Home - Sewindu Pasca Konvensi, Ruang Publik Masih Belum Sehat

Sewindu Pasca Konvensi, Ruang Publik Masih Belum Sehat

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email
Pembina LPM ARENA Abdur Rozaki saat memberikan sambutan acara diskusi Panel dalam rangga memperingati Sewindu UIN Sunan Kalijaga (25/04). (Foto : John P)

Pembina LPM ARENA Abdur Rozaki saat memberikan sambutan acara diskusi Panel dalam rangga memperingati Sewindu UIN Sunan Kalijaga (25/04). (Foto : John P)

lpmarena.com, Kondisi ruang publik yang tidak demokratis, menjadi salah satu persoalan yang turut mengiringi perjalanan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga pasca konvensi pada tahun 2004 silam. Ruang yang semestinya menjadi wadah bagi seluruh civitas akademik melakukan dialektika dan transformasi pengetahuan secara setara, pada faktanya masih didominasi birokrat kampus.

Mahasiswa masih diposisikan sebagai objek. Akibatnya, banyak kebijakan kampus yang kerap menggembiri mahasiswa dalam mengekspresikan gagasan maupun kreatifitasnya. Hal ini tidak lepas dari tidak disertakannya mahasiswa dalam merumuskan kebijakan.

Berangkat dari kegelisahan tersebut, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) ARENA menggelar diskusi panel dengan tema “Menyongsong Ruang Publik yang Sehat; Refleksi Sewindu UIN SUKA” di lantai II Gedung Rektorat Lama, Jumat (25/04). Pada diskusi yang didesain mirip Indonesian Lawyer Club (ILC) tersebut, berbagai organisasi mahasiswa seperti KAMMI, KMPD, KPK, FMN, LPM Rhetor, LPM Paradigma dan lain sebagainya turut ambil bagian.

Dalam diskusi tersebut, berbagai kebijakan seperti pembatasan jam malam, sospem yang penuh dokrinasi, hingga desain tata ruang menjadi sasaran kritik para panelis. Sebagaimana yang diutarakan Wiwid, perwakilan dari Front Mahasiswa Nasional (FMN). Menurutnya, kebijakan-kebijakan tersebut sangat membatasi kegiatan mahasiswa. “Padahal, mahasiswa baru bisa fokus berkegiatan itu di malam hari. Siang hari mereka disibukkan dengan kuliah,” ujar Wiwid.

Kekecewaan yang sama juga dirasakan Suhairi, perwakilan dari LPM Rhetor. Baginya, hegemoni dan dominasi yang dilakukan pihak kampus tidak sebatas pada persoalan administrasi, tapi juga tata bangunan. “Lihat bagaimana MP (Multi Purpose) ditempatkan di pinggir jalan agar mudah disewakan, sementara SC (Student Center) sebagai basis kegiatan ditempatkan di pojok, pinggir kali Gajah Wong,” kata pria yang akrab disapa Soe tersebut.

Menanggapi banyaknya kebijakan yang kontra produktif dengan kepentingan mahasiswa, Alfin Ma’ruf selaku perwakilan dari Komunitas Pemerhati Konstitusi (KPK) melihatnya sebagai kegagalan kampus dalam melihat paradigma dan realitas yang ada di mahasiswa.

Sementara Azar, perwakilan dari KMPD mencoba memberikan solusi untuk merubah kondisi yang tidak sehat ini. Menurutnya ada dua cara yang bisa ditempuh, pertama melakukan pemberontakan secara perseorangan, kedua melakukan audiensi dengan pihak birokrat. “Dalam Islam ada konsep Ibda’ binafsik, lalu kita juga bisa melawan secara bersama-sama dengan melakukan audiensi”.

Sebelum diskusi panel digelar, LPM ARENA juga membuat antologi buku bertemakan Refleksi Sewindu UIN Suka yang ditulis civitas akademika UIN SUKA, baik yang mewakili organisasi, maupun mahasiswa pribadi.(Folly Akbar)