Home - Mengkaji Benturan NU-PKI di era 1948-1965

Mengkaji Benturan NU-PKI di era 1948-1965

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

lpmarena.com, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Yogyakarta menggelar bedah buku putih berjudul “Benturan NU-PKI: 1948-1965” di Convention Hall UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kamis (3/4). Hadir dalam acara tersebut, Purwo Santoso selaku Wakil Ketua PWNU DIY, guru besar sejarah UGM Bambang Purwanto, serta penulis buku, Sastro Ngatawi dan Abdul Mun’im.

Dalam sambutannya Purwo Santoso mengatakan, “Setelah sekian lama ditunggu, buku itu akhirnya diterbitkan. Buku putih ini sangat penting untuk memberikan perimbangan informasi sejarah tentang NU pada tahun 1948-1965,” ujarnya.

Antara tahun 1948-1965, Indonesia mengalami proses transisi yang luar biasa. Bangsa ini mulai menghirup udara kemerdekaan setelah sekian tahun dijajah. Namun dengan adanya benturan NU-PKI sering kali NU disudutkan.

Menurut Bambang Purwanto buku tersebut merupakan sebuah pembanding sejarah. “Selama ini kita disodorkan historiografi yang dibuat oleh bukan orang Indonesia, nah sekarang kita mampu membuat historiografi sendiri,” kata Bambang. “Ini adalah narasinya NU” imbuhnya.

Selain mengapresiasi terbitnya buku, Bambang juga mengkritik kelemahan buku tersebut. Menurutnya, dalam penulisan terdapat data-data  yang susah untuk dikonfirmasikan kebenarannya. Bahkan buku tersebut tidak menyebutkan dengan jelas sejak kapan NU benturan dengan PKI. “Buku ini hanya menjelaskan sejak lama, belum ada waktu yang pasti,” kata Bambang, yang  juga pembanding bedah buku.

Menanggapi kritik tersebut, Abdul Mun’im mengatakan jika hal tersebut merupakan sebuah sikap seorang penulis. Sebab buku putih tersebut merupakan catatan emosi perasaan para penulis. “Buku ini memang tujuannya bukan ilmiah, tapi mampu memberikan kesadaran diri, kekuatan dan gerakan bagi orang NU,” kata Muim.

Pernyataan Muim diamini Sastro Ngatawi yang juga ikut menulis buku tersebut. Menurut sastro, emosi perasaan adalah sebuah ruh spiritualitas yang terkadang tidak dapat dirasionalkan. Akan tetapi spiritual dan rasional, keduanya merupakan sebuah ilmu. “Misi utama buku ini memang dalam rangka membangkitkan spirit” katanya. (Taufiqurrahman)

 

Editor : Folly Akbar