Home - Mengenalkan Cerita Rakyat sebagai Budaya Lokal

Mengenalkan Cerita Rakyat sebagai Budaya Lokal

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email
Fitri Eka  sedang bercerita kepada pengunjung di Stand Jayaprana,

Fitri Eka sedang bercerita kepada pengunjung di Stand Jayaprana, (23/05).

lpmarena.com,Di dusun Jomblang Lor, Gunung Kidul hiduplah seorang janda(rondo). Suatu hari ada seorang pemuda mampir ke rumah janda tersebut untuk meminta air dan berwudhu, namun rondo itu berkata jika di rumahnya tidak ada air. Berucaplah si pemuda jika di belakang rumahnya ada sumber air. Sang rondo pun mendatangi belakang rumah dan terkejutlah ia saat mendapati sumber air. Akhirnya, rondo itu tahu bahwa pemuda itu adalah  Sunan Kalijaga. Sekarang, sumber air itu dikenal dengan nama Luweng Dano Tirto.

Itulah salah satu cuplikan cerita rakyat dari stand bernomor urut 1 yang mewarnai acara Pameran Literasi dan Budaya 2014 yang bertempat di  depan Convention Hall UIN Sunan Kalijaga (23/5). Selain penghuni stand menampilkan simulasi dan bercerita langsung kepada pengunjung, juga mereka berpakaian ala tokoh yang mereka simulasikan.

Acara yang diselenggarakan kali ketiga oleh Program Studi (Prodi) Ilmu Perpustakaan S1 dan D3 Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Suka ini mengangkat folklore atau cerita rakyat sebagai tema besar. Tujuan acara itu untuk mendokumentasikan budaya lokal serta menggerakkan literasi sehingga dapat mendekatkan Ilmu Perpustakaan kepada masyarakat. “Acara ini merupakan upaya dari Ilmu Perpustakaan untuk mendokumentasikan yang belum terdokumentasikan,” ucap Putera Mustika ,Ketua Panitia acara saat ditemui ARENA usai Talk Show School Libraries: Indonesia and North American’s Perpectives”.

“Indonesia punya banyak banget kebudayaan, tapi belum banyak orang yang tahu dan belum ter-expose, dan budaya itu sangat mahal itu ingin kita angkat dan kita jaga, ” tutur Putera. Ia juga menambahkan budaya lokal merupakan warisan, ketika tidak diketahui orang lain dan kita tidak menjaganya, itu merupakan kesalahan. Hubungannya dengan literasi, budaya merupakan harta, dan literasi merupakan upaya untuk menjaga harta tersebut.Sekretaris acara, Esti Pratiwi menambahkan, dengan literasi juga mengasah kemampuan mahasiswa bagaimana meng-explore apa yang ada di dirinya dan masyarakat. “Kami mengenalkan literasi dalam pameran ini yaitu tentang cerita rakyat, bagaimana mengemas cerita rakyat itu dalam bentuk simulasi stand, buku, foto, video agar budaya ini orang bisa tahu,” ungkap Esti.

Sedangkan Fitri Eka yang menjaga stand nomor 4 tentang Jayaprana berkisah tentang budaya nusantara sekarang kalah dengan anime-anime dari luar negeri seperti Doraemon, Sin Chan, dan Naruto. Pameran ini berusaha mengangkat yang belum mem-booming dan belum banyak tahu menjadi tahu. “Setelah pameran ini harapannya banyak mereka yang tertarik untuk mencari tahu lebih lanjut dengan membaca buku,” ujar Fitri.

Ada sepuluh cerita rakyat yang dihadirkan, dan itu melalui proses penggalian informasi melalui buku dan internet, juga observasi ke tempatnya langsung. Sepuluh cerita itu yaitu: Cerita Rakyat Karang Bolong, Legenda Ratu Kalinyamat, Luweng Danatirta, Cing Cinggoling Legenda Kedung Dawang, Asal-usul Desa Kepurun dan Kecamatan Manis Renggo, Puteri Tujuh, Legenda Sekar Langit, Jaya Prana dan Layon Sari, Hikayat Gunung Tidar, Putri Mandalika.

Selain stand-stand prodi Ilmu Perpustakaan ada juga datang dari forum pustaka keliling DIY seperti Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Adil dan TBM Mata Aksara dengan konsep motor pintar yang penuh dengan buku-buku (perpustakaan keliling). “Semua dimulai dari diri sendiri. Analoginya, apa yang terjadi saat batu kita lepas dalam air? Dari yang lingkarannya kecil akan mengembang menjadi besar. Akhirnya mendukung yang lebih luas,” ucap Badrudin HAMF atau yang kerap disapa Mbah Bad ini selaku tim kreatif dari TBM Mata Aksara saat ditanya tentang kesadaran budaya dan literasi.(Isma Swastiningrum)

 

Editor : Ulfatul Fikriyah