Oleh : Haetamy *)
Minggu terakhir di bulan November, saya berjala-jalan di kampus tercinta. Kampus yang dulunya pernah punya julukan kampus putih, kampusnya rakyat, yang hingga sekarang masih menjadi jargonnya mahasiswa yang aktif di pergerakan. Dulu saya setuju dengan istilah ini, karena sejarah mencatat perjuangan mahasiswa pergerakan pada waktu itu memang implementasinya benar-benar terbukti dengan arah dan tujuan dari masing-masing pergerakan menuju satu arah, yaitu mempertahankan Indonesia dari perebutan ideologi pemerintah Orde Baru.
Pergulatan itu bisa kita lihat, bagaimana mahasiswa bersatu padu melawan arus Orde Baru melawan tirani penguasa yang kejam. Meskipun dalam kondisi yang sangat tertekan, tapi kampus rakyat mampu menghasilkan mahasiswa-mahasiswa yang peduli terhadap nasib bangsa. Semua elemen pergerakan bersatu padu untuk melawan tirani Orde Baru. Sebagian mahasiswa mengadakan diskusi-diskusi pendidikan politik dalam sembunyi-sembunyi, bahkan sebagian lain mendirikan beberapa kegiatan yang secara terbuka.
Untuk menghentikan aktifitas mahasiswa, akhirnya pemerintah mengeluarkan peraturan NKK/BKK yaitu Normalisasi Kehidupan Kampus, inti dari peraturan tersebut Mahasiswa harus kembali kepada tujuan utama yaitu menuntut ilmu, sehingga tujuan utamanya adalah mengkrangkengkan mahasiswa untuk tidak aktif di dalam pollitik Orde Baru. Karena Mahasiswa pada masa Orde Baru sangat dicurigai, bahkan di awasi gerak-geriknya hingga ada yang dibunuh. Bahkan beberapa aktifis mahasiswa diculik entah hilang tak kembali.
Seiring tumbangnya Orde Baru dan kran reformasi terbuka lebar, semangat untuk menggunakan istilah “kampus putih, kampus rakyat dan kampus perjuangan” saya kurang begitu setuju. Ada beberapa pertanyaan yang mendasari untuk tidak setuju dengan istilah tersebut. Secara epistimologi, perjuangan apa yang kita perjuangankan sekarang, ideologi masing-masing kepentingankah? Atau perjuangan untuk menarik mahasiswa baru untuk masuk organisasi pergerakan tertentu? Basis dasar dari istilah kampus rakyatpun kurang jelas konsepnya seperti apa? Rakyat yang mana yang di perjuangkan, rakyat yang punya kepentingan atau rakyat yang hanya ada dalam konsepsi semata.
Dalam wacana kerakyatan, yang saya ketahui, bahwa istilah mahasiswa yang memperjuangkan rakyat adalah, mahasiswa yang benar-benar tahu siapa rakyat yang sebenarnya, dengan begitu konsep dari perjuangan tersebut jelas.
Untuk sekarang adakah mahasiswa yang benar-benar dekat dengan rakyat. Tentunya ini PR bagi kita semua, tugas kita sekarang bagaimana caranya menarik mahasiswa untuk kembali berminat aktif dalam pergerakan, atau setidaknya mahasiswa peduli pada pendidikan politik kerakyatan. Karena bukan rahasia umum, kita melihat semua pergerakan yang ada di UIN Sunan Kalijaga sedang mengalami krisis kader. Ini bisa kita lihat dari jumlah Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga paling hanya 0,1 % yang mau ikut ber-organisasi. Dan secara struktural semua organisasi pergerakan termasuk UKM yang ada di UIN Sunan Kalijaga dari setiap organisasi pergerakan dan UKM paling gemuk pengurusnya hanya berjumlah 20 sampai 30 orang tidak lebih.
Enak Zaman Siapa Lek ?
Ada pergeseran konsep dan pola pikir pada diri mahasiswa UIN Sunan Kalijaga sekarang. Dulu kata jamannya mereka yang aktif di setiap organisasi, bahwa “Ber-organisasi itu menyenangkan, kita bisa banyak tahu dan banyak pengetahuan yang kita dapatkan dari ber-organisasi”. Pola pikir itu sendiri tidak lepas dari kebijakan yang dibangun oleh kampus UIN sendiri.
Zamannya Amin Abdullah misalnya, kita mengenal konsep integrasi-interkoneksi ilmu pengetahuan, pesan singkat yang bisa kita ambil adalah titik tekan untuk selalu berpikir dalam setiap mata kuliah apapun, dan penekanan ini tentunya bisa di gunakan oleh setiap mahasiswa untuk belajar bagaimana membangun organsisi pergerakan yang dinamis dan maju.
Bagaimana dengan zaman Musa Asy’arie, corak yang dibangun oleh sang Rektor, masing-masing dari kita yang bisa menjawabnya lewat perspektif masing-masing. Akan tetapi untuk masa-masa awal dari kepemimpinan Musa Asy’arie, mahasiswa di arahkan untuk menjadi pengusaha muda yang sukses apapun caranya itu.
Pasar Kampus Sampai Roti Keliling
Di bulan November akhir, saya kebetulan keliling fakultas yang ada di UIN, tak ada satu pun yang terlewati. karena kebetulan saya punya tugas memasang informasi Diskusi ilmiah yang di adakan Lembaga diskusi Budaya Lokal. Ada beberapa catatan yang tentunya membuat saya kaget dan heran.
Pertama. Tentang catatan dinding yang tak pantas lagi kita saksikan di setiap fakultas yang ada. Kenapa demikian, dari setiap dinding yang saya pasang informasi diskusi hampir semua dinding atau papan pengumuman 90% pamflet yang terpajang adalah informasi seminar sukses dan kaya secara instan. Ternyata budaya instan dan pragmatis masih menjadi musuh kita bersama, saya setuju dengan komentarnya Yasraf Amir Piliang bahwa, sekarang kita sudah hidup dalam budaya instan, kita adalah bangsa yang malas untuk berpikir. Ini bisa kita lihat, hampir yang semua buku yang laris di setiap toko buku adalah buku-buku yang menghadirkan tentang budaya instan.
Kedua. Minimnya minat baca mahasiswa sekarang adalah problem kita bersama. Dan acuh dengan forum diskusi ilmiah adalah sebagian problem yang semakin komplek yang menjadi tantangan kita bersama untuk mengatasinya kedepan. Satu contoh, dari sekian pamflet yang saya sebarkan ke setiap fakultas, hanya beberapa orang yang datang dan tertarik dengan diskusi ilmiah tersebut. Pertanyaannya ada apa dengan mahasiswa sekarang ?
Ketiga, dari beberapa masalah yang saya paparkan diatas, ada yang membuat saya lebih terkejut lagi, bahwa mahasiswa kita sekarang beralih menjadi pedagang. Yah pedagang yang sebenarnya. Bagaimana tidak, siang itu sambil berjalan keliling-keliling kampus saya heran, ternyata sebagian dari fakultas yang ada di UIN kondisinya seperti Pasar. Tentunya kita paham pasar seperti apa, tidak perlu saya jelaskan lebih detail lagi.
Anehnya fenomena ini ternyata di bangun oleh kebijakan-kebijakan UIN sendiri. Tanpa kita sadari, hampir satu bulan pihak UIN menyelenggarakan Seminar dengan tema Entrepreneurship. Dan tanpa kita sadari, kita diarahkan ke arah wacana itu. Dan ini cukup berhasil ditanamkan pihak UIN. Bagaimana tidak, fakultas yang seharusnya seperti A, tapi kodisinya seperti Pasar bahkan sampai tukang Roti keliling saya menjumpainya. Inikah jawaban, kenapa organisasi setiap pergerakan hampir kondisinya setengah mati karena kurangnya kader.
Pasar dan fenomena mahasiswa sebagai pengusaha muda memang menarik untuk dikaji lebih dalam lagi. Hanya saja, untuk catatan kecil tulisan ini saya hanya bisa menggarisbawahi bahwa kini kita hidup dalam alam demokrasi yang penuh pilihan, termasuk di dalamnya pilihan untuk meramaikan fakultasnya sendiri menjadi pasar kampus.
*) Penulis adalah mahasiswa yang kecewa dengan nama UIN tapi rasa PTAIN, birokrasi yang berbelit masih menjadi ciri khas UIN sekarang. Aktif di diskusi LABeL Fakultas dan Kamar Mayat Club, untuk berhubungan silahkan mampir di @zhehaetamy.