lpmarena.com,Seorang aktor tiba-tiba menyeruak dari sisi penonton dan masuk ke dalam pangggung. Ia mengenakan baju berlapis. Dan perlahan ia lepas baju rangkap lima itu satu per satu. Hingga menyisakan celana hitam dari pusar sampai bawah lutut dengan dada terbuka. Ia bersolilokui, perjalanan dimulai.
Ini adalah cuplikan dari monolog berjudul “Perjalanan” yang dibawakan oleh Teater Camuss Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA) Jakarta, Selasa malam (27/5). Acara yang digelar di depan gedung multy purpose UIN Suka ini mengahadirkan dua monolog surealis sekaligus, yaitu “Perjalanan” dan “Mencari Bahasa”. Tour monolog Teater Camuss ini telah dipentaskan di tiga kota dan Yogyakarta adalah kota terakhir yang disambangi setelah Surabaya dan Bali. Pentas ini menurut Rio selaku lurah (ketua Teater Camuss) dihadirkan untuk melihat respon masyarakat awam tentang teater.
Monolog pertama, Perjalanan. Setelah aktor usai menanggalkan baju rangkapnya dan hanya memakai celana, ia bertanya-tanya, lalu sebuah LCD yang berisi tayangan biologi tentang penciptaan manusia dari sperma menjadi telur dan bayi hadir. Suara lantunan ayat Al Quran melantun dari video tersebut. Diakhiri dengan suara adzan dan sholat. Terinspirasi dari Q.S. Al-Mu’minun: 12-16 lakon ini berkisah tentang perjalanan hidup manusia yang divisualisasikan dengan tubuh. Diceritakannya proses pencarian sesorang tentang kehidupan. “Proses (kehidupan) itu yang mau kita tangkap, dari lahir, dewasa, dan mati. Jika kita muslim, maka akan kembali pada Tuhannya seperti yang digambarkan dengan adegan sholat,” ucap Soekro, sang aktor sekaligus sutradara monolog pertama ini.
Setelah monolog selesai dipentasnya, dibukalah sesi diskusi. Rian, salah satu penonton berkomentar mengenai monolog pertama. “Ini mempertunjukkan kegalauan identitas, pencarian identitas dari person, pegiat teater, dan orang Indonesia sendiri. Adegan pertama, saat memakai baju banyak penafsiran saya (baju-baju) itu adalah atribut. Dari jas, dasi, dilepas, kita person bukan sebagai kita, tapi sebagai atribut. Atribut-atribut itu dilepas satu per satu untuk kembali ke sebenarnya,” kata Rian, yang juga anggota Gorong-gorong Institute (GGI) memberikan komentar. Sedangkan menurut Misbachul Munir dari Sanggar Nuun berpendapat jika, “Manusia adalah makhluk yang temporal. Kesadaran yang membawa kita berpikir asal mula,” tuturnya.
Pertanyaan lain muncul dari Doli. “Jika yang beragama kembalinya ke Tuhan, lalu yang ateis kembali kemana?”. Soekro menjawab jika ateis itu dasarnya punya Tuhan, itu dipengaruhi pendidikan, lingkungan, pergaulan. Dari sudut pementasan tadi, Tuhan ateis bisa tahta, harta, barang/benda dan lain-lain. “Pertanyaannya, siapa Tuhannya ateis? Saya tidak tahu,” ucap Soekro. Hal ini pun ditanggapi oleh Elex Suwek dari FOSTER (Forum Sinau Teater), “Ateis itukan tidak mengakui Tuhan, tapi sebenarnya dia mengakui Tuhan. Kalau dia tidak mengakui keberadaan Tuhan, kenapa dia menolak Tuhan?” tanyanya filosofis.
Monolog kedua tentang pencarian bahasa. Di awal cerita, seorang aktor membawa kursi ke atas panggung. Lalu ia bertanya-tanya pada diri sendiri dan berjalan-jalan ke arah penonton sambil berinteraksi dengan mereka. Dari Jakarta tidak ketemu-ketemu. Dari Surabaya, Bali, Jogja, sudah 32 stasiun dilalui tapi tak menemukan bahasa. “Masuk ke gorong-gorong, ke lorog-lorong. Bahasa yang mengalun-alun hilang. Woles, selow, itu apa?” Tanya aktor pada penonton. Pentas diakhiri saat aktor duduk di kursi, kemudian datang dua orang, satu membawa gergaji, satunya lagi kapak untuk memotong kaki kursi yang diduduki aktor.
Terinspirasi dari pengalaman sang aktor sendiri yang bernama Manted. Ia bercerita setelah lama sekali tidak ke daerah asalnya di Bandung,  ia pergi ke Bandung. Di halte ia bertemu dengan orang Sunda asli. Namun ia resah akan lunturnya bahasa Sunda dan bertanya, “Kenapa di Sunda kok malah kayak di Jakarta? Saya di Bandung kok begini? Saya rindu bahasa (Sunda) yang mengayun-ayun”. Saat pulang ke Jakarta Manted merasa malah makin parah bahasanya. Makin aneh-aneh bahasanya dari tingkat SD, SMP, SMA sampai yang ubanan bahasanya LoGue.
“Sopan santun hilang. Bahasa budaya hilang perlahan, dikorelasikan dengan bahasa yang keluar sekarang,” ucap Manted. Lalu, kenapa simbolnya kursi? Manted menjelaskan jika kursi menggambarkan pendidikan dan gergaji menggambarkan ketimpangan. “Belajar tidak harus bayar dan memakai pakaian rapi dan wah. Dengan hal biasa aja kita bisa belajar,” ucap Manted. Untuk menimbulkan kesadaran akan lunturnya bahasa sendiri, Manted menjelaskan hal itu dimulai sejak dini. “Dampak dari rumah sangat penting sekali untuk tetap menjaga bahasa yang baik. Kita punya anak, latih menggunakan bahasa yang baik dan sopan pada orang tua. Pemerintah pun mulai meniadakan bahasa Inggris yang diajarkan sejak SD sebagai proses mempertahankan bahasa,” kata Manted yang juga menyutradari monolognya sendiri.
Misbachul Munir menambahkan, kita harus meniru China yang sadar bahasa mereka dijajah (pihak barat) dengan membatasi bahasa-bahasa asing yang masuk ke China. “Sadar akan bahasa Indonesia yang dimiskinkan keadaan, tidak sekedar berhenti di tataran normatif, penggunaan EYD dan huruf saja,” ucapnya.(Isma Swastiningrum)
Editor : Ulfatul Fikriyah