Home - Kebebasan dan Masyarakat Komunikatif: Respon Atas Tanggapan Jamaludin

Kebebasan dan Masyarakat Komunikatif: Respon Atas Tanggapan Jamaludin

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Maman Suratman*

Membaca tulisan saudara Jamaludin di websiteini (baca: Membantu Memperjelas Konsep Kebebasan Individu) – tulisan yang secara langsung dialamatkan pada saya – jadi teringat pada gagasan Habermas. Dalam pandangan pemikir atau generasi kedua Mazhab Frankfurt yang terkenal “pembangkang” itu, masyarakat ideal adalah masyarakat yang dinafasi oleh pola-pola tindakan komunikatif. Pola-pola ini lahir dari kesadaran dan aksi sosial masyarakat. Dan apa yang oleh Jamaludin bangun, saya memandangnya sebagai upaya meneruskan impian Habermas itu: hidup bermasyarakat dengan jalan argumentasi. Untuk itu, melalui tindakan argumentatif ini pula, saya mengapresiasinya melalui tulisan atau respon atas tanggapan darinya.

Berkaca pada realitas sehari-hari, apa yang diimpikan oleh Habermas, seolah -jika tidak dikatakan memang demikian, jauh dari apa yang semestinya. Saban hari kita bisa melihat, pembangunan atau upaya perbaikan peradaban manusia, cenderung bernuansa revolusi dan kekerasan. Kasus Ahmadiyah di Cikeusik, Jawa Barat; warga Syiah di Sampang, Madura; keluarga korban G30S di Godean, Yogyakarta, semua pernah mengalami nuansa yang kolot itu. Adapun contoh yang saya utarakan dalam tulisan sebelumnya (baca: Memperjelas Konsep Kebebasan Individu), merupakan salah satu dari sekian banyak persoalan yang pada kenyataannya berkontradiktif dengan apa yang dicita-citakan oleh Habermas sendiri.

Di sini, perlu bagi saya untuk menekankan bahwa saya bukan pengagum Habermas, bukan pula Habermasian (pengikut Habermas). Hanya pada kesempatan ini, saya jadikan gagasannya sebagai “alat” analisis utama dalam penulisan ini, yakni tentang masyarakat komunikatif. Tujuan utamanya tiada lain untuk menjelaskan bagaimana seorang manusia berbaur dalam kehidupan masyarakatnya, sekaligus menjadi respon atas tulisan saudara Jamal sebelumnya. Sembari dengan menggunakan cara-cara yang komunikatif (semoga dianggap demikian), saya “terpaksa” menjelaskan kembali apa yang saya maksud dengan “kebebasan” – istilah ini oleh Jamal sebut sebagai “lamunan” tanpa dasar realitas konkret.

 

Dunia Kehidupan dan Kebebasan Sebagai Nafas

Meminjam istilah Habermas, dunia kehidupan atau labenswelst adalah ruang publik yang dihidupi dan menghidupi, oleh dan bagi manusia. Keberadaannya senantiasa diresapi oleh tindakan dan kesadaran. Ini sekaligus menjadi dasar dari pandangan dunia sadar (weltanchuungen) -dan dari semua aksi sosial manusia. Untuk itu, seorang manusia tentu tak bisa mengelak atau mencoba keluar darinya. Bahwa dunia kehidupan menetapkan apa yang disebut sebagai contexforming (Donny Gahral Adian: 2011).

Seperti yang saya sebutkan di awal, dunia kehidupan menetapkan apa yang disebut sebagai pola-pola tindakan komunikatif. Bahwa tindakan komunikatif-lah yang kemudian menentukan pola-pola tindakan instrumental: sebuah sistem, seperti ideologi, norma, hukum/aturan, atau institusi.

Hanya saja, berkaca pada konteks hari ini, betapapun dunia kehidupan menjadi leluhur segalanya, sistem acapkali mereduksi, menggantikan, bahkan menghancurkannya melalui beragam cara dari para aktornya. Tindakan semacam ini, oleh Habermas disebut sebagai “kolonialisasi dunia kehidupan”. Kelak, imbasnya akan turut mempengaruhi proses sejarah dan sosial dunia kehidupan di mana manusia saling hidup dan menghidupi di dalamnya.

Lantas, bagaimana manusia hendak keluar dari situasi kompleks yang demikian itu? Soalnya hanya terletak pada bagaimana kita sebagai “pengatur” hendak mengelolah sistem. Kita butuh nafas untuk seluruh kegiatan atau aksi sosial di dunia kehidupan kita sendiri.

Dalam dunia kehidupan, manusia-manusia di dalamnya tidak boleh dikekang. Pola berpikirnya, tindakan atau prilakunya, sama sekali tidak boleh dibatasi. Sebagaimana yang juga saya sebutkan di tulisan sebelumnya, kebebasan adalah fitrah kemanusiaan. Ia bukan hanya tentang hak, melainkan lebih sebagai kewajiban manusia. Dan untuk itulah, ia harus, dan senantiasa menjadi nafas dari seluruh kegiatan dan aksi sosial manusia itu sendiri.

Jika kita mau jujur dan terbuka, konsep kebebasan tentu bisa kita maknai, bahkan mendapatinya dalam wujud yang sangat sederhana. Hanya saja, sebagian orang bersikap eksklusif terhadapnya. Yang terjadi, tak sedikit orang kemudian menaruh curiga lalu mencoba membatasinya. Parahnya, pembatasan itu justru dipenuhi dengan stereotype dalam bentuknya yang negatif – tak jarang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminatif antar sesama.

Perlu untuk kita pahami bahwa kebebasan hanya menuntut hak dan kewajiban dari para pelakunya. Sebagai hak, semua orang bebas. Kebebasannya bisa teranulir selama ia tidak mengganggu dan mencabut hak-hak orang lain. Sebagai kewajiban, semua orang harus menjaga dan melindungi. Dituntut demikian ketika ada pihak-pihak yang mencoba melanggar kebebasan atau fitrah kemanusiaan itu. Jika kembali merujuk Isaiah Berlin dalam Two Concept of Liberty-nya, kebebasan model seperti inilah yang benar-benar sebuah kebebasan: tiadanya tekanan, hambatan, paksaan, atau kekangan dari luar, atau yang diistilahkannya sebagai freedom from, lawan dari freedom to – maaf, jika konsep ini kembali saya utarakan di tulisan ini.

 

Sebuah Kesalahpahaman (Distorsi?)

Apa yang dituliskan oleh Jamal, sekali lagi, saya teringat pada gagasan Habermas. Jika di awal saya memaknainya sebagai upaya pembangunan peradaban manusia yang hilirnya kepada masyarakat komunikatif, pada akhirnya saya memandangnya dengan rupa yang sangat berbeda. Memang, melalui tulisannya ia berusaha menyelesaikan persoalan dengan pola-pola tindakan komunikatif. Tapi apa yang diutarakannya, saya melihat ada semacam pendistorsian terhadap pola-pola tindakan komunikatif itu sendiri.

Di satu sisi, Jamal mengakui adanya keniscayaan akan pluralitas di bangsa ini. Benar bahwa hampir di segala aspek, tiap-tiap daerah memiliki keberagamannya masing-masing. Dan karena itu pula, di masing-masingnya memiliki pembenar atau kebenarannya sendiri-sendiri. Itulah pluralitas bangsa kita. Jangankan pada yang berbeda, yang sama dalam hal ras, etnis, suku, dan agama sekalipun, masih terdapat keberagaman di dalamnya, termasuk dalam hal penghayatan manusia-manusianya terhadap pengalaman dari masing-masingnya.

Di sisi lain, ungkapan Jamal yang mengatakan, “Kalau kita di Jogja, ya budaya dan tata nilai-norma yang berlaku di sini yang jadi ukuran”, jelas berkontradiktif dari apa yang ia akui sebelumnya. Bukankah pernyataan seperti ini yang justru menodai, jika tidak menghilangkan, keniscayaan akan pluralitas itu sendiri? Saya pikir, Bhinneka Tunggal Ika tidak termaknai secara tepat dalam hal ini. Bahwa keberagaman bukanlah untuk diseragamkan.

Pada Jamal, kita juga menemui argumen bahwa realitas atau konteks sosial itu tiada lain adalah kontrak sosial itu sendiri. Kontrak sosial harus menjadi benteng atau filter atas pola laku manusia-manusia dalam masyarakat komunikatif. Jika ada yang hendak berbuat ini-itu, harus memiliki landasan di dalamnya.

Jika merujuk pada definisinya, memang, kontrak sosial diadakan tiada lain sebagai upaya “mengatur” kehidupan manusia. Tujuannya adalah untuk bagaimana antar sesama manusia bisa menjalin hubungan harmonis, jauh dari konflik antar sesama. Sifatnya sendiri adalah sebagai landasan pola laku. Sehingga siapapun yang melanggarnya, akan ada semacam sangsi terhadapnya.

Hobbes dan Locke yang kita kenal sebagai bapak atau peletak dasar filsafat kebebasan, secara terang sudah mengajarkan kepada kita tentang pentingnya kontrak sosial semacam ini. Pada Hobbes, masyarakat azali diandaikan penuh keos. Pada Locke, masyarakat alamiah berada pada posisi aman dan damai. Dan untuk menjaga kebebasan manusia, kontrak sosial menjadi penawarnya. Lagi-lagi sayang, Jamal dalam hal ini belum mampu membacanya sampai ke arah sana. Bahwa keberadaan kontrak sosial di tengah-tengah dunia kehidupan, tiada lain adalah untuk menjaga kebebasan manusia-manusianya. Jika seperti ini realitasnya, apakah masih penting kita mengatakan bahwa kebebasan itu hanya sebuah “lamunan” yang tidak punya landasan dalam realitas konkret? Apakah kita harus bertanya lagi tentang dari mana pengandaian individu bebas itu di-comot dari suatu realitas sosial? Dalam konteks apa kebebasan individu itu lahir di tengah-tengah masyarakat? Saya pikir, pertanyaan-pertanyaan yang seperti diajukan Jamal di atas sudah terjawab.

 

***

Adalah benar jika kita tidak boleh berlaku seenak dengkul di lingkungan sekitar kita. Kita pun tidak bisa memaksakan kehendak di tengah realitas sosial yang sudah terbangun. Tetap akan ada konsensus atau kesepakatan yang harus mengikat kita sebagai mahluk sosial. Namun persoalannya, jika konsensus atau kesepakatan (kontrak sosial) itu justru melanggar hak asasi manusia (berpikir, bertindak, dan berprilaku), apakah kontrak sosial semacam itu harus tetap kita maknai sebagai sesuatu yang benar? Bagi saya, kontrak sosial, di mana dan kapanpun, harus dibangun atas dasar kemanusiaan, bukan pada golongan, kelompok, atau individu tertentu. Itupun harus dibangun berlandas pada pola-pola tindakan komunikatif. Jika masih ada yang merasa dirugikan, harus tetap dipertimbangkan dengan mengajaknya dialog, bukan dengan jalan kekerasan. Semua manusia sama, dan harus diperlakukan adil sebagaimana yang lain juga menginginkannya.

Jadi, ketika Jamal beranggapan bahwa kebebasan manusia tak bisa lepas dari realitas atau kontrak sosial yang telah disepakati dalam masyarakat tertentu, itu benar, bahkan itu yang menjadi konsekuensi logisnya. Hanya saja, ketika ia menegaskan bahwa mau tidak mau seorang individu dalam masyarakat tertentu harus tunduk dan patuh pada realitas di mana ia berada, ini jelas kekeliruan besar –saya katakan keliru karena realitas sosial yang dimaksud itu berupa sesuatu yang sangat abstrak: norma, agama, atau moralitas yang wilayahnya hanya mungkin berada di masing-masing hati manusia yang kita tahu tidak semua sama di antara masing-masingnya. Realitas seperti ini apakah bisa dijadikan batasan?

Kita perlu menyadari bahwa norma, agama, atau moralitas, sukar bagi kita untuk diarahkan ke wilayah publik. Jika pembicaraannya terus dialihkan ke wilayah-wilayah yang tak terjangkau itu (ajaran atau ketuhanan), tujuan keberadaan pola-pola tindakan komunikatif menjadi akan terdistorsi. Kita perlu menelaah kembali apa yang pernah diproklamirkan oleh Nietzshe: “Tuhan telah mati.” Adalah benar bahwa dalam batas tertentu, kalau Tuhan tidak “dimatikan” maka kita tidak bisa membicarakan hal-hal yang bersifat publik, sebab Tuhan selalu “dilibatkan”. Jika tidak seperti ini, apa yang dibahasakan oleh Habermas (kolonialisasi dunia kehidupan) hanya akan jadi momok. Dan sampai datangnya hari kiamat pun tidak akan pernah selesai.

 

 

maman*Mahasiswa Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta