Oleh Nurul Ilmi El-Banna *)
Api Tak Kunjung Padam*
Api yang tak kunjung padam di matamu melalap habis ribuan sajak-sajakku. Entah pada sajak keberapa ketika kau menangis; bersujud pada langit agar hujan datang dan apimu jadi padam. Namun, langit murung dan mengaung sumbang, sedang air mata yang tumbuh dari tangismu menjadi dingin. Api selalu hidup di antara batu-batu matamu, pergesekan antar ribuan lipatan masa lalu.
Api yang tak kunjung padam di matamu menampung segala cerita yang busuk, mimpi yang basi dan seluruh duka yang telah mengabu. Kadang, angin melempar rasa suka ke ujung rambutmu, tapi seketika lindap terlego oleh kitab nasib yang tak sama. Yang berawal dan berakhir darimu selalu semu.
Api yang tak kunjung padam di matamu, didatangi pengunjung saban waktu. Ada yang membawa sekian cerita duka untuk dibakar, ada yang hanya duduk di taman-taman dada bidangmu untuk melepas penat hari. Ada yang membawa sekarung harapan untuk kau matangkan. Ada pula yang menanam kenangan untuk dilupakan. Dari sekian kedatangan dan kepergian, apa kau tak bosan menyalakan diri?
sajak-sajak yang kau hanguskan, telah membatu di tilam kematian. Sebagai saksi antara yang datang dan pulang, bahwa kita mencari haluan.
BatangBatang, 21-02-14
* nama sebuah tempat di Pamekasan, Madura. Di sana terdapat api yang tak pernah padam.
Asta Tinggi*
Benteng-benteng berkelok didirikan
Pagar di tinggikan menuju langit
Mengepung makam-makam yang semakin beku dilintasi gerak waktu
Pepohonan yang berjajar renta menyumbang nafas
Derap langkah penziarah mewakili kata, dan ricik air wudhu’
Menghidupkan pikiran.
Para penyapu dengan tekun membersihkan daun-daun
Yang menjatuhkan diri, saban hari tiada henti
Menambal lubang-lubang dosa dengan dzikir sapu
;Debu makin enggan bertamu
Entah berapa tetes air mata yang berhasil ditampung
Dari daun jatuh
Dari perubahan membunuh masa lalu
Pedagang bunga berjajar
Menggelitik keinginan
Melarung deretan doa yang bersikejar
Meminta segera diantar
Di dalam sana, Bindara Saod dan keluarganya menyambut
Kehadiran kita dengan sahaja
Tubuh-tubuh yang terbaring kaku di kekalkan sunyi
Apakah mereka berharap taburan bunga?
Lalu para penziarah menuju hening
Tempat rahasia-rahasia surga.
Segala permohonan terkatakan
Niat tertunaikan,
Mungkin cepat sampai bila terucapkan di sini
Menyapa tuhan lewat pintu para wali
Anak kecil mungil merengek minta mainan
Gumam doa pun ambyar melarut di udara
DuniaKecil, 05-03-14
*tempat pemakaman raja-raja Sumenep
Elegi Api
:Pasar Anom
Sisa kebakaran
Puing-puing dan silalatu menggambar kenangan
Lekat di pusat ingatan
Bulan sabit di langit milik siapa?
Kalau boleh kami minta,
Menerangi nurani
Guna memperpanjang kesabaran
Atau menghias pasar yang kini pecah.
Ibarat liang malam, di sini setitik lilin membangun terang
Pedagang, tukang becak, pemulung, dan juru parkir memunguti
Rezeki setiap hari
Dan kini tinggal sisa luka
Jilatan api merontokkan harapan
Ini mayapada, bukan dongeng
Kita pelihara isi dada biar tidak tumpah
Kita cintai sisa-sisa
Bersihkan luka
Tapi, bagaimana kalau api itu pun membakar ingatan?
Sumenep, 07-03-14
Labang Mesem*
Melangkah ke arah fajar, ada seonggok sunyi.
Sebelah timur gedong negeri kutemukan engkau meratapi sejarah sepi
Berapa tahun engkau berdiri? Tanpa takut dihisap matahari
Di depan mata kau hanyalah sejarah yang kalah, tumbang oleh taring zaman.
Tapi dalam setiap kita, terkenang sebagai prasasti
; Mengingatkan mati
Setiap orang akan masuk. Di depan pintu itu, mata air tumbuh
Untuk menyucikan tubuh. Basuhlah wajah dengan penyesalan
Biar rapuh segala dendam, biar musnah seluruh amarah.
Dan pintu itu akan membukakan ponconiti yang
Lama terkunci oleh tangan matahari
Kita masuki dengan segala niat suci
Apakah Potre Koneng yang sedang duduk di atas loteng?
Memantau jalan surga yang telah
Punah, penuh daun-daun tua berserak.
Kita tak perlu menggerakkan kata-kata
Karena wajah dunia telah merekan seluruh jejak luka udara
Meski tak dapat bercumbu di indra
Cukup utuh dalam rasa
Sumenep, 02-03-014
*Labang Mesem (pintu tersenyum) adalah pintu masuk keraton Sumenep.
Pasarean Joko Tole*
Berapa lama engkau mengembara di surga?
Tanpa sekalipun tersesat ke jalan neraka.
Batu nisan yang dingin telah mengundang rinding bulu-bulu kulitku
Lantaran aku tahu kesalehanmu bertahta di alam megah
Tak terbayang oleh angan.
Sedangkan aku sekuat tenaga menyembunyikan luka dosa
Dalam lipatan doa
Yang sering tanggal sebelum tiba ke puncak ijabah
Berapa lama kau telah tinggalkan riuh dunia?
Menunaikan undangan malaikat untuk istirahat
Seolah hidupmu begitu singkat.
Bukankah di rahim ibu kau telah puas istirah
Meski harus lahir tanpa diperam ayah; seperti Isa
Berapa lama lagi wajah dunia harus terkoyak?
Di sini, ada penyair datang meminta mantra
Demi mengikat sajak-sajak langit yang mulai berlepasan dalam semesta
Sumenep, 04-03-14
*pasarean Joko Tole (makam Joko Tole). Joko Tole adalah salah satu raja Sumenep
Biji Suara Dari Ilusi
Ketika nafsu yang diinjak telah melesat menghambur ke dada meja
Lalu naik ke ubun-ubun. Aku ingin menjelma angin. Menyerupainya.
Tak ditemukan siapa-siapa di kerak dunia.
Setumpuk akhlak yang pernah di bagikan di inti rahim
Terserak, hanyut ke liang sungai. Bercampur sampah dan kotoran manusia
Bermilyar umpatan berbaris tak beraturan, sekedar memenuhi
Ruang sunyi di balik tirai kamarmu, yang sering kali berbau pesing
Bila sering di kencingi anak-anak serangga nakal.
Aku ingin menengok hatimu. Berdiam di sana, yang katanya penuh aku
Dan mencari aku lain yang kau sembunyikan. menemukan wajah
Sendiri untuk dibuang. Dan jantungmu, yang katanya
Tak bisa berdenyut tanpa diriku
Biar jadi bangkai. Di rubung semut lapar
Ungkapan sayang memantul jadi hiasan pertokoan
Dan lampu jalan. Mudah hilang
Diterbangkan gerak kalender. Rupa dan tahta mengalahkan segala
Cinta tak mengekalkan apa-apa
Bulan di langit kini separuh. Serupa wajahmu; keriput dan pudar
Telah ku lupa berapa garis yang timbul kalau kau menarik seulas senyum
Atau berapa tahi lalat yang menambat kerinduanku pada hela sukmamu
Biar ku pelihara saja ilusi, berkecambah dalam tiap inci labirin-labirin
Panjang dalam otakku.
DuniaKecil, 09-03-14
Rumah Puisi
Hanya ada barisan semut merah menyala di tanah
Memunguti sisa tinta yang di kira gula,
Tinta yang luber karena tak sengaja dihinggapi angin.
Kursi tua masih setia menemani meja yang hampir rubuh
Juga sampah dan daun-daun kering yang kian hari membentuk planet
Baru di lantai tanah; rumah kita.
Di dindingnya tergantung beberapa bingkai kenangan
Sudah buram. Tak sempat diolesi minyak reuni
Di pojok kiri depan, setumpuk buku penuh rayap
Mereka berumah di dalamnya.
Tak ada jendela. Sebab aku takut bila puisi yang bersemedi
Tergoda cahaya lalu kabur melewatinya.
Juga tak ada lemari untuk menyimpan
Kata-kata,
Metafora,
Atau diksi.
Biarlah ia menyatu dengan rumahku
Melekat dalam tiap senyawa lantainya yang tanpa keramik itu.
Bila kalian ingin bertamu,
Ketuklah pintu, dan sebut nama-Nya sembilan puluh sembilah kali.
Lalu hidangkanlah pena yang kau bawa
Biarkan tangan-tangan rumahku menorehkan puisi
Puisi paling puitis
Mungkin para redaktur koran sering ke sini
Memetik buah yang dihasilkan puisi
Aku dapati jejaknya menempel kuat
Pada debu yang tebal
Kelak, jika datang musim paceklik
Tinta mahal dan langka
Bunuh saja matahari di atap rumah
Dan isi penamu dengan darahnya.
Kemudian puisimu penuh kilau cahaya
Mengalahkan sorot mata
BatangBatang, 02-03-14
Pengantar Dingin
Angin yang mengantar dingin
Telah meneguhkan sunyi
Sedang gelap merambat makin cepat
Seolah tahu bahwa gerimis baru saja turun dari mataku
Angin yang mengantar dingin
Telah menuntaskan sepi
Sementara nafas tiada henti
Mengebiri waktu yang berjalan hati-hati
Batang-Batang, 07-01-14
Riwayat Bulan
Sepotong bulan di langit siang seperti anak yatim kebingungan
Terkapar oleh panas yang dihembuskan matahari
Timbul tenggelam di antara awan
Seperti kapal tak bertuan di permainkan gelombang
Aku memburunya,
Menyublim mimpi menjadi goa suci tak terperikan
DuniaKecil, 2014
*) Lahir di Sumenep, 21 Januari 1993. Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Puisinya tersebar di beberapa media massa.