Home - Koran dan Rindu

Koran dan Rindu

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh Iis Ernawati

Ini tentang rindu, ini tentang menunggu.

Pagi ini, berulang kali tak sengaja kutemukan sajak–sajak rindu di setiap lembaran bacaanku. Sekilas ku baca mereka. Koran minggu pagi yang sengaja diantar oleh pengantar koran langganan. “Sastra dan Sajak” merupakan rubrik mingguan yang hanya muncul pada hari Minggu. Sengaja ku pilih koran hari Minggu yang meletakkan rubrik bernuansa ringan itu di halaman paling depan. Biar bisa langsung ku nikmati tanpa didahului berita–berita lain yang sebagian besar berisi kejahatan dan bencana, sajian khas negara kita tercinta setiap harinya, Indonesia. Sajian yang tak jarang membuat kepalaku pusing karena hampir setiap hari ku lihat dan ku dengar di berbagai media.

“Semua tentang rindu! Resah menanti bertemu!” pekikku kesal.

Ku bolak balik lembar demi lembar. Sial! Kenapa semua artikel berisi tentang rindu? Rubrik–rubrik yang biasanya tak membahas soal cinta, rindu, kali ini ku lihat kata itu terselip di sana, walau tak sebanyak dan bertaburan seperti di sajak tadi. Tetap saja, aku benci!

Mulai dari berita pertama, tentang Presiden yang rindu kampung halamannya, Pacitan, Jawa Timur. Mungkin, pengaruh suasana menjelang lebaran, jadinya semua bicara rindu, semisal rindu bertemu keluarga, pikirku. Menepis makna rindu lain yang sedang bergejolak di dadaku.

“Semoga, tak ku temukan kata itu lagi di halaman berikutnya,” gumamku penuh harap.

Berlanjut seorang ibu yang tertangkap saat mencuri di swalayan, terpaksa mencuri karena rindu bertemu anak pertamanya. Ia berupaya keras menebus bayi yang dilahirkan seminggu yang lalu.

“Hmmm… rindu yang terbentur biaya?” pandanganku sekilas menerawang, membayangkan keadaan sang ibu, berusaha menyelami perasaannya. “Pasti ia tersiksa sekali,” kataku tanpa ku sadari.

Sedikit tersentuh, ku baca ulang harapan sang ibu untuk anaknya di akhir tulisan yang intinya dia berharap ada keringanan hukuman untuknya, ada salah satu dermawan yang bisa membantu untuk mempersatukan kembali mereka. Ia sangat merindukannya.

Rindu? Aku langsung terkesiap tersadar kembali. Tahulah, kaum wanita sering cepat tersentuh oleh hal–hal yang berbau melankolis, tak terkecuali aku. Aku baru menyadari bahwa ada kata rindu lagi. Bahkan di rubrik “Hukum dan Kriminal?” Banyak nian kata rindu di sini! Huh! Sepertinya mereka tersebar di setiap penjuru koran ini. Apakah mereka sengaja membuatku marah dengan meletakkan kata rindu di setiap titik–titik artikel itu? Agar aku semakin kesal, agar aku semakin benci. Aku benci rindu! Ia kerap menyiksaku!

Tapi, bagaimana mereka tahu kalau aku sedang merindu? Apakah ada yang memberi tahu? Tapi siapa? Seingatku, aku tak pernah memberi tahu siapapun. Pun aku tak mengenal salah satu dari mereka, si pembuat berita. Tidak mungkin! Mereka tidak mungkin tahu!

“Mungkin hanya kebetulan,” kataku pelan.

Akhirnya ku keluarkan jurus penenangku, berfikir bahwa itu kebetulan. Kebetulan. Ya, hahahaha…. Aku tertawa lega.

*

“Aku yakin, di rubrik selanjutnya yang tak kalah menarik, artikel yang sering ku kunjungi yakni “Opini”, mustahil memunculkan kata rindu. Aku sangat yakin itu!”

Dengan penuh semangat dan percaya diri ku telusuri lembar demi lembar harian minggu pagiku. Akhirnya ketemu juga! Ku baca perlahan,

“Hah? Kenapa muncul lagi?”

Opini orang-orang penting yang biasanya sangat menarik untuk ku baca. Yang biasanya selalu ku tunggu setiap harinya, yang semestinya ku dalami setiap isinya, hari ini mood-ku berubah drastis ketika membaca judulnya Rindu Akan Nasionalisme Bangsa.

“Hahahaha, konyol sekali! Mentang-mentang aku sedang dilanda rindu, aku benci merindu, kalian serta–merta muncul merusak suasanaku, semakin menyiksaku dengan mengumbar kata–kata itu!,” cercaku, sensitif.

*

Sudah ku bilang,
Ini tentang rindu, ini tentang menunggu.

Aku sedang merindukan dia, aku tak berani mengatakannya, aku malu bercampur ragu. Takut–takut mengganggunya, takut–takut ia meremehkannya.

Dengan kesal ku banting koran hari mingguku, beranjak dari tempat duduk untuk berdiri meninggalkannya. Aku keluar mencari udara segar yang mau mengobati kekesalanku.

Satu helaan nafas baru saja ku dapatkan, tiba–tiba dering ponsel mengejutkanku, membuyarkan kosentrasiku. Ia tak henti–henti berusaha meloncat dari saku celana. Ku rogoh saku kananku, dan dengan cekatan ku buka untuk membaca isinya. Satu pesan dari dia!

“Sudah baca sajakku di koran minggu ini?”

Singkat sekali! Sajak koran minggu ini? Seketika aku berlari memungut kembali koran mingguku.

“Ia juga merindukanku.” Aku tersenyum lega.