Home - Pendidikan dan Penindasan (Kritik atas Gagasan Muhammad Qowim)

Pendidikan dan Penindasan (Kritik atas Gagasan Muhammad Qowim)

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Ahmad Taufiq*)

Pertama-tama, saya sangat apresiatif terhadap gagasan Muhammad Qowim yang dituangkan dalam tulisan berjudul “Pendidikan dalam Hasrat Postmodernisme.” Tulisan itu menjadi materi diskusi (atau ceramah) yang diadakan LPM Paradigma FTIK UIN Suka, pada 26 April 2014. Dan dalam diskusi tersebut, ramai sekali kritik terlontar pada dunia pendidikan saat ini yang semakin tidak rasional. Juga saya mendengar kritik keras atas modersnisme sebagai biang keladi sekian bencana sosial manusia.

Kemudian, ya saya perlu menyebutkan, bahwa apresiasi saya padanya terletak pada: 1) tidak banyak dosen yang secara serius mengkritik sistem pendidikan yang ada saat ini, rata-rata terjebak dalam rutinitas kerja mengajar belaka; 2) kritik itu juga dilontarkan dalam bentuk tulisan di tengah jarangnya dosen yang mau menulis; 3) kritik itu berpijak pada suatu “metodologi pengetahuan”, artinya tidak asal njeplak; 4) metodologi pengetahuan yang dijadikan pijakan kritiknya, yaitu postmodernisme, adalah sesuatu yang memang digandrungi oleh banyak cendekiawan kritis kita, tapi tergolong baru dan masih asing untuk kalangan UIN Sunan Kalijaga khususnya; dan 5) kritik itu ditularkan kepada khalayak dalam bentuk keteladanan pelaku sendiri, mengingat banyak pengkritik yang diam-diam mengkhianati kritiknya sendiri.

Ada beberapa hal yang dapat saya tangkap dari pernyataan Muhammad Qowim:

  1. Ia memaparkan fenomena-fenomena yang (dianggap) bermasalah;
  2. Kebermasalahan itu akibat dari logika modernisme yang saat ini dianut banyak orang;
  3. Modernisme ternyata juga merasuki dunia pendidikan, sehingga pendidikan yang ada menjadi bermasalah;
  4. Ia mengkritik modernisme yang banyak dianut oleh masyarakat sebagai akar persoalan, juga dalam dunia pendidikan;
  5. Implikasi kritiknya kemudian ia menawarkan postmodernisme untuk diterapkan dalam dunia pendidikan sebagai solusi.

***

Dalam tulisan ini saya bermaksud menanggapi secara singkat terhadap tulisan Muhammad Qowim.

Ada beberapa pertanyaan yang ingin saya lontarkan. Apakah benar bahwa akar masalah dari sekian persoalan yang dilontarkan Muhammad Qowim adalah akibat modernisme? Jika contoh yang dilontarkan Muhammad Qowim adalah para caleg yang gagal, tentu bukankah itu adalah sebab adanya demokrasi prosedural di mana terjadi oligarki kepartaian oleh kalangan elit dominan? Jika yang dicontohkan Muhammad Qowim adalah standarisasi pendidikan, indeks prestasi, ijazah, dan segala atributnya, bukankah itu merupakan akibat dari logika pasar? Dan bukankah itu akibat dari kapitalisme?

Ciri modernisme adalah maksimalisasi rasio untuk dijadikan pedoman hidup manusia, dengan mendepak mitologi yang sebelumnya menguasai manusia. Pendepakan itu kemudian dirayakan dalam semangat pencerahan (Aufklarung). Kalau dulu manusia memandang alam dengan ketakutan sehingga mau menebang pohon besar saja harus melakukan berbagai ritual dan sesaji, kini dengan ilmu pengetahuan manusia memandang alam dengan kalkulasi dan dijadikan obyek untuk dikuasai.

Hingga pada ujungnya, semangat itulah yang membawa manusia pada penakhlukan sesama manusia melalui dan atas dasar ilmu pengetahuan. Bahkan dalam ranah sosial, relasi yang tercipta adalah juga subyek-obyek. Pucaknya pada apa yang disebut Positivisme. Sementara ekses dari positivisme adalah bencana sosial yang mengerikan. Fasisme Nazi atau Stalinisme Uni Sovyet adalah contoh yang paling mencolok dalam sejarah. Artinya, modernisme memang membawa masalah. Tapi apakah modernisme bisa kita adili sebagai biang keladi atau akar persoalan yang ada? Kita perlu telisik lebih jauh.

Saya menganggap bahwa persoalan modernisme adalah persoalan kesadaran. Maksud saya, modernisme adalah soal bagaimana cara manusia memandang sesuatu. Kita tahu bahwa pandangan, atau kesadaran manusia selalu saja ditopang oleh kenyataan. Sebagaimana kesadaran masyarakat agraris di pedesaan akan sangat berbeda dengan kesadaran masyarakat industrial di perkotaan. Dari sini menjadi jelas, bahwa modernisme ditopang oleh realitas sosial obyektif dari masyarakat, yaitu dinamika corak produksi masyarakat beserta hubungan-hubungan sosial yang ada.

Saat ini, kita tahu bahwa dalam hubungan sosial ternyata ada penindasan, sehingga memunculkan kelas penindas dan kelas tertindas. Sementara dalam dunia pendidikan juga kita temui bahwa ada penindasan di dalamnya dengan sekian modus operandi, dan di sisi lain pendidikan selalu mereproduksi penindasan antar manusia. Dan penindasan bukan persoalan kesadaran, melainkan persoalan kenyataan sosial yang mana kesadaran bertumpu di atasnya. Penindasan itu saat ini ada dalam bingkai kapitalisme. Artinya kritik atas dunia pendidikan mengharuskan kritik ekonomi politik itu sendiri sebagai akar persoalannya.

Jadi, ketika kita mengkritik modernisme secara an sich sebagai sebuah kritik atas kesadaran, ideologi, atau singkatnya suprastruktur, sesungguhnya ini juga bermasalah. Sebab, kritik seperti itu mengandaikan bahwa asal-muasal sekian persoalan yang ada, adalah persoalan fikiran, bukan realitas. Dari sini kita bisa tahu bahwa titik pijak atau basis ontologis dari kritikan Muhammad Qowim adalah idealisme, bukan realisme.

Lantas, sebab modernisme tidak bisa dikatakan akar persoalan, maka kritik atas modernisme yang mengimplikasikan adanya postmodernisme, tentu tidak menyelesaikan persoalan selain malah blunder sebab mencomot kritik dari titik-pijak kritik atas kenyataan. Kita tahu bahwa postmodernisme punya semangat untuk merayakan pluralitas, menghargai atau membiarkan “yang lain” tetap eksis dengan kelainannya. Lantas, bagaimana misalnya jika “yang lain” itu Hitler atau Soeharto?

Terakhir, kritik atas modernisme pendidikan dan tawaran agar dunia pendidikan mengambil postmodernisme sesungguhnya salah alamat. Sebab kritik itu diam-diam mengajarkan kepasrahan atas penindasan antarmanusia dalam bingkai kapitalisme termasuk dalam dunia pendidikan untuk terus berlangsung. Dengan kata lain, kritik atas modernisme an sich dalam dunia pendidikan adalah tidak akan menyelesaikan persoalan riil dalam kehidupan. Juga karenanya, tawaran postmodernisme untuk dunia pendidikan adalah tawaran kosong yang harus ditinggalkan.

Kamar Merah, Subuh, 13/02/14

*)Penulis adalah anggota KMPD UIN Sunan Kalijaga