Home - Jendela

Jendela

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh Iis Ernawati*

Yelena melayangkan pandangan kosong ke luar jendela. Tatapan kosong yang hampir setiap hari menjadi rutinitas matanya. Andai saja matanya bisa berbicara mungkin ia akan berteriak atau malah berontak ingin keluar dari jendela matanya. Mungkin tidak tahan mungkin juga merasa tidak difungsikan. Mata yang kasihan penuh pandangan bosan.

“Yelena suka jendela,” lirih dia bekata pada dirinya sendiri.

***

Yelena kecil menyukai jendela. Teman–temannya bermain berkejar-kejaran di luar sana. Yelena hanya bisa melihat mereka dari jendela. Yelena sudah merasa senang. Kadang merasa tidak puas ia menaiki bibir jendela, berjinjit-jinjit dengan kepala ditengadahkan keluar, mata Yelena berusaha menjangkau gerakan teman–temannya. Ketika ada teman yang menghampirinya, ia bersembunyi menghindari. Yelena malu, takut. Sampai akhirnya teman-temannya menghilang begitu saja, menjauh dan tak datang lagi. Acuh.

“Yelena, tidak boleh!” seru salah satu orang dewasa di rumahnya.

Yelena kecil membenci orang–orang dewasa yang berada di rumah. Tak ada yang berpihak padanya. Yelena merasa seperti benda kecil yang diambil jika dibutuhkan dan dibuang ketika usang. Yelena tercampakkan. Hidup Yelena kecil penuh aturan dan tuntutan. Masa–masa pertumbuhan pernah dilaluinya dengan persetubuhan. Yelena adalah salah satu korban pedofil orang sekitarnya. Yelena diraba dan disandera. Mencoba berontak namun tak bisa, tubuh mungilnya terlalu lemah melawan kekekaran lelaki dewasa. Yelena lengah dan lemah, tak sampai mengisi rahimnya yang belum bisa berbuah. Yelena pernah berniat mengadu, tak tahan ingin berteriak.

“Yelena, jangan mengada-ada!” Bentak salah seorang anggota keluarga yang ia harap bisa menjadi penyelamatnya.

Yelena pergi berlalu begitu saja sambil menahan air mata yang hampir tertumpah.

Lelaki bejat saudara orangtua Yelena hanya menginap beberapa hari di rumah. Selebihnya, ia menghilang begitu saja, meninggalkan jejak luka batin tedalam bagi Yelena. Seumur hidupnya.

***
Masa-masa yang seharusnya dilalui dengan penuh kasih sayang dan perhatian tak pernah muncul di dalam hidup Yelena. Padahal Yelena merindukannya, sangat merindukannya. Yelena sebenarnya anak yang cerdas, penuh cerita dan tanya. Namun orang dewasa di sekitarnya tak pernah menggubris sama sekali. Yelena seperti pengganggu saja.

Di saat teman–temannya sedang asyik bercengkerama dengan keluarga, Yelena hanya memandang mereka dengan tatapan hampa. Yelena ingin mempraktekannya di rumah. Yelena berusaha mencuri perhatian dengan menanyakan PR, tugas dan nilai yang selalu bagus. Tapi apa yang ia dapat? Malah ganti berbalik orang dewasa yang mengeluh padanya. Umur tujuh tahun masih terlalu hijau bagi Yelena mengenal pelajaran selingkuh, hutang, dan pertengkaran. Itu yang baru saja ia dapatkan dari orang dewasa di sekitarnya. Layaknya tempat sampah Yelena adalah tampat pembuangan dari mulut orang dewasa yang tidak pada tempatnya. Mungkin mereka lupa jika Yelena masih berusia tujuh tahun. Apa memang ada yang salah dengan syaraf mereka?

Sejak merasa terabaikan Yelena lebih sering diam, bungkam, dan sendirian.

Yelena kerap kurang cocok saat berbincang – bincang dengan teman sebangkunya. Yang ia pikirkan hanya uang jajan, makanan, dan permen. Sedang Yelena tidak pernah sempat memikirkan hal-hal sepele seperti itu. Yelena ingin berbagi cerita yang lain, cerita tentang hari–hari yang dijalaninya. Yelena ingin berbagi karena merasa tak kuat membawanya, teramat berat beban yang ditanggung oleh anak seusia Yelena. Sayang, teman-temannya tak pernah peduli dan mengerti, sampai kini.

***

“Yelena suka hujan,” bersuara yang ditujukan pada dirinya sendiri ketika ia melihat linangan hujan melumer yang menggeliat-liat di kaca jendela.

Yelena suka menggambar. Di kamar ia sering menghabiskan waktu dengan memandangi benda-benda di sekitar lalu memindahkannya ke kanvas putih yang telah ditopang oleh pahanya sendiri, tentunya didahului dengan menggambar bingkai di sekelilingnya. Yelena selalu mengawali awal lukisannya dengan membuat bingkai kayu mirip bingkai jendela yang ada di kamarnya.

“Karena Yelena suka jendela.” lagi-lagi berkata pada hatinya sendiri.

Yelena ingin membingkai hujan di dalam jendela, Yelena ingin menyimpannya. Jika suatu saat Yelena kesepian, Yelena akan memanggil mereka kembali untuk menemani bermain bersama melalui alunan merdu rintik – rintik hujan itu.

Tidak hanya hujan saja yang dimasukan ke dalam jendela lukisnya. Semua yang ada di sekitar ditangkap yang kemudian dipindahkan. Setiap orang yang dikenalnya, setiap benda yang dilihatnya.

Sebetulnya Yelena tidak terbelakang, keadaan dan orang-orang sekitarnyalah yang membentuk pribadi Yelena.

Suatu ketika guru melukis terkejut melihat lukisan Yelena. Beliau seperti melihat keanehan setiap memandangi lukisan Yelena. Lukisan anak-anak yang sedang bermain kemudian disambar petir. Lukisan rumah kecil yang bukan sebuah keluarga sebagai penghuninya melainkan para monster berwajah seram yang beraneka macam bentuknya. Bukan hanya itu, tak lupa ia menggambar wajah-wajah monster di setiap dinding dan gentingnya. Lukisan terakhir yang membuat ibu gurunya sedikit teduh ialah lukisan tentang hujan. Lukisan Yelena memang bagus, pantaslah jika guru seni itu sering memujinya.

“Lukisan Yelena adalah lukisan yang paling indah di antara teman-teman Yelena.” Ibu gurunya berjongkok mengimbangi tinggi badan Yelena sambil membelai rambut lurusnya. Sementara itu Yelena hanya membalas dengan senyuman datar.

***
Sepulang sekolah, seperti biasa Yelena mendahului teman-temannya. Ia tidak mau mendengar ejekan mereka. Yelena idiot, Yelena goblok, Yelena tak punya teman.

Rupanya segerombolan temannya tak begitu saja melepaskan Yelena. Mereka beramai-ramai menghadang tubuh kecil Yelena. Mereka mendorongnya ke sana – ke mari sampai terjatuh. Yelena diam sementara jari telujuk teman-temannya menuju ke arah wajah sambil berulangkali mengatai-ngatainya.

“Yelena idiot, Yelena anak goblok, Yelena anak pelacur, Yelena anak hasil selingkuh…”

Darimana anak-anak itu tahu kedua kata terakhir itu? Pasti mereka mendengar dari orang tua mereka, para orang tua yang sering menggunjingkan keluarga Yelena. Meskipun mereka tidak tahu artinya mereka asal mengikut saja. Sifat dasar anak-anak, mengekor orang dewasa.

***

Yelena hampir menangis, sekuat tenaga diterobosnya badan teman-temannya. Ia berlari sembari menutup telinga. Berharap tidak mendengar apa-apa.

Sesampai di rumah Yelena tidak mengadu kepada siapa-siapa. Ia menjadi sosok pendiam karena merasa tak diperhatikan. Yelena langsung memasuki kamar dan menguncinya rapat-rapat.

Yelena lalu mengambil buku gambarnya. Seperti biasa, pertama-tama ia menggambari pinggirnya seperti bingkai jendela baru menggambar bagian tengah sesuka hati. Kali ini ia ingin menggambar dirinya sendiri, berdiri seperti patung dengan lilitan tali yang mengikat di lehernya. Perpaduan warna hitam dan putih. Kontras, antara latar belakang dan obyek, Yelena.

“Yelena suka jendela karena Yelena ingin melihat dunia.”

***
Selepas maghrib Yelena tak juga keluar dari kamar. Kakak Yelena memaksa membuka pintunya dan didapati Yelena tak lagi bernyawa…

*Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga