Oleh : Dhedhe Lotus, di Kamar kost, Yogyakarta
Akulah Pregiwa!
Sepasang musim kembali menitih
Pada keheningan, pada malam yang telah menghantarkan dendang;
Di mana tiap perjumpaan ku kecup
Di mana tiap persinggahan ku peluk
Yah, akulah Pregiwa!
Tapi di mana, perpisahan benar-benar terenggut?
Suksmaku, suksmaku,
Getir rindu sang kuncup
Selaksa lenguh hasrat kakanda
Di sanalah ia, sang Gatutkaca putra Arjuna
Pada tiang cakrawala, menatap penuh
Kawah candradimuka.
Tiga Puisi selanjutnya ditulis oleh Mugiarjo
Buah Mata
Kita tengok hujan atau gerimis itu
Tak kan ia dapat membelah angin
Juga begitupun dengan khilaf
Yang tak akan membinasakan sebuah ingin
Tetaplah ingat, patut kita ingat
Sebuah jejak, sekecil apapun
Pastilah dari sebuah langkah
Senja pasti pula berona jingga
Fajar yang selalu membawa segar
Juga kita yang tak boleh gentar
Dengan pena, buku dan pemikiran
Tak pantas kita terhuyung kesuh dan lesu
Tak layak mengemis mengembik pada koloni keji
Dengan pena, buku dan pemikiran
Tak pantas menyusu pada yang bukan ibu
Ibu kita bukan di sana, tapi di sini, tempat kita mulai menatap surya
Kita mampu torehkan sejarah
Sekecil apapun itu
Pastikan mengharu senyum sang ibu
Yang tak lagi menderit menjerit layaknya kain dibesit.
Tanpa Judul
Kala beranjak mengajak
Memantapkan langkah dengan serapah
Juga atas semangat kemilau mega sang fajar dan senja
Omong kosong
Jika fikir tak berbekas, jika fikir tak menukas, jika fikir tak mampu menukik
Ingat, sebuah langkah pastilah berjejak
Sebuah senja pastilah berona jingga
Omong begitu hanya tuk sebuah bualan, hampa dan ketiadaan
Buku
Banyak kan temu warna
Banyak kan temu jiwa- jiwa
Banyak kan jaring ilmu
Juga harta karun lain
Didepan sebuah mata, dimana saja ada
Takkan merugi
Barang sebutir debupun
Kala membuka cakrawala ilmu
Sita waktumu sekejap nyala
Disana, masuki, selami, jaring, dan anyam serta rajut menjadi
Kereta hidup yang dapat membawa sesama mengarungi pentas kehidupan
Baca, gudang ilmu itu
Oleh : Mugiarjo