oleh Dhedhe Lotus *)
lpmarena.com, Siang tadi, ketika saya sedang asyik mencari buku di perpustakaan, tiba-tiba speaker mengumumkan SK Rektor dengan nomor sekian-sekian terkait ketidakaktifan proses kuliah yang dikarenakan pemilu 9 April 2014. Ngomong-ngomong pemilu, saya jadi teringat Jokowi yang pada akhirnya naik juga sebagai kandidat calon presiden.
Mantan Walikota Solo dan juga Gubernur DKI Jakarta yang, mmm… kalau dilihat dari segi fisik dengan kacamata remaja ababil (baca: ABG labil), pasti sepakat mengatakan “gak banget deh!” Tapi nyatanya sangat tidak sepakat dengan anggapan demikian. Why? Ya, kenapa? Saya sendiri juga bertanya-tanya kebenaran macam apa yang saat ini melanda, terkhususkan warga Jakarta yang mendewa-dewakannya. Ini bukan perkara dia baik atau buruk, bukan pula soal saya akan memilih dia atau tidaknya (rahasia, tahu?!), ini soal pergeseran makna dan mindset masyarakat yang dengan mudahnya terkonstruk.
Inget Jakarta jadi inget Betawi, juga si Pitung dan Jampang cucu muridnya yang pada zamannya menjadi ikon maskulinitas seorang lelaki dengan kumis melintang dan dada berbulu. Tapi tentu saja, Betawi sama sekali tidak cukup untuk merepresentasikan Jakarta, begitupun budayanya hanyalah salah satu dari sekian kekomplekkan budaya Jakarta -yang kalau meminjam istilahnya Seno Gumira Ajidarma- disebut sebagai homo Jakartensis.
Tapi whatever-lah soal itu, di sini saya melihat bagaimana media sangat berpengaruh dan merekonstruksi mindset sehingga Jokowi yang pada hakikatnya hanyalah manusia biasa -yang barangkali memiliki kelebihan-kelebihan di bidang tertentu sebagaimna yang lainnya- kemudian terkonotasikan menjadi Super-Wi. Bagaimana bisa mitos purba ratu adil sebagai juru selamat di sini termungkinkan?
Di sisi lain mungkin saya pantas bersyukur bahwa masyarakat Jakarta sebagai masyarakat ibukota, tidak lagi mengukur seseorang berdasarkan fisik. Disadari atau tidak, mindset bahwa “seorang presiden atau pemimpin harus bertubuh tegap dan tegas (baca: militer)” sudah tidak relevan lagi (sedikit ketar-ketir, jangan-jangan saya telah terhegemoni oleh media juga?).
Di sisi yang lain lagi, faktor apakah yang mendasari pengkonotasian tersebut, ada dua hal, tentunya ini hanya menurut saya pribadi: Pertama, kerinduan dari subyek (baca: warga Jakarta) akan adanya sosok pemimpin, dengan kata lain, pendewaan tersebut hanya sebagai kompensasi kekecewaan terhadap amburadulnya perpolitikan di Indonesia. Dan yang kedua, dari warga Jakarta itu sendiri dengan posisinya sebagai objek. Maksudnya Jakarta sebagai ibukota negara, tidak mengherankan ketika sebagian masyarakat Indonesia tergiur dan berbondong-bondong untuk menjadi imigran dan mencicipi bagaimana asin-pedasnya, sehingga kemudian Jakarta menjadi semacam periuk yang melebur segala entitas kebudayaan di dalamnya. Lalu melahirkan kebudayaan baru yang kita sebut sebagai budaya Jakarta.
Sebagian kita yang pernah menginjakkan kaki di sana, minimal televisi selalu memamerkannyalah, tentu tahu dan bisa membayangkan berapa banyak gedung-gedung pencakar langit, mall, dan jalan tol dengan segala tetek bengek keangkuhannya sebagai ibukota yang mencerminkan kemodernan, sekaligus sesak panas dan sumpeg-nya.
Ketika sebuah kawasan terlalu padat dengan penduduk, maka akibat yang dihasilkan; satu macet, kedua banjir, atau panas yang sangat menyengat, dan efek-efek lingkungan lainnya. Hal inilah yang membuat sebagian masyarakat (baca: rakyat pinggiran) enggan bepergian selain parkir yang juga menguras kantong serta tidak adanya waktu senggang -karena habis di tempat kerja dan jalan yang super macet. Hidup seolah-olah hanya D-C-B-A dan kembali lagi ke D disertai selingan yang itu-itu juga antara lain: televisi dengan gosip-gosip artisnya yang gak bermutu, sosmed sebagai ajang curhatan, games sebagai ajang membuang waktu, dan aktivitas-aktivitas monoton lainnya. Jadi bagaimana saya tidak menyebut mereka-mereka ini ‘terrobotkan?’
Ketika media berfungsi sebagai pengalihan sebagaimana saya singgung di atas, terjadilah kemudian pembludakan informasi dari informasi ecek-ecek semacam kasus perceraian selebritis hingga informasi yang sedikit bermutu seperti ekopol. Namun perlu dicatat bahwa peyerapan informasi ini lebih sering diterima secara taken for granted. Memang, judulnya adalah “informasi” memberi tahu kita akan sesuatu, tapi pengetahuan yang didapat dari informasi terebut bersifat sintagmatik, makin banyak-makin baru tapi dangkal, bukan pengetahuan yang paradigmatik, mendalam dan kritis.
Jadi wajar saja, ketika ada sesuatu yang sedikit berbeda dan menarik (baca: Jokowi), akan ditanggapi dengan kehisterisan yang histeris, terlebih hal tersebut kemudian diberi bedak dan diberi gincu agar nampak semakin manarik. Tentunya menarik bagi warga Jakarta, bukan bagi warga yang jauh di pulau sana. Menjawab pertanyaan di paragraf pertengahan, inilah yang saya maksud posisi sebagai objek. Begicu, jeng!.
Jadi bagaimana, masihkah kita memuja-mujanya setinggi dewa? Adakah yang sempat menebak-nebak apa, siapa, dan bagaimana realitas yang sebenarnya di balik sosok yang sangat wow ini? Silahkan difikir, sambil ngupil juga boleh.
*) mahasiswa semester VI, Perbandingan Agama FUSPI UIN Sunan Kalijaga.