Mereka bergerak, mereka berjalan, untuk satu tujuan: keadilan.
Lpmarena.com,Kalimat diatas merupakan penggalan musikalisasi puisi yang dibacakan oleh Selendang Sulaeman dalam talkshow yang diadakan BEM Fakultas Sosial dan Humaniora (Fishum). Aara yang berlangsung di Interaktif Center Fishum, pada hari Rabu (21/05) ini mengangkat tema “Menolak Lupa Perjuangan Mahasiswa 1998”. Hadir sebagai pembicara dalam acara ini Mustafiq, mantan Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) UGM dan Adian Napitupulu, Sekjen Perhimpunan Nasional Aktivis ’98.
Menurut Mustafiq, mahasiswa bukan satu-satunya variabel dalam gerakan ’98, melainkan ada kepentingan asing yang ikut menggerakkan arah reformasi. Perubahan pada waktu itu bukan perubahan menuju kondisi yang lebih baik. Ia memberi contoh bahwa setelah reformasi terjadi liberalisasi di bidang pendidikan. “Liberalisasi di sini dalam hal pembiayaan, akibatnya SPP naik,” kata Mustafiq.
Naiknya biaya pendidikan berpengaruh pada bergesernya input di instansi pendidikan. Jika dulu kuliah masih murah, maka banyak masyarakat miskin bisa kuliah. Namun sekarang semakin sedikit masyarakat miskin bisa kuliah. Mahasiswa dengan basis ekonomi kuat jarang memunculkan sebuah pergerakan. Hal ini lah yang membuat pergerakan mahasiswa sekarang kurang militan. “Secara sosiologis, pergerakan mahasiswa muncul dari masyarakat yang mengalami penindasan,” terang Mustafiq.
Mengenai pergerakan mahasiswa hari ini, Adian sependapat dengan Mustafiq bahwa pergerakan mahasiswa sekarang kurang militan. Ia melihat demo-demo yang dilakukan mahasiswa sekarang tidak memiliki daya tawar. Sedikitnya jumlah massa, waktu yang tidak lama, dan tidak adanya ancaman membuat demo tidak didengar. “Demo sekarang itu kayak orang kerja, jam 9 berangkat, jam 3 pulang,” paparnya dengan tawa kecil.
Adian Napitupulu, sebagai pelaku dalam gerakan ’98 menyatakan tidak tahu apakah ada pihak asing yang menyokong pecahnya gerakan ’98. Namun ia menegaskan bahwa pecahnya gerakan itu tidaklah berdiri sendiri hanya karena krisis ekonomi yang terjadi waktu itu. Gerakan itu merupakan reaksi atas apa yang telah dilakukan orde baru selama 32 tahun, termasuk salah satunya kasus Kedung Ombo.
Adian mengakui bahwa gerakan ’98 gagal membuat kondisi nasional lebih baik. Tapi ia balik bertanya pada generasi sekarang, “jika generasi sekarang bilang (gerakan) ’98 gagal, lalu apa yang telah kalian lakukan?” tantang Adian. Menurutnya, menolak lupa bukan hanya untuk korban peristiwa ’98, tapi menolak lupa untuk berpihak pada rakyat. Ia menambahkan, di satu sisi pemerintah memaksa kita lupa, tapi di sisi lain kita mengamininya dengan tidak mau bersatu. (Lugas Subarkah)
Editor : Ulfatul Fikriyah