Home - Becoming

Becoming

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Mari sejanak dan sedikit saja kita pinggirkan obrolan yang terlampau berat sebagaimana bahasan yang mengkerutkan dahi dalam diskusi School of Thought. Sejenak, tepikan obrolan harian tentang kejamnya sistem kapitalisme, penghisapan sekaligus penindasannya yang hingga kini tak jua bisa kita lepas cekiknya dari urat leher.

Bukannya saya tidak revolusioner bung, (membayangkan Opik), meminjam judul tulisan “Autogestion” kawan Robi, menempatkan diri sebagai subjek lalu menelaah dan memperhatikan detail-detail kecil saya fikir juga menarik. Dalam artian tak kalah penting dan perlu. Melihat dengan seksama sebuah proses “menjadi” atau becoming, kalimat demi kalimat, lembar ke lembar, koma menuju titik juga mempunyai arti. Sekaligus langkah konkret kita dalam menolak pandangan kerja mekanis yang membunuh makna kerja dan kreatifitas dalam sistem kapitalisme itu.

Secara pribadi, ada perasaan “marem” muncul tatkala mengerjakan segala aktifitas penerbitan SLiLiT (yang telah menjadi ritus) bersama kawan-kawan. Ada semangat yang terasa “hidup” sewaktu berbaur dan berkeringat bersama dalam finishing bulletin. Tak terkecuali menu es teh, rokok, gorengan dan obrolan tentunya.

Lebih dahulu saya sampaikan, disini tak hendak memperdebatkan mana yang lebih penting dan patut didahulukan, hal kecil-detil ataukah besar-gempar. Karena kawan-kawan tentu sadar , memilih salah satu hanya akan membuat realitas ini parsial, tidak lengkap dan bisa jadi konyol. Dan konyol bukanlah jiwa kita, sebagai ARENA terutama.

Selanjutnya, saya kira tak ada salahnya kita sedikit meminggirkan nama-nama besar macam Goenawan Mohammad, Andreas Harsono, Pramoedya AT dan lain. Bukan untuk disetip dan dilupakan, tapi untuk mari bersama lebih teliti meneropong kondisi sekitar, teman-teman Pasca Magang atau kode kerennya PM-10, 11, 12 dan tak lupa kawan yang sedang magang juga.

Lama dalam bermuluk untuk menulis panjang, menggemparkan, memberi sumbangsih kepada sejarah terasa kian menyesaki nafas kita disini. Kalau mau diperhatikan, betapa gagah teman-teman magang yang berjuang menindas groginya untuk sekedar wawancara ketua panitia sebuah seminar. Tak kalah dengan semangat Pram yang terus saja menulis dalam pengasingan. Alangkah hebat semangat seorang anggota magang yang rela datang dari Kaliurang mengayuh sepeda, dengan kemacetan jalan Gejayan dan ring road yang bercampur panas dan asap knalpot kendaraan, sekedar untuk nimbrung dalam diskusi. Dibanding perenungan GM selama 72 jam sebelum menulis Caping, tak kalah semangat saya fikir.

Memang kalau kita bandingkan (bagi temen-temen senior yang sudah bisa membandingkan) tulisan yang dihasilkan tak bisa disandingkan dengan nama-nama besar. Tapi, tak fikir nama-nama besar di atas dulunya tak jauh beda kualitas tulisannya ketika masih pemula, bisa jadi lebih buruk, beruntung saja mereka masih setia berproses, punya kesempatan belajar dan terus berusaha. Lebih filosofis sedikit, alangkah hebatnya jika hal tersebut kita pandang sebagai karya, objektifikasi teman-teman sebagai manusia yang beresensi mengada di atas dunia.

Kalau rasa-rasa ini kita tindas, kemudian melemparnya ke tong sampah, apa lagi yang bisa kita pertahankan dan syukuri dalam kehidupan disini. Lama kelamaan kita mengarah menjadi mekanis dan terlalu teratur seperti modernitas yang senantiasa jadi objek sumpah-serapah kita dalam diskusi. Padahal kita sama-sama sadar, kondisi teratur, tersekat dan terukur takkan menumbuhkan kretifitas. Dalam bahasa sejarah ARENA, ya bisa dibilang menumpas Kancah Alternatif yang menjadi identitas kita.

Saya seratus persen sadar bahwa aturan dan tatanan adalah metode untuk menggapai sebuah tujuan, dan tujuan akan sangat sulit tercapai tanpa itu semua. Tapi hal yang perlu teguh kita pegang bersama adalah, semua hal di atas hanyalah elemen pendukung untuk menyokong eksistensi keberadaan kita. Bukan sebagai penjara dan rantai belenggu menggapai tujuan. Bisa saja ada metode atau cara lain yang mungkin lebih bisa mendukung dalam merengkuh tujuan. Selain melihat fakta obyektif disini, kita bukanlah orang yang seragam, sama persis bagai hasil cetakan agar-agar.

Bila bisa mempertahankan kondisi pembelajaran disini, setidaknya kita boleh sedikit menepuk dada karena jelas ini meringankan beban Negara yang berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa itu. Di samping, menyicil demi sedikit bagaimana mewujudkan bentuk pendidikan pembebasan ala Freire yang dalam SLiLiT edisi November sering disebut dalam tulisan beberapa kawan. Minimal, kemampuan kita tak sebatas menyumpahi Negara (meski sangat amat patut) dan mengutuki sistem pendidikan yang ada.

D itengah kondisi bising dan teramat riuh oleh suara dan gelontoran wacana seperti saat ini, hal kecil di atas rasanya lebih berbentuk. Bentuk yang mestinya kita jaga dan genggam bersama. Alangkah berarti kewajiban membaca buku yang selalu kita tekankan di tengah geliat massa yang lebih gemar membaca dan memakna status-status Facebook selama lebih dari tiga jam sehari (begitu menurut sebuah riset) kemudian membuat status sendiri sebelum beralih ke Twitter, Messenger, Kaskus dan lain. Betapa ini sangat berarti, kesibukan berdiskusi di sekret “kandang babi” tercinta setiap menjelang senja. Sedang di luar sana teman-teman kelas kita tengah sibuk menyusun jadwal nongkrong dan wisata kuliner, hal yang kedua kabarnya kini jadi hobi baru mahasiswa. Lalu perdebatan tentang mode, tentang agama usang dan baru, tentang reformasi pemerintahan, revolusi pendidikan dan sebagainya dan seterusnya.

Bukan saya ingin memurnikan (kayak fundamentalis aja nih, memurnikan agama) kita dari semua ini, hanya, ada hal yang mesti ditekankan, dijaga dan dipegang agar tak lepas. Tentunya bukan dalam kategori salah-benar, hanya sedikit mencoba lebih lekat dengan realitas, melihat apa yang bisa kita lepas dan apa yang mesti dipegang.

Meskipun belum tentu semua sepakat bahwa ini ideal, kondisi seperti ini masih sangat mungkin dipertahankan bukan? Atau, ini hanya topeng kita saja agar tak diklaim sebagai mainstream? @jamludn_ahmd