Home - Membantu Memperjelas Konsep Kebebasan Individu (Tanggapan untuk Maman Suratman)

Membantu Memperjelas Konsep Kebebasan Individu (Tanggapan untuk Maman Suratman)

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh Jamaludin A.

 

Berbicara tentang kebebasan individu dalam konteks sekarang -untuk sebagian orang- mungkin menjadi hal yang menarik, tapi mungkin juga absurd. Sebab membicarakan seorang individu bebas di tengah kondisi sosial yang menopang keberadaannya tak ubahnya seperti “menegakkan benang basah”. Terlepas dari apapun hasilnya nanti, sebuah usaha yang dirintis kawan Maman Suratman (dan pengkaji kebebasan lain) patut diapresiasi.

Sekitar seminggu yang lalu kawan Maman mengirim tulisan pada website ini dengan judul “Memperjelas Konsep Kebebasan Individu”. Dalam tulisan tersebut ia mengetengahkan wacana kebebasan individu dengan mengambil landasan teori dari konsep kebabasan Isaiah Berlin; Pemikir analitik-liberal dari Universitas Oxfort, Inggris. Landasan teori yang dipakai adalah dua konsep kebebasan Berlin yang banyak menjadi rujukan pemikir liberal, yaitu Kebebasan Positif (Freedom to) dan Kebebasan Negatif (Freedom from).

Dalam tulisannya ia mengambil kejadian penggrebekan sepasang kekasih di Gowok, Banguntapan, DIY, sebagai cerminan pelanggaran atas kebebasan individu yang sering terjadi di sekitar kita. Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba membantu kawan Maman yang ingin “memperjelas”  konsep tersebut serta mengaitkannya pada konteks sosial yang ada. Konteks dirasa punya posisi penting karena berkait erat dengan konsep ketika akan dibumikan.

Kebebasan Sebagai Konsep  

Sebagai pegangan awal, mari kita kutip perkataan Thomas Hobbes tentang kebebasan; A free man is he that.. .is not hindered to do what he has will to (Two Concepts of Liberty:1958). Manusia yang bebas adalah ia yang tidak dihalangi untuk berbuat apa yang diinginkan.

Para pengkaji awal filsafat kebebasan termasuk Hobbes cenderung percaya bahwa ada kondisi alami manusia bebas yang tak bisa diganggu gugat. Pemikir lain seperti John Locke atau John Stuart Mill berpendapat bahwa harmoni sosial dan kemajuan selaras dengan pemeliharaan atas kehidupan individu. Khusus Hobbes, postulat alamiah yang sering digunakan adalah, “manusia adalah serigala bagi sesamanya”. Dengan pengandaian sinis seperti itu, jalan keluar yang Hobbes tawarkan untuk mewujudkan harmoni sosial adalah  kontrak sosial. Kontrak di mana tiap individu dalam masyarakat terikat atas aturan yang mereka sepakati sendiri.

Tawaran dari Hobbes itu secara tegas ditolak oleh Berlin. Bahwa kontrak sosial tidak bisa mengakomodasi posisi bebas seorang individu. Karena kontrak tersebut cenderung mengarah pada hal-hal yang berada  di luar individu, seperti; keadilan, kebahagiaan dan kedamaian.

Di sisi lain Berlin juga menolak konsep dasar kebebasan yang dicetuskan oleh para pemikir awal di atas. Konsep kebebasan “natural” itu akan menuntun pada sebuah masyarakat yang kacau. Berlin berpendapat, konsep itu akan menemui kendala ketika berada dalam konteks sosial. Kebebasan seorang beririsan dengan kebebasan orang lain. Sehingga terjadi gesekan bahkan pertentangan kepentingan yang memungkinkan terjadinya penindasan dari pihak yang kuat atas yang lemah.

Berlin yang berkeyakinan bahwa kebebasan individu itu ada, lalu mulai mendefinisikan ulang kebebasan individu. Ia memulai pendekatannya dengan beberapa pertanyaan mendasar. “Mengapa saya (atau siapapun) harus patuh pada orang lain? Mengapa saya tak hidup seperti yang saya ingin? Haruskah saya patuh? Jika tidak, bolehkah saya dipaksa? Oleh siapa, sejauh mana, atas nama apa, dan untuk kepentingan apa?” (Two Concepts of Liberty:1958). Untuk menjawab tumpukan pertanyaan tersebut, Berlin membagi kebabasan menjadi dua kategori.

Berlin membagi kebebasan dalam dua kategori, yaitu kebebasan positif (freedom to) dan negatif (freedom from). Berlin menyadari bahwa konsep kebebasan -dalam pengalamannya sendiri dan catatan sejarah- seringkali merugikan manusia itu sendiri.

Dalam pemaparan Berlin, kebebasan positif adalah kebebasan yang semena-mena. Yaitu kebebasan yang memposisikan seorang individu bisa melakukan apa saja dengan mengesampingkan tata aturan moral dan norma hukum yang ada. Contoh yang sering digunakannya adalah totalitarianisme atau fasisme yang manghalalkan nyawa manusia atas dasar kepentingan di luar individu. Menurutnya, kebebasan seperti ini harus ditolak, bahkan dihancurkan.

Kalau kita runut-runut tipe pemikiran Berlin ini akan berujung pada pluralisme. Ia menegaskan bahwa kebenaran bukan hanya satu sebagaimana monisme (kebenaran tunggal) klaim. Ada kekhususan dari individu atau kelompok yang tak bisa digeneralisir. Dalam kebebasan positif ini Berlin juga mengkritik kentalnya logika rasionalitas pencerahan yang menjadi dasar setiap kepentingannya. Hanya, ia juga kurang terang menyambungkan logika pluralitas tersebut dengan posisi kebebasan individu yang ada di dalamnya.

Kebebasan yang kedua adalah kebebasan negatif (freedom from). Berlin memulai pendekatannya dalam konteks ini dengan pertanyaan, “Dalam wilayah mana seorang (atau kelompok sosial) dibiarkan atau diperbolehkan tanpa intervensi dari orang lain?”. Mengutip definisi dalam tulisan Maman, ”kebebasan yang benar-benar kebebasan adalah kondisi di mana tidak adanya tekanan, hambatan, paksaan, atau kekangan dari luar (freedom from)”.

Berlin menempatkan posisi individu bebas dalam kategori ini dalam arti usaha untuk menghilangkan berbagai rintangan; berusaha memperoleh kebebasan individu berarti berusaha mencegah campur tangan, pengisapan, penindasan oleh orang-orang yang melakukannya. Singkatnya, individu bebas diposisikan pasif dalam konteks sosial.

Kebebasan individu vs realitas sosial

Kalau semua pembahasan di atas kita rangkum, persoalan yang belum cukup terang dalam konsep kebebasan ini adalah bagaimana sebuah konsep kebebasan individu masuk dalam realitas sosial konkret. Terlebih bila kita berpegang pada kebenaran tiap tatanan sosial (pluralisme) yang berbeda-beda. Apakah sebuah konsep yang diandaikan “alami” menempel pada tiap manusia ini bisa berpijak pada kenyataan yang berbeda.

Untuk itu, mari kita analisa contoh yang dipakai dalam tulisan Maman dengan teori Isaiah Berlin tersebut. Dari sana nanti bisa kita lihat bagaimana sebenarnya kondisi bisa dibaca secara jelas dengan kaca mata teori. Di sisi lain kita juga bisa menilik sejauh mana seorang yang mengajukan teori punya “kepentingan” dalam membingkai keadaan.

Menanggapi kejadian penggrebekan warga atas sepasang kekasih yang berhubungan intim, Maman berpendapat bahwa hal tersebut melanggar kebebasan individu. Ia beragumen: Sudah semestinya bahwa aturan, moralitas, norma agama, dan segala jenisnya yang abstrak, subjektif dan konstruktif itu, tidak membatasi tindakan kebebasan kita sebagai seorang manusia. Di samping sebagai hak dari masing-masingnya, kebebasan adalah fitrah kemanusiaan itu sendiri.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bisakah kita memisahkan seorang individu independen atas konteks sosialnya. Dari mana suatu prilaku individu bisa dikategorikan sebagai kebebasan atau tidak? Tentu kalau berguru pada Berlin yang mengakui pluralitas sosial jawabannya adalah keunikan dari tatanan sosial itu sendiri. Kalau kita di Jogja, ya budaya dan tata nilai-norma yang berlaku di sini yang jadi ukuran.

Bila Berlin menganggap bahwa pemaksaan atas seorang individu adalah tidak sah atau dalam kata lain kebebasan individu itu ada dalam setiap tatanan sosial, lalu dari mana pengandaian individu bebas itu ­dicomot dari suatu realitas sosial? Maksudnya, dasar pengandaian individu bebas ini diperoleh dari konteks seperti apa? Tentu kita tak bisa hanya berpegang pada argumen rapuh yang bilang “kenapa kita harus/tak harus patuh pada orang lain?” atau “pokoke harus gini/pokoke nggak boleh gitu”.

Jika kita menganggap kebebasan adalah konsep yang benar “sudah dari sono-nya”, tentu ada realitas konkret yang bisa kita mengacu padanya. Misalnya kita menemukan bukti bahwa dulu manusia hidup sendiri di hutan. Di sana ternyata manusia bisa melakukan apa saja tanpa ada aturan moral dan norma. Lalu dari sana itu kita mengambil kesimpulan bahwa manusia pada dasarnya adalah bebas. Tapi kita bersama tentu sadar, bahwa pengandaian tadi hanyalah sekedar pengandaian kosong. Pada titik ini lah kiranya kita perlu memikirkan ulang gagasan kebebasan individu tersebut.

Jawaban dari pertanyaan di atas sangat sentral posisinya ketika kita mau membumikan teori kebebasan individu dalam realitas konkret. Jelasnya, kita tak bisa hanya berpegang pada pengandaian manusia bebas dalam “lamunan” itu untuk menyalahkan perilaku warga yang menggrebek si pasangan kekasih.

Untuk sementara, hal yang tak bisa kita pungkiri adalah bagaimana tiap kelompok sosial punya kesepakatan-kesepakatan tertentu yang dipatuhi oleh anggotanya. Kesepakatan ini jangan pula kita maknai hanya berbentuk aturan tertulis laiknya undang-undang. Ia bisa berupa aturan norma dan nilai moral yang cair (tak tertulis), di mana masyarakat mendasarkan perilakunya.

Dalam kondisi kita di sini, rasanya realitas tersebut tidak bisa kita nafikan. Sehingga apabila dalam contoh disebutkan bahwa warga yang menggrebek adalah cerminan perilaku yang semena-mena tentu kurang tepat. Menurut penulis, stigma pada masyarakat itu sendiri yang justru semena-mena. Karena ia tidak mau melihat realitas dengan lebih jujur.

Mungkin dalam tataran konsep, “kebebasan” individu adalah suatu kondisi yang baik dan ideal. Tapi dalam ranah realitas konkret konsep ini ternyata berbalik arah. Dalam kondisi seperti dalam kasus di atas justru konsep itu yang sebenarnya “impoten”, karena tak bisa melihat realitas sosial secara benar. Hal yang tak berdasar pada realitas konkret tentu tak salah bila dianggap tak lebih hanya sekedar lamunan.

Sampai di sini, nampaknya kita harus belajar membedakan lamunan dan realitas sosial. Atau selamanya kita akan hidup dalam lamunan, dan menyalahkan realitas sosial yang tak sesuai dengannya.[]