Oleh Dedik Dwi Prihatmoko *)
Kampanye dengan berkonvoi menjadi pilihan beberapa parpol (Partai politik) guna memperkenalkan dan mempromosikan partai yang mereka usung. Namun dalam implementasinya, masyarakat kurang begitu suka akan aksi beberapa oknum (Simpatisan) pengiat konvoi yang ada saat ini. Dalam pelaksanaanya perlu diadakannya pengembangan sarana fasilitas dari pihak pemerintah.
Pesta demokrasi tinggal menghitung hari, hal ini menjadi momen penting bagi partai- partai peserta pemilu untuk berjuang meyakinkan masyarakat. Berbagai event baik blusukan, ziarah makam pahlawan, kampanye terbuka, serta konvoi menjadi pilihan beberapa partai untuk merauk suara di 9 April mendatang. Saat ini kampanye dengan berkonvoi di jalan- jalan protokol sudah mulai nampak kita jumpai khususnya di Yogyakarta.
Sesuai SK KPU DIY no 22/KPTS/KPUDIY.013/III/2014, memutuskan jadwal kampanye dimulai dari (16/03 – 5/04), sehingga menjadi waktu yang cukup krusial bagi partai-partai peserta pemilu untuk memperkenalkan dan mempromosikan diri mereka di hadapan rakyat Yogyakarta. Berbagai langkah, strategi dan trik-trik kampanye parpol sudah mulai digalakkan. Tak luput konvoi menjadi sebuah opsi partai politik saat ini.
Aksi para simpatisan berkonvoi mengunakan kendaraan berkenalpot keras dengan pengeber- ngeberan kendaraan ditambah para pembonceng dengan semangatnya mengibaskan bendera partai ke sana – ke mari sudah tidak menjadikan hal baru dan aneh di negeri ini. Mereka seakan tak memperdulikan sebuah peraturan-peraturan yang sudah dibuat pemerintah, terkait keamanan dan keselamatan berkendara di jalan raya, seperti mengunakan helm, kendaraan berspion, menghidupkan lampu sorot kota, dan berkenalpot standar menjadi hal yang di sepelekan oleh para simpatisan partai, peserta konvoi.
Pola semangat mereka tentu bolehlah mendapatkan apresiasi, namun apresiasi itu akan selalu ada ketika dalam pelaksanaan kegiatan konvoi, para simpatisan partai dapat menghargai pengguna jalan yang lain. Bukan malah menunjukkan sisi arogansi kelompok yang akan mengarah ke sisi primordialisme.
Konvoi sebagai salah satu cara untuk memperkenalkan partai kepada rakyat memang baik adanya, namun dalam implementasinya masyarakat kurang begitu suka. Masyarakat Jogja yang notabene bersuku Jawa akan lebih menjunjung falsafah “ayem tentrem”, sehingga ketika masyarakat Jogja dipertontonan sebuah aksi konvoi anak-anak muda dengan pengeber-ngeberan kendaraan yang mereka tongkrongi secara sadar ataupun tidak, tentu bukan menambah point plus di mata rakyat, namun justru lebih kepada penurunan image partai itu sendiri.
Kita tentu tau bahwa kota Jogja adalah kota pelajar, kota anak-anak berpendidikan yang lebih menyukai hal-hal yang bersifat akademis dan membangun. Bukan memposisikan suka ataupun tidak suka terhadap konvoi, namun alangkah lebih baik ketika konvoi yang ada saat ini dikemas semenarik mungkin tanpa ada unsur-unsur arogansi dan unsur kebringasan (yang berujung kapada radikalisme antar kelompok), sehingga akan berdampak baik terhadap citra partai di mata rakyat.
Resolusi dari kejadian ini tentu kembali ke pemangku kebijakan (Pemerintah). Bagaimanapun juga sebuah kebijakan itu dibuat dan disahkan oleh pemerintah. Masyarakat tinggal menerima, menaati, dan menjalankan sebuah kebijakan yang sudah dibentuk. Hal ini menjadi sangat mafhum ketika mendengar anekdot; “Sebuah peraturan itu bukan untuk dilanggar tetapi untuk dijalankan” Sehingga peran pemerintah dalam segala fenomena, kasus dan kejadian -termasuk pengindahan pelaksanaan kampanye berupa “konvoi” menjadi tugas, kebijakan dan kewenangan yang tidak bisa dibantahkan lagi bagi pemerintah.
Merubah sesuatu yang sudah ada, dan menjadi tradisi tentu tidaklah semudah seperti halnya membalikan telapak tangan. Perlu adanya pendekatan-pendekatan yang nyata dan tegas dari pihak pemerintah. Dalam fenomena konvoi yang ada saat ini, saya berfikir perubahan tata cara pelaksanaanlah yang perlu diubah dan dikembangkan. Yogyakarta dengan rakyat mayoritas bersuku Jawa yang suka akan hal-hal yang indah dan menghibur perlu kita kaji terlebih dahulu, sehingga perubahan yang sifatnya membangun akan dapat diciptakan.
Perubahan sarana fasilitas konvoi yang tadinya menggunakan kendaraan bermotor kita alihkan ke bersepeda roda dua tentu akan menambah nilai estetika tinggi. Lalu bisa ditambah para simpatisan memakai baju kebanggaan partai, serta mengibarkan bendera partai dan diimbangi dengan kibarnya bendera merah putih akan menambah paint plus bagi suatu partai itu. Hal ini mungkin bisa dibilang aneh/ tidak layak untuk dikaji. Namun ayolah coba kita ambil contoh kerumunan anak muda bersepeda tiap Jumat akhir di setiap bulannya. Mereka merupakan komunitas sepeda yang menamakan diri sebagai komunitas JLFR (Jogja Last Friday Ride). Komunitas sepeda ini terlihat apik dan menarik untuk dipertontonkan. Tanpa adanya kawalan petugas keamanan, mereka tetap bisa berdiri dan berkembang pesat. Di sisi lain masyarakat sangat menerima komunitas ini.
Dari contoh di atas dapat dijadikan sebuah rujukan untuk perbaikan sarana fasilitas pelaksanaan konvoi ke arah yang lebih menarik dan tetap berkualitas. Bersepeda bersama untuk memperkenalkan partai tentu akan menarik minat rakyat untuk menyaksikan, dan akan berbeda ketika simpatisan masih menggunakan kendaraan bermotor dalam berkampanye. Bukan menjadikan rakyat tergugah untuk menyaksikan, malah justru yang ada rakyat takut akan aksi simpatisan yang lebih menunjukkan sisi arogan kelompok dengan pengeber-geberan kendaraan yang mereka gunakan.
Di sisi simpatisan, dengan bersepeda bersama-sama, sesangar (menakutkan) apapun oknum simpatisan parpol tidak akan nampak karena sarana sepeda tidak mendukung untuk menjadikan seseorang terlihat sangar (menakutkan) di mata rakyat, sehingga nilai plus partai akan bartambah. Berbeda lagi ketika seseorang anak yang sebenarnya ramah (kalem) dikarenakan sarana yang memfasilitasi anak mengember-ngeberkan kendaraannya pasti perlakuan masyarakat akan meng-klaim bahwa anak itu brandalan. Dan berimbas ke penurunan image partai yang anak (Oknum) kampanyekan tersebut.
Di sisi lingkungan, berkampanye menggunakan kendaraan bermotor akan memberikan dampak yang kurang baik bagi lingkungan. Polusi udara yang ditimbulkan dari asap kenalpot menjadi masalah serius di kota-kota besar karena berimbas kepada pemanasan global (Global warming). Secara garis besar, efek dari polusi kendaraan bermotor akan menjadikan bumi kita semakin panas sehingga lingkungan kita kurang nyaman sebagai tempat hunian. Namun ketika sistem kampanye menitiktekankan dengan bersepeda bersama, masalah polusi udara tidak akan timbul dikarenakan sepeda tidak membutuhkan bahan bakar. Sehingga dapat meminimalisir pemanasan global di kota ini.
Dalam sisi anggaran Partai, pengeluaran dana partai dalam pembiayaan konvoi pra-pemilu pasti tidaklah sedikit, mulai pembelian sepanduk, pembagian kaos terhadap para simpatisan dan bahan bakar kendaraan menjadi penekanan anggaran bagi partai. Kejadian ini dapat diminimalisir dengan cara berkonvoi bersama dengan bersepeda, karena dengan system bersepeda para pengurus parpol tidak perlu lagi memikirkan budget bahan bakar kepada para simpatisan. Sepeda tidak memerlukan bahan bakar, sehingga pengeluaran partai bisa diminimalisir.
Dalam sisi petugas keamanam, sampai saat ini sering kita jumpai para penegak aparatur negara (Polisi) bersiaga baik di pos- pos polisi, perempatan jalan, bahkan pendampingan terhadap para peserta kampanye rutin dilakukan menjelang pemilu yang tinggal mengitung hari. Pendampingan dilakukan guna menggamankan jalannya proses kampanye. Pasalnya sering dijumpai simpatisan peserta konvoi lebih memperlihatkan sifat arogansi kelompok dengan tidak menghiraukan rambu lalulintas dan kurang menghargai penguna jalan lain, hal ini tentu akan menguras kerja aparatur negara. Namun akan berbeda perlakuan ketika para simpatisan partai dioptimalkan dengan menggunakan sepeda dalam berkonvoi.
Sekumpulan orang bersepeda akan mudah dalam pengaturannya karena tidak mungkin para simpatisan akan bertindak anarkis dengan sarana sepedanya (sarana fasilitas tidak mendukung untuk bertindak anarkis). Sehingga dapat disimpulkan akan naif sebuah aksi anakris itu terjadi, sehingga dalam hal pendampingan keamanan pelaksanaan kampanye tidak banyak menyita personil polisi apalagi sampai menurunkan personil hingga berkompi-kompi.
Kampanye memberikan kesempatan bagi parpol untuk menunjukkan eksistensinya, strategi berupa konvoi tak luput menjadi pilihan. Tujuan luhur dari sebuah konvoi akan tercapai dengan baik apabila dalam pelaksanaan kampanye sisi arogansi kelompok tidak ditonjolkan. Untuk itu pemerintah, baik pemerintah kabupaten, kota dan provinsi harus saling bekerja sama guna peningkatan kampanye yang berkualitas. Sehingga program pencapaian pensuksesan pemilu tahun ini dapat terwujud secara maksimal.[]
*) Mahasiswa Fak. Tarbiyah, Prodi. PGMI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta