Secara umum DPD belum berfungsi. Terjadi kemerosotan, kesulitan memfungsikan diri. Dan adanya distorsi peran DPD.
Lpmarena.com, Hal itu dipaparkan Arie Sujito, peneliti IRE (Institute for Research and Empowerment) dan sosiolog UGM dalam acara peluncuran dan bedah buku berjudul “Dari Representasi Simbolik Menuju Representasi Substantif (Potret Representasi Konstituensi dan Komunikasi Politik Anggota Dewan Perwakilan Daerah)” karya Abdur Rozaki, dkk. Hadir pula sebagai pembicara, Sunaji Zamroni dan Titok Hariyanto (peneliti IRE). Acara tersebut berlagsung di Kedai Nusantara Nologaten, Jumat malam (28/3).
Lebih lanjut Arie mengulas sejarah terbentuknya DPD. Secara umum DPD dianggap lahir sebagai alat pemenuhan, seperti halnya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). DPD gagal dan terjebak dalam isu parsial. Misalnya, Jogja punya masalah apa? Jika representasi (masalah ini) gagal jadi isu nasional, yang bertanggung jawab adalah DPD. Terkait distorsi, DPD harus mempunyai pembeda khususnya dengan lembaga DPR, “Harus ada distinction dengan DPR,” ujar Arie Sujito.
Buku ini diungkapkan Sunaji adalah upaya untuk mencari jawaban atas kebingungan terhadap lembaga perwakilan (DPD). Baik lembaganya sendiri maupun aktor-aktornya. “Siapa lembaga DPD itu? Potret representasi konstituensi antara yang mewakili dan yang diwakili.”
Sementara Titok menjelaskan, banyak sarana komunikasi dengan masyarakat tidak begitu diperhatikan oleh DPD “Banyak saluran komunikasi, setidaknya ada tiga. Pertama, tatap muka. Kedua, dalam bentuk seminar. Ketiga, media. Namun, lama-kelamaan nggak diolah, banyaknya media malah membuat sedikit yang diketahui,” papar Titok.
DPD juga dinilai kurang serius dalam menjalankan tugasnya. “Jam 08.30 kami datang ke (sekretariat) DPD itu belum buka, terus kita pulang. Dan kembali jam 13.30, tapi kok sudah tutup,” lanjut Titok
Acara bedah buku yang dihadiri mahasiswa, awak pers dan beberapa pejabat pemerintahan itu akhirnya diakhiri dengan penampilan musik dangdut. (Isma Swastiningrum)
Editor : Ulfatul Fikriyah