Lpmarena.com, Kurikulum 2013 adalah wajah kurikulum baru di Indonesia. Kurikulum ini telah diujicobakan dan diterapkan di beberapa sekolah sejak 2013 lalu. Meski telah berjalan kurang lebih selama setahun, kurikulum ini dianggap mengandung banyak kontroversi. Ulasan tersebut terungkap dalam seminar nasional pendidikan bertema “Kurikulum 2013: prespektif ideologi, filosofi, dan politik pendidikan nasional”, yang diselenggarakn oleh Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (DEMA-F Tarbiyah) di Convension Hall UIN-Suka, Senin (12/05) pagi.
Diantara kontroversi yang dimaksud adalah Kurikulum 2013 dianggap terburu-buru baik dalam pembuatan maupun penerapannya, dan terkesan dipaksakan. Pasalnya kurikulum sebelumnya (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan/ KTSP) yang telah dipakai selama 7 tahun ternyata belum benar-benar diterapkan secara menyeluruh di wilayah Indonesia.
Sementara itu, menurut Darmaningtyas (Pengembang Kurikulum 2013), penerapan Kurikulum 2013 yang terkesan dipaksakan ini tidak lebih merupakan agenda politik M. Nuh sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), yang terikat kontrak politik dengan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Kontrak politik yang dimaksud yakni selama menjabat menjadi menteri, M. Nuh diharuskan untuk menyempurnakan kurikulum, “Itu (Kurikulum 2013, red) merupakan bagian dari kontrak politik,” ungkap pemateri itu pada peserta seminar.
Pembuatan dan penerapan kurikulum dengan motif kontrak politik tentu tak bisa dibenarkan dalam dunia pendidikan. Pasalnya perubahan kurikulum selayaknya disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat, dan juga untuk mempersiapkan tantangan yang lebih kompleks dalam bidang kemajuan pengetahuan.
Selain dianggap terburu-buru, pembutan Kurikulum 2013 juga dianggap elitis-sentralistik. Hal ini bisa ditilik dari pembuatan kurikulum tanpa melibatkan pelbagai komponen utama pendidikan, seperti guru. Dan sekolah hanya ditempatkan sebagai pelaksana pendidikan. “Kebijakan pendidikan kita terkesan elitis, yang merumuskannya adalah orang-orang tertentu,” tutur Arif Rahman, Pengamat Kebijakan Pendidikan.
Perumusan kurikulum tanpa melibatkan komponen utama pendidikan ini memicu banyak kalangan untuk menentang penerapan kurikulum 2013. Diantara mereka yang menentang yakni Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung (MG ITB), para pengajar bahasa daerah, Guru mata pelajaran Teknologi Informasi Dan Komunikasi (TIK), dan para aktifis pendidikan.
Sementara itu Muh. Agus Nuryanto mengungkapkan bahwa banyak hal yang dikritik dari penerapan kurikulum ini, semisal kesiapan guru dalam menerapkan Kurikulum 2013. Pasalnya pemerintah belum pernah mengadakan pelatihan bagi guru, guna mensosialisasikan Kurikulum 2013, sehingga kesepahaman antara konsep dengan penerapan di lapangan bisa tercapai. Pemerintah juga harus memperhatikan Sumber Daya Manusia (SDM) guru yang tersedia, karena tidak semua guru memiliki tingkat pengetahuan yang sama. “Guru kita tidak merata, ada kesenjangan antara guru senior dengan guru junior,” ungkap pemateri seminar sekaligus dosen UIN-Suka tersebut.
Lebih lanjut, penambahan jam pelajaran menjadi empat jam per minggu juga dianggap memberatkan, pasalnya waktu peserta didik banyak tersita di sekolah, sementara waktu untuk keluarga menjadi berkurang. Padahal interaksi antara peserta didik dengan keluarga dan lingkungan sekitar sangat diperluhkan, terlebih dalam membangun interaksi sosial peserta didik.
Arif Rahman, yang juga berprofesi sebagai dosen UNY menilai bahwa Kurikulum 2013 tidak jelas beridelogi apa. Menurutnya meskipun di tatanan negara kita berideologikan Pancasila, namun Kurikulum 2013 tidak secara jelas menyebutkan ideologi pancasila sebagai ideologi pendidikan kita. “Dapat kita vonis, di dalam kurikulum pendidikan kita (Baca, Kurikulum 2013), kurang jelas ideologinya,” tegasnya.
Selain itu terdapat indikasi bahwa kurikulum 2013 dibuat untuk membentuk masyarakat yang theokratis, sehingga melahirkan generasi muda yang normatif dan dogmatis. Ini tercermin dari Kompetensi Inti yang menjadi Kompetensi Dasar yang dirumuskan dalam Kurikulum 2013 yang mengharuskan mengintegrasikan agama terhadap mata pelajaran yang ada.
Darmaningtyas menilai mencampur-adukkan konsep agama ke dalam pengetahun membuat pengetahuan yang didapat serba tanggung. pemahaman keilmuan menjadi setengah-setengah, dan pemahaman agama menjadi formalitas saja. (Usman Hadi)
Editor: Ulfatul Fikriyah