Judul Buku : Mahakarya Rakyat Indonesia: Renungan Kritis Pancasila sebagai Pilar Bangsa
Penulis : Hayono Isman
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : I, 2013
Tebal Buku : xii+142 halaman
Peresensi : Rohman Abdullah*)
Butir dari Pancasila memang tak lebih dari lima. Tetapi, ada nafas dan urat kehidupan bangsa yang menggantung di dalam lima butir tersebut. Ia (Pancasila) sejak semula tidak diciptakan tapi dilahirkan. Dari apa? Dari pandangan hidup masyarakat Indonesia, lalu dibakukan ke dalam ajaran Pancasila sebagaimana yang kita kenal sekarang. Ya, Pancasila pada dasarnya adalah hasil kristalisasi nilai dan tata hidup, karakter, kepribadian, maupun pandangan hidup bangsa Indonesia itu sendiri. Ia bukan kreasi tapi hasil serapan.
Hayono Isman mengatakan bangsa Indonesia telah menjadi Pancasilais sejati jauh sebelum istilah Pancasila bahkan negara Indonesia itu sendiri dikenal. Pancasila adalah perwujudan nilai-nilai dan atau tata cara hidup penduduk bumi Indonesia sejak masa kerajaan hingga era pejuang nasional.
Bukan kelakar bila Bung Karno sering berkata bahwa dia bukanlah pembentuk ajaran Pancasila, tetapi penggali daripada ajaran Pancasila itu. Nenek moyang dan kita sendirilah pada dasarnya yang melahirkan Pancasila.
Buku ini lahir atas dasar “apresiasi” sekaligus “kegelisahan” Hayono Isman terhadap wacana empat pilar kebangsaan yang dikampanyekan (ketua) MPR, Bapak Taufiq Kiemas, beberapa waktu lalu terkait kondisi politik kebangsaan dewasa ini. Adapun empat pilar kebangsaan yang dimaksud adalah: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Nah, dikampanyekannya pilar-pilar kebangsaan tersebut memantik “apresiasi” Hayono Isman sebagai bangsa Indonesia dan anggota Komisi I DPR RI (2009-2014) khususnya. Ia menangkap bahwa kehidupan berbangsa telah banyak menyimpang dari dasar negara. Sehingga kampanye empat pilar kebangsaan dari MPR harus diapresiasi dan disebarkan. Jadi buku ini bisa pula disebut kepanjangan lidah dari gagasan MPR tersebut.
Tetapi, di samping apreasiasi, muncul kegelisahaan, lebih tepatnya ada sesuatu yang mengganjal terkait Pancasila yang diposisikan sebagai salah satu dari empat pilar kebangsaan. Sebab Pancasila bukanlah pilar bangsa.
Menurut tokoh yang pernah menjalani konfigurasi perpolitikan nasional di tiga era berbeda ini (Orde Baru, era transisi, reformasi), Pancasila bukanlah ‘pilar’, melainkan dasar, falsafah ataupun ideologi bangsa. Jika Pancasila disebut sebagai pilar, maka agar dapat berdiri Pancasila butuh sebuah dasaran kokoh dan bersifat universal. Dan di Indonesia tidak ada yang lebih kokoh melebihi Pancasila.
Bung Karno dalam tulisan-tulisannya juga tidak pernah menyebut Pancasila sebagai pilar, melainkan sebagai dasar, falsafah, dan strategi yang memberi panduan, arah, serta tujuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (halaman 9).
Pada lembar halaman 7, Hayono memberi perspektif baru terkait pilar-pilar kebangsaan yang berdiri di atas fondasi atau ideologi Pancasila. Ia menawarkan 4 pilar. Yakni, Proklamasi 17 Agustus 1945, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Proklamasi 17 Agustus ’45 ditambahkan sebagai pilar bangsa. Sedangkan ke tiga pilar lainnya bersesuaian dengan gagasan MPR.
Jika ditilik dari sejarah, Proklamasi 17 Agustus ‘45 menjadi sejarah agung bangsa Indonesia. Paling tidak, lewat pembacaan Proklamasi 17 Agustus tersebut, Pancasila yang terlahir pada 5 Juni 1945 memiliki ruang untuk dipraktikkan. Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan dalam ajaran Pancasila, tanpa adanya proklamasi 17 Agustus akan tetap terpasung serta masih sebatas cita-cita. Singkatnya, proklamasi adalah pintu bergeraknya ajaran-ajaran Pancasila dan awal mula berdirinya sebuah kenegaraan mandiri.
Atas dasar tersebut, proklamasi mendapat kedudukan penting sebagai salah satu pilar yang menyangga berdirinya Indonesia.
Di bawah pilar proklamasi dan tiga pilar lainnya ada sebuah (dan ini satu-satunya) fondasi atau ideologi dasar: Pancasila. Ada 4 sebab mengapa Pancasila dijadikan ideologi bangsa: (1) Pancasila bukan sekedar “kata-kata puitis” belaka tetapi hasil kerja keras dalam menggali nilai-nilai fundamental yang ada dalam kehidupan masyarakat terdahulu; (2) Usulan founding fathers terkait dasar negara bermakna serupa meski beda dalam bahasa; (3) Usulan nama “Pancasila” oleh Bung Karno langsung dimufakati pihak lain karena istilah itu bukan suatu yang asing lagi dan terutama pernah digunakan (dalam bahasa berbeda) di masa Majapahit maupun masa Walisongo; dan (4) Penghapusan kalimat “Dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam bagi Para Pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” menunjukkan Pancasila adalah payung bersama bagi pluralitas agama di Indonesia (halaman 22-24).
Berdasarkan itu, Pancasila lebih tepatnya diposisikan sebagai ideologi bangsa. Namun, kendati demikian, putra bangsa kelahiran 1955 ini tidak berniat membabtis “salah” dan atau meluruskan apa yang diungkapkan MPR (juga memperdebatkan Pancasila). Tetapi sekedar merefleksikan ajaran Pancasila sebagai “dasar” negara — ntah kenapa dalam ‘anak’ judul buku justru tertulis “‘pilar’” bangsa, bukannya “dasar kebangsaan”–, termasuk refleksi tentang perilaku anak bangsa yang menyimpang dari ajaran agung Pancasila.
*) Koordinator Kajian Altar Wacana, Fishum UIN Yogyakarta