Oleh: Ahmad Taufiq[2]
(Catatan ini awalnya adalah materi diskusi Gondes,[3] pada 15 Maret 2014, yang kebetulan bicara mengenai Madzhab Frankfurt. Sebelumnya sudah dibahas kawan Rusliyanto[4] dalam tulisannya yang berjudul “Institute for Social Research Bernama Madzhab Frankfurt.” Anggap saja, tulisan ini juga semacam tanggapan saya atasnya).
I
Perpisahan dengan masa silam nampak sebagai pengusiran manusia atas mitologi, sekaligus pendewaan ilmu pengetahuan. Dan dengan ilmu pengetahuan, manusia tak lagi menghadapi alam dengan ketakutan akan kemisteriusannya, tapi dengan kalkulasi untuk menundukkannya. Inilah semangat pencerahan.
Tapi rasionalitas pencerahan itu menemui jalan gelap berupa mistifikasi atas ilmu pengetahuan dengan apa yang disebut dengan logika instrumental. Puncaknya adalah apa yang disebut positivisme dimana relasi antar manusia dipahami sebagai relasi subyek-obyek, sehingga penundukan antar manusia tetap tak terelakkan. Akibatnya, bencana pun datang dalam berbagai bentuk, semisal perang dunia I dan II, Holocaust Nazi, otoritarianisme Uni Soviet.
Bencana-bencana sosial itulah yang membuat manusia tertindas, teralienasi. Manusia jadi teralienasi atas alam dan sesamanya, sebab rasio instrumental menggurita, menyeret manusia untuk menjadi sebatas instrumen untuk tujuan di masa depan dalam tata pemerintahan otoriter atau rezim teknokratisme. Sekian keunikan manusia tergerus dalam penyeragaman melalui rasio menjadi prosedur. Kekinian dan kedisinian manusia dicampakkan untuk meraih sesuatu di masa depan yang baik, sebagai penebusan atas penderitaan yang ditimpa kini. Dalam wacana Kantian, manusia tidak lagi menjadi manusia dengan tujuan pada dirinya, melainkan instrumen belaka untuk meraih tujuan di luar dirinya. Manusia menjadi satu dimensi, kata Marcuse.
Bagi Marcuse, manusia satu dimensi adalah manusia yang kehilangan negasi. Setiap perlawanan atas sistem, bukan malah meruntuhkan sistem yang ada, melainkan perlawanan itu diakomodir oleh sistem, dan malah diperlukan untuk menyehatkan kembali sistem yang ada. Di sini proyek emansipasi dalam berbagai bentuknya hanya menjadi lelucon. Dan manusia kemudian jadi sebatas sekrup atas rasio prosedual yang dilahirkannya sendiri.
Ya, begitulah teori kritis menggambarkan kenyataan manusia modern di bawah sistem kapitalisme. Ia dianggap memberi alternatif pembacaan kritis atas penindasan kapitalisme bukan melalui kritik ekonomi-politik seperti Marxisme, tapi lebih pada dimensi kultural dan ideologi.
Madzhab Frankfurt generasi pertama, seperti Adorno, Horkheimer dan Marcuse, dalam sekian tulisannya, adalah suara-suara pesimis dalam menghadapi alienasi. Proyek emansipasi menjadi suram sebab emansipasi radikal sendiri perlu dicurigai membawa dalam totalitarianisme yang nantinya bakan memunculkan penindasan baru. Sebab dalam sejarahnya, revolusi yang oleh kalangan penghamba Marxisme dianggap sebagai bentuk emansipasi radikal, nyatanya memang menjadi sistem baru yang tak kalah menindasnya sebagaimana terjadi di Uni Soviet. Dan generasi pertama Frankfurt lantas tidak menawarkan apa-apa dalam menghadapi alienasi itu selain galau dengan dirinya sendiri.
II
Kemudian hadirlah Habermas. Ia adalah pemecah kebuntuan generasi pertama tadi. Melalui teori tindakan komunikatifnya, ia tawarkan teori bahwa emansipasi itu menjadi mungkin dengan jalan diskursus. Dan diskursus butuh ruang publik demokratis. Ia mengangkat kembali teori rasionalisasi Weberian. Bagi Habermas, rasionalitas pencerahan yang dipandang membawa bencana, harus dihadapi bukan dengan melakukan de-rasionalisasi dengan kembali mengidealkan masyarakat tribal-primitif. Tapi proyek rasionalitas pencerahan harus dilanjutkan dengan kritik atasnya agar tidak terjerumus pada absolutisme teori, dengan memberi dan mengenali keterbatasannya. Rasionalitas pencerahan harus dikembalikan ke khittoh-nya, dengan dekolonialisasi dunia kehidupan oleh negara dan pasar, dengan mekanisme demokrasi. Maka, revolusi sebagai narasi besar kaum Marxian dianggap kuno dan tidak mampu memecahkan persoalan penindasan sehingga harus diganti dengan diskursus.
Di sini lah kemudian teori kritis menjadi seksi bagi para cendekiawan kita, sehingga ramai-ramai mereka gandrung padanya. Bahwa emansipasi kembali menjadi mungkin melalui diskursus yang bakal menghasilkan konsensus. Narasi revolusi diganti dengan obrolan di mana-mana, dan dengannya, lewat tindakan komunikatif manusia, pasti mereka akan menerima dan menjalankan apa yang rasional buat dunia hidupnya. Maka menjadi jelas posisi Habermas yaitu mengkampanyekan liberalisme sebagai satu-satunya solusi yang memang harus diterima manusia sekarang. Habermas bahkan tidak memimpikan adanya “masyarakat tanpa kelas” misalnya sebagai bentuk dari hasil emansipasi radikal, tapi sebatas menawarkan agar masyarakat menjadi semakin rasional untuk memperlunak penindasan kapitalisme. Dia lah yang paling jelas melucuti Marxisme dari teori kritis tradisi Frankfurt. Dan dengan itu, kita bisa sadari, bahwa teori Habermas diam-diam telah menyerah dengan keadaan. Emansipasi radikal tetap merupakan sesuatu yang di luar dunia.
III
Pertanyaannya kemudian, mengapa teori kritis tak mampu memberi jalan terang bagi emansipasi radikal? Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan. Pertama, teori kritis bertendensi mencurigai rasio dengan meradikalkan kritiknya dari kritik atas mitologi menuju kritik pada rasio pencerahan itu sendiri. Lantas, atas dasar apa kritik itu dilakukan jika bahkan rasio sendiri dicurigai keabsahannya?
Kedua, relitas obyektif dalam ranah sosial itu cenderung dicurigai, sebab bahkan sejak rasio menangkap realitas, ia sudah mendefinisikannya dengan posisi bahwa dirinya adalah partisipan dengan subyektivitas pengalamannya. Selain itu juga bahwa realitas itu sifatnya historis dan karenanya dinamis, menyesuaikan ruang dan waktu. Sehingga penangkapan rasio kita atas kenyataan sifatnya pasti parsial. Padahal meragukan realitas obyektif, yang bermasalah berarti titik pijaknya paradigma tentang kebenaran atau keberadaan segala sesuatu. Seolah-olah tanpa adanya kesadaran, realitas itu tidak ada.
Ketiga, teori kritis melucuti kritiknya dari dimensi kritik atas realitas obyektif yang berbasis pada corak produksi yang sifatnya ahistoris. Contohnya bahwa selama ada manusia, selama itu pula membutuhkan pemenuhan atas prasyarat bagi kehidupannya, dan itu tentu bicara tentang kerja dengan sekian pengaturan pembagiannya dan segala macam ekspresi sosialnya.
Maka, kita bisa mengenali bahwa kritik mereka atas alienasi akibat kapitalisme memang adalah kritik atas ideologi, atas kesadaran, atas budaya. Mereka meninggalkan kritik ekonomi-politik atas corak produksi masyarakat yang mengkondisikan adanya budaya dan ideologi masyarakat. Mereka hanya mengkritik kapitalisme karena menimbulkan alienasi, menimbulkan penindasan, tapi disisi lain tidak mengkritik basis material sistem kapitalisme sendiri. Kritik seperti itu, hanyalah kritik normatif atas fenomena-fenomena tanpa menyinggung esensi. Suatu kritik yang hanya mengajak orang-orang untuk bergenit-genit dalam wacana tapi lupa bahwa kenyataan penindasan terus berlangsung.[]
[1] Ditulis pada 15 Maret 2014, diedit ulang pada 28 Mei 2014.
[2]Penulis adalah anggota PSDM LPM ARENA.
[3] Gondes adalah Forum Lintas Pers Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Acara rutinan diskusinya tiap hari Selasa sore.
[4] Rusliyanto saat itu adalah pemateri dalam diskusi di Gondes. Ia adalah Pimred LPM Humaniush 2013-2014.