pmarena.com, Tak kurang dari tiga ribu mahasiswa diluluskan UIN Suka setiap tahunnya. Meskipun diwisudakan secara bertahap dengan tiga gelombang, momen wisuda tidak hanya menjadi momen serimonial. Melainkan juga momen Pertunjukkan, dengan P besar.
Artinya, rapat senat terbuka itu tidak hanya dalam artian memindahkan benang toga saja, tapi juga memperlihatkan kepada kayalak ramai bahwa inilah wajah-wajah yang “terdidik” itu. Tampilan “terdidik” menjadi kurang menarik karena sarjana bukanlah “sesuatu” yang langka lagi di negeri ini. Jumlahnya telah jutaan, puluhan juta malah. Namun tentu saja, nilai “terdidik” itu tidaklah kurang sama sekali. Meski jumlahnya tak sedikit lagi, tapi peran sebagai “orang terdidik”, sebagai subyek yang punya kekuatan sosial berbeda dengan kekuatan sosial lainya –dengan sumber daya dan akses pengetahuan, kekuatan sosial ini masih terus dikaji. Di sini pertanyaan-pertanyaan seputar peran dan pola intelektual terus dipertanyakan. Bukan untuk merusak momen bahagia wisuda, melainkan untuk menyempurnakan kebahagiaan itu sendiri; dengan “memperjelas” bentukan subyek terdidik dari lulusan perguruan tinggi.
Kita dapat melihat, banyak masyarakat berbondong datang menghadiri Pertunjukkan kelulusan sarjana terdidik ini. Di antaranya, barang tentu orang tua dan wali dari para wisudawan. Tak menutup kemungkinan pula, keluarga besar di kampung halaman dengan “kasak-kusuk” menanti penuh harap anggota keluarganya yang mendapatkan gelar itu. Artinya lagi, momen wisuda tak habis sebagai Pertunjukan wajah-wajah terdidik, melainkan juga sebagai “jemputan” masyarakat untuk bergabung bersama mereka di kehidupan luar Perguruan Tinggi. Di sini, kita dapat melihat, wisuda adalah ajang pelepasan untuk kembali-pulang ke kampung halaman. Untuk mudik. Untuk kembali ke udik.
Tentu berbeda dengan mudiknya para perantau di momen-momen lebaran. Barangkali, dengan sedikit heroik, dapat kita katakan di sini; Yang pulang adalah orang yang baru; subyek yang berbeda. Di daerah perkotaan, dengan permasalahan individualitas yang lebih akut dari perdesaan, pulangnya wisudawan mungkin terbatas pada kembali ke hadiran keluarga sedarah saja. Namun tidak halnya di desa, dengan semangat gontong-royong dan sifat egalitarian yang terus diupayakan bertahan, pulangnya seorang sarjana, meskipun hanya satu-dua orang dari keluarga kecil, perannya atau efeknya bisa saja mempengaruhi keseputaran desa tersebut. Dalam arti kata, pulangnya wisudawan mempunyai andil yang lebih besar untuk masyarakatnya, tak terbatas untuk keluarganya saja.
Ketika itu, tanggung-jawab tentu tak sedikit, karena dituntut berperan aktif dan menubuh dengan problema masyarakat. Bahkan disebagian tempat malah menuntut peran yang lebih besar; Mengayomi dan membimbing.Tentu saja, tanggung-jawab yang besar tidak mudah untuk menuntaskannya.
Sebagaimana kita bersama tahu; dunia pendidikan lebih banyak mempersiapkan pelajar-pelajar untuk menjadi pekerja, menjadi “pegawai” yang bisa bekerja dengan sistem yang kaku. Makanya, semenjak memasuki dunia pendidikan, termasuk perguruan tinggi, kita terus dibiasakan dengan sistem yang ketat, pengupayakan capaian yang akurat, dan pengorganisasian yang efektif. Begitu juga dengan kultur dan keseharian di gedung-gedung pendidikan, kita dibiasakan tenang, damai, rapi, teratur, interaksi yang nyaman, serta stelan yang bersahaja. Kesemua itu, tentu saja, tidak ditemui di kehidupan sosial masyarakat. Dunia pendidikan lebih menyiapkan orang-orang untuk bekerja kantoran, bukan jalanan dan perkebunan, walau kuliahnya jurusan Pertanian. Jurusan-jurusan sosial dan humaniora pun bukan diorientasikan penuh untuk subyek sosial masyarakat, melainkan untuk peneliti, untuk pegawai di depertemen sosial, atau minimal pekerja lapangan tapi dengan gaji yang teratur.
Dengan persaingan dunia kerja yang semakin ketat saja, tentu tidak semua lulusan akan memperoleh itu. Jaminan kerja pun tak ada. Paling tidak, tujuan akhir tentu kembali ke udik tadi. Namun kendala tak sedikit dijumpai di sini; 1) Tanggungjawab sosial yang lebih dari yang tak kuliah, 2) Orientasi kuliah untuk kerja (dan kerja selalu diartikan dengan kantoran), 3) Diri yang terbiasa dengan gaya hidup “tentram” kemudian bertemu dengan problema dan tingkah-laku masyarakat umum; kejahatan, orang-orang yang hidup tak teratur, kemiskinan, dan lain sebagainya. Terlebih lagi, ada sebuah paradigama -yang tak langsung- terbangun dikebanyakan mahasiswa; 4) Bahwa kampung dan desa adalah masyarakat tertinggal dan kota adalah tanah tujuan di mana kemajuan bisa didapatkan dan penghasilan punya daya saing tinggi. Akibatnya pulang ke kampung halaman menjadi beban tersendiri bagi para-wisudawan. Maka tak jarang, keinginan pulang ke desa ditinggalkan. Tujuan dilanjutkan mencari celah di perkotaan. Di sini ada peluang dan harapan yang dipanjatkan; mengelak dari beban sosial masyarakat kampung, terus mencari kemapanan diri sendiri dan jikalau beruntung dapat “menyisakannya sedikit” untuk keluarga di rumah.
Akibat lanjutnya, yang udik tetaplah menjadi udik. Kelompok intelektual semakin terpisah dari kehidupan masyarakat, karena sibuk dengan urusan dirinya sendiri. Dan yang menjadi masalah sosial ditingkat makro tidak ditindak-lanjuti dengan serius; bahwa desa menjadi wilayah tertinggal dan dihuni oleh masyarakat yang jauh dari peradaban.
Masalahnya, dengan tidak mengatakan ini yang terbesar dan satu-satunya, keengganan kembali ke udik karena desa berada pada tingkat kesejahteraan yang minim dan ketidaksiapan berinteraksi dengan masyarakat.
Dalam tingkat kesejahteraan, orientasi kerja yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa lulusan perguruan tinggi tidak berguna di wilayah perdesaan. Kekhawatiran yang muncul adalah ketidakadaan lapangan pekerjaan yang bisa langsung digarap di perdesaan. Dan kekhwatiran itu lebih lanjut menjelma ke hal yang lebih parah lagi; ketakutan pada kemiskinan. Kemiskinan dianggap kesalahan. Di sini persoalan tak dipandang dengan jernih; Paradigama bahwa ketimpangan sosial –termasuk kemiskinan- adalah akibat langsung dari sistem ekonomi-sosial-politik yang tidak menyejahterakan tidak terbangun.
Jika berlanjut seperti ini, cita-cita pembangunan desa menjadi jauh dari kenyataan. Di mana kelompok intelektual tidak tak hadir bersama masyarakat desa. Sejauh ini yang terjadi, desa hanya dipantau dari jauh, bahkan tak jarang hanya sekedar objek. Padahal desa lah letak sumber daya alam.
Langkah konkrit yang mesti dilakukan memang hanya kembali ke desa dan menjadikan desa sebagai subyek yang menentukan kondisi sosial bangsa. Syarat sumber daya alam jelas dimiliki wilayah ini, namun distributor dan pengendali barang jelas dikendalikan pemilik modal dan birokrat yang terkelompok di perkotaan. Namun langkah konkrit ini tak semudah membalikkan telapak tangan. Tentu berakibat pada perubahan sistem ekonomi, dan jelas akan menimbulkan perlawanan dari pemilik modal dan birokrat. Masalah yang besar ini akan tetap menjadi besar, jika tidak diurai satu persatu bagiannya.
Dalam kaitan ini dengan wisudawan yang kembali ke kampung halaman, ribuan lulusan dapat menjadi massa penggerak perubahan sosial jika memiliki program yang konkrit. Namun baik program perubahan dan ilmu pengetahun yang dipelajari akan mampet di lapangan jika tidak diiringi dengan bahasa komunikasi yang “setara” dengan masyarakat itu sendiri. Kita melihat dunia pendidikan “sumpek” dipenuhi bahasa “meninggi” yang diklaim sarat dengan bahasa intelektual. Namun ini tak cocok untuk masyarakat biasa yang tidak mengenyam pendidikan tinggi. Hal ini diidentifikasi karena kita acapkali mendiskusikan tema-tema seputaran daerah pusat dan mengenyampingkan isu-isu di daerah pinggiran. Dampaknya, terlihat sekali masyarakat intelektual kita gagap membahasakan istilah konseptual ke bahasa-bahasa keseharian.
Terakhir, untuk kawan-kawan yang sudah “terlanjur” wisuda dengan minim persiapan-persiapan tersebut, bukan berarti terlambat dan sudah terlanjur basah. Kesadaran tidak mengenal batas waktu, tinggal penguatan kesadaran tersebut hingga masuk keranah aksi. Sudah saatnya desa digalakkan sebagai penentu sistem ekonomi, baik dimulai dengan usaha kecil menengah, koperasi atau pengorganisasian tani dan nelayan. Dan kepada mahasiswa yang belum wisuda, akankah kita tak belajar dari yang sudah-sudah?[] Redaksi