dengan pendidikan sebagai instrumen utama. Maka, jangan kaget jika sampai detik ini marak seminar-seminar yang menyosialisasikan deradikalisasi. Banyak organisasi yang menggembar-gemborkan pluralisme dan multikulturalisme. Juga kurikulum yang mengajarkan para siswa tentang Islam sebagai agama perdamaian dan menentang kekerasan dan terorisme. Dan harus pula dicatat, bahwa banyak sekali aktor-aktor yang mengkampanyekan deradikalisasi tadi menerima kucuran dana dari founding-founding internasional. Maka, banyak pula orang yang memanfaatkan hal ini sebagai proyek kerja untuk mendapat founding tadi.
Menyoal Deradikalisasi
Dari sekian program deradikalisasi yang digulirkan dapat disimpulkan bahwa, menurut mereka, radikalisme yang berujung terorisme adalah akibat dari; (1) pemahaman atas ajaran Islam yang sangat tekstualis, misalnya ayat tentang perintah jihad; (2) Islam yang diajarkan bercorak Timur Tengah yang akrab dengan kekerasan, lepas dari akar Islam Nusantara yang toleran. Sementara faktor-faktor lain, semisal kemiskinan, dianggap sampingan.
Sehingga, dalam proyek deradikalisasi ini yang paling diperlukan tentu pembongkaran pemahaman yang tekstualis terhadap Islam. Juga diiringin dengan penyebaran gagasan tentang Islam sebagai agama perdamaian, menekankan toleransi, mendukung demokrasi, pluralisme dan multikulturalisme, serta anti kekerasan dan terorisme. Berjubel ayat-ayat yang mendukung hal tersebut dipaparkan, sembari (sedikit) menyembunyikan ayat-ayat perang atau jihad. Lalu, jika ada ayat-ayat jihad, pasti akan ditafsirkan sesuai mungkin dengan agenda mereka. Biasanya ayat itu bakal dikatakan bahwa konteksnya berbeda. Asbabun nuzul-nya dicari-cari, kemudian dijadikan pembenar bahwa sekarang situasinya sudah tidak seperti saat ayat itu turun, sehingga ayat itu tidak relevan lagi untuk situasi kekinian, atau perlu ditafsir ulang.
Selain itu, mereka juga banyak menyebarkan sejarah Islam toleran yang diklaim sebagai Islam yang khas dan mengakar di Nusantara. Islam yang biasanya diafiliasikan pada ajaran-ajaran “wali songo”, misalnya untuk wilayah Jawa. Tanpa menggali lebih lanjut bagaimana mereka juga mengalami dinamika yang tak jarang berdarah-darah. Pokoknya yang penting membenarkan proyek mereka.
Mereka jarang sekali mempersoalkan bahwa fenomena terorisme sebagai efek dari tatanan (ekonomi politik) global yang timpang. Sehingga perjuangan melawan terorisme harusnya adalah lebih mengutamakan perjuangan melawan ketimpangan itu. Fenomena “perang melawan terorisme” ala Bush juga jarang diungkit sebagai misi penguasaan belaka atas sumber minyak di beberapa negara seperti Irak, sekaligus ekspansi kapital global. Bahkan ketika Barat mendefinisikan bahwa Islam yang baik dan benar itu ya yang moderat. Dan Islam yang yang moderat itu yang begini dan begitu, sesuai tafsir Barat, mereka nurut saja. Tidak pernah mengkritisi “kuasa” dibalik para intelektual Barat yang mengkaji Islam itu.
Islam itu Radikal
Sejarah mencatat bahwa Islam lahir dengan merombak sistem jahiliyah yang ada—suatu sistem yang membenarkan dan melanggengkan adanya pemiskinan, pembodohan dan penindasan atas sesama manusia. Kemudian diganti dengan sistem sosial yang berlandaskan Tauhid, dengan hanya menuhankan Allah dan menganggap derajat manusia sama.
Dengan panduan Allah lewat wahyu-Nya, Nabi mengkomandoi revolusi sosial itu, sekaligus mengajarkan aqidah pada umatnya. Perombakan atas sistem itu tentu berjalan alot. Sehingga, selain Nabi dan para sahabatnya berjuang dengan damai seperti diplomasi, juga tak jarang mengharuskan perjuangan berdarah-darah lewat perang. Dan Al-Quran melegitimasi perang tersebut.
Kalau melihat tatanan sosial saat ini, sesungguhnya masih sama dengan zaman jahiliyah, dimana penindasan sesama manusia terjadi dimana-mana, cuma berbeda pola saja. Maka, dalam hal ini, perang dengan mengatas namakan agama Islam bisa dibenarkan. Cuma yang harus difikirkan hanyalah soal strategi saja.
Islam bukanlah hanya soal keyakinan privat belaka. Melainkan sekaligus lahir sebagai gerakan sosial. Gerakan perlawanan atas penindasan. Dan semangat inilah yang (sadar atau tidak) coba dikikis oleh mereka yang melakukan proyek deradikalisasi.
Jakarta, 16 November 2013
*Penulis adalah mahasiswa Perbandingan Agama, Fakultas Ushuludin UIN Sunan Kalijaga. Aktif dalam Jenar Society. Koordinator PSDM LPM ARENA.