Oleh: Maman Suratman *)
Akhir-akhir ini, istilah “kebebasan” marak menjadi perdebatan di sejumlah kalangan. Tidak hanya di media-media massa, di diskusi-diskusi perorangan atau kelompok mahasiswa pun, wacana tentang kebebasan terlihat dominan. Mereka memandang “kebebasan” sebagai wacana “usang” tapi tetap menarik untuk dikaji lebih jauh.
Umumnya, membuka kran kebebasan acapkali diidentikkan dengan upaya mengeksiskan totalitarianisme. Kelompoknya, orang-orang liberal, dianggap sebagai orang-orang “liar”. Apa yang ditampilkannya dipandang sebagai pola laku orang-orang primitif. Dampaknya jelas: “menyimpang”. Dengan asumsi yang demikian, terlihat jelas bahwa ada semacam distorsi pengetahuan.
Baru-baru ini, sekitar beberapa hari yang lalu, sepasang kekasih tertangkap basah melakukan hubungan intim layaknya suami-istri. Tindak penggerebekan itu dilakukan oleh warga setempat. Alasannya sederhana, yakni melanggar tata aturan atau norma kesusilaan di masyarakat itu. Sepasang kekasih itupun akhirnya dipermalukan di hadapan khalayak. Para pelakunya sendiri justru merasa bangga karena dianggap sebagai petugas “kebersihan lingkungan”.
Selintas menengok kejadian di atas, hubungan intim ataupun penggerebekan merupakan tindakan yang sama-sama berdasar dari kebebasan. Atas nama kebebasan, sepasang kekasih nekat melakukan hubungan intim meski hanya dengan ikatan suka sama suka. Atas nama kebebasan pula, masyarakat setempat melanggar kebebasan orang lain melalui tindakan penggerebekannya. Kejadian seperti ini hanyalah satu dari sekian banyak contoh di mana kebebasan menjadi akar dari banyak dan beragam konflik. Karena itu pulalah kajian ini masih patut untuk kita jadikan diskursus. Tidak hanya tentang signifikansinya terhadap dunia kehidupan manusia, melainkan juga –ini yang utama– karena penyalahgunaan atau kesalahan pendefinisian tentang konsep kebebasan itu sendiri.
Berlin dan Konsep Kebebasan
Berbicara tentang kebebasan, sebenarnya istilah ini sudah bisa dikatakan kompleks, bahkan final, jauh hari sebelumnya. Yang jadi masalah adalah pengaburan atasnya nyaris tiada ujung selain tindak kekerasan antar sesama. Jika merujuk sejumlah wacana klasik tentang kebebasan, tak satupun literatur pernah memperlihatkan bahwa kebebasan adalah sama dengan apa yang diasumsikan orang-orang pada umumnya (baca: paragraf kedua). Itulah mengapa judul tulisan ini lebih memilih kata “memperjelas”, bukan “menggagas”. Bahwa memperjelas yang kabur serta memurnikan yang keruh adalah tugas utama seorang terdidik.
Satu tokoh yang penulis akan rujuk dalam pembahasan ini adalah Isaiah Berlin (1909 – 1997). Di mata dunia, Berlin adalah filsuf liberal sekaligus sejarawan pemikiran terkemuka. Hampir semua pemikir kotemporer setelahnya, terutama yang bergelut dalam diskursus seperti liberalisme dan pluralisme, menjadikan Berlin sebagai sumber inspirasi utamanya (Saidiman Ahmad: 2006). Hanya sayang, di lingkungan filsafat seperti UIN ini, sosok dan pemikirannya justru tak banyak diketahui mahasiswa. Mungkin karena terbatasnya akses mahasiswa terhadap buku, mungkin juga karena kurangnya pemikiran-permikiran filosof liberal ini yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sendiri.
Dalam karyanya Four Essays on Liberty yang dialihbahasakan oleh A. Zoim Rofiqi, diterbitkan oleh Freedom Institute dan LP3ES menjadi Empat Esai Kebebasan (2004), Berlin dengan sangat luar biasa berbicara tentang kebebasan. Salah satunya adalah “Dua Konsep Kebebasan” – selanjutnya menjadi rujukan utama dalam penulisan ini.
Membaca “Dua Konsep Kebebasan” Isaiah Berlin, ada dua istilah yang dapat kita temui di dalamya. Keduanya nampak serupa sebagai istilah dari kebebasan. Berlin mengontraskan dua pandangan ini, yakni freedom to (kebebasan untuk) atau positive liberty (kebebasan positif) dan freedom from (kebebasan dari) atau negative liberty (kebebasan negatif). Pertama sebagai realisasi diri, dalam pengertian Kantian dikenal sebagai penguasaan diri oleh rasionalitas; kedua sebagai situasi tidak adanya tekanan, hambatan, paksaan, atau kekangan dari luar diri kita (hlm. xvii).
Kedua konsep kebebasan di atas, bagi Berlin, freedom to harus terus kita waspadai, jika perlu ditiadakan. Jika merujuk pada pengertian Kantian, mengeksiskan freedom to tentu akan membuka ruang di mana akan ada banyak orang atau kelompok yang merasa lebih tahu tentang apa yang baik bagi semua. Belum lagi, sebagai tindakan aktif, tentu akan cenderung melanggar kebebasan orang lain. Hal inilah yang pernah dipraktikkan oleh Stalin. Dengan menganggap diri sebagai “insinyur jiwa manusia”, dia merasa lebih tahu apa yang terbaik bagi rakyatnya. Dan hampir semua pemimpin otoriter di semua bangsa, mempraktikkan hal yang serupa. Bayangkan jika dosen-dosen kita bersikap seperti itu. Apa jadinya pertarungan gagasan di dalam kelas jika dosen menganggap dirinya sebagai orang yang paling rasional yang tahu mana yang terbaik bagi mahasiswanya? Bagi Berlin sendiri, kebebasan model ini tiada lain sebagai tindakan totalitarianisme. Hematnya, freedom to bukanlah tindakan kebebasan melainkan penindasan (membuat orang menjadi tidak bebas).
Pada konsep kedua (freedom from), ini yang sangat ditekankan dan diinginkan oleh Berlin secara pribadi. Baginya, kebebasan yang benar-benar kebebasan adalah kondisi di mana tidak adanya tekanan, hambatan, paksaan, atau kekangan dari luar (freedom from). Sebagai juga tindakan sebagaimana freedom to, tindakan ini lebih bersifat pasif. Meskipun tindakan ini juga mengusung apa yang disebut sebagai tindakan kebebasan individu, tetapi pada praktiknya tidak pernah melanggar kebebasan individu orang lain. Hematnya, selama tindakan kebebasan itu tidak mengganggu, mengusik, atau merugikan orang lain baik langsung ataupun tidak (dampak yang sifatnya material), semua orang bebas bertindak apa saja. Tak hanya itu, tanggungjawab atas tindakan pun harus terus menyertainya. Inilah sebenar-benarnya kebebasan manusia bagi Berlin.
***
Kembali kepada peristiwa penggerebekan sepasang kekasih di atas, mungkin sedikit banyak kita sudah bisa memberi penilaian terhadapnya, apalagi jika merujuk konsep kebebasan ala Berlin ini: freedom from. Sudah semestinya bahwa aturan, moralitas, norma agama, dan segala jenisnya yang abstrak, subjektif dan konstruktif itu, tidak membatasi tindakan kebebasan kita sebagai seorang manusia. Di samping sebagai hak dari masing-masingnya, kebebasan adalah fitrah kemanusiaan itu sendiri. Bahwa dunia kehidupan sudah selayaknya memungkinkan manusia-manusianya untuk hidup bebas, jauh dari tekanan, hambatan, paksaan, atau kekangan dari luar. Satupun tak ada pembenar bagi mereka untuk melakukan tindakan semena-mena hanya karena pertimbangan yang sukar dinalar itu, apalagi sampai melanggar hak dan kebebasan orang di luar dirinya. Semua orang ingin bebas, sebagaimana juga kita menghendakinya.
*) Mahasiswa Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta