Home - Mawar Merah yang Menggigil

Mawar Merah yang Menggigil

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh Dhedhe Lotus

 

Di kedalaman hatiku sayangku, di dalam kebisuan seorang perempuan, selalu ada hal yang selalu minta diladeni, untuk didengar dan dilaksanakan. Jeritan, bagai terkena palu godam. Tentu saja kau tak faham, sebab jua karena kau lelaki, dan suaraku, suara perempuan yang juga tak semua perempuan mampu merasakan. Tapi barangkali kau tipe lelaki yang peka terhadap hati perempuan, yang mungkin sedikit lebih mengerti dari yang lain. Jeritan inilah yang selalu aku dendangkan di kesunyian, di keramaian dan di manapun aku berhadapan dengan kaummu. Barangkali kau tahu itu.

Hanya di lamunan, aku merasakan damai yang paling damai. Aku tak lagi mendengar tangis seorang perempuan yang dipukul suami, perempuan jalan yang mendendangkan suara mesra menggairahkan sekaligus satir. Aku tak lagi mendengar  saudaraku pulang dari luar negeri dengan perut buncit. Tapi ah, tentu saja itu hal yang paling damai, sebab saat terbangun dari lamunan, yang kudapati hanyalah suara-suara sumbing yang menempatkan diri menyesaki rongga batin.

Kata para bibiku di kampung, perempuan memang harus menapaki kodrat perempuan sebagaimana digariskan. Saat itu juga, tiba-tiba serombongan kereta pralaya1 melintas dibenakku. Itulah kematian paling dini bagi seorang perempuan. Meskipun aku tahu, kelak nanti pun aku akan mati di tangan suamiku sendiri, sebab lingkunganku mengizinkan para suami untuk melakukan hal itu, juga para bibiku.

Dan kau, lelakiku, izinkan aku untuk mengatakan ini, bahwa aku bukanlah perempuan penurut sebagaimana para bibiku haruskan. Maka saat ini pula, aku deklarasikan kesiapanku untuk lenganmu digelanyuti perempuan lain yang barangkali, kau lebih bahagia karenanya. Sebab ia perempuan yang oleh kaummu kehendaki untuk rela hidup dibawah ketiak para lelaki.

Kasihku, kadang-kadang aku membayangkan wajahku selugu dahulu, saat masih mengenakan seragam putih-biru. Seorang gadis yang selalu disibukkan dengan kediriannya yang baru, tatkala seorang bujang diam-diam menyuratinya untuk diajak berkenalan. Lalu cerita itu terabadikan dalam catatan harian. Cinta pertama yang hanya untuk si gadis. Tanpa ia repot-repot memikirkan nasib apa yang terjadi kemudian, tanpa ia berfikir hubungan macam apa yang akan terjalin, dan tentu saja, saat itu ia tak pernah berfikir akan keperempuanannya. Yang ia tahu, ia bahagia karena mengalami sesuatu yang paling menggetarkan di sekujur hidup.

-Dan itu aku, sebelum hatiku menjerit-meronta.

***

Di bawah temaram lampu stasiun kota, aku duduk dan terdiam. Ku pangku tas ransel, ku buka, ku tutup, ku buka lagi dan mendapati sebuah kotak yang ku namai kotak asmara. Kotak pertama yang sengaja ku beli dengan hasil keringat yang dengan susah payah ku kumpulkan hanya untukmu, tapi sayang kau tak pernah rela untuk menengadahkan tangan dan menerima pemberianku. Yayi2, tak bisakah sedikit saja kau mencoba mengerti besarnya rasa yang tersirat dari sebuah pemberian?

Beberapa langkah lagi kereta akan membawaku ke suatu tempat di mana kau tak bisa lagi mengalahkanku.Ah tidak, aku tak pernah merasa terkalahkan oleh ke-aku-an mu. Apakah kau merasa demikian? Atas nama dendam terhadap kaumku yang kau labeli jahanam?

Kau tahu, telah lama aku mencoba untuk hadir di stasiun ini seperti yang kali ini aku lakukan, tapi aku selalu mencoba memaafkanmu. Matamu, adalah mata Dewi Umayi3 yang selalu berbicara atas nama kesedihan yang tertinggal dari jejak Batara Guru. Tapi matamu itu sekaligus Durga4 yang tak bisa ku hindari.

Mata Umayi telah mengejawantah dalam matamu itu, yayi, seolah menjadikan aku oase bagi padang pasir yang kerontang. Itulah surgawi bagi kaumku, kaum lelaki. Sedang mata Durga-mu, itulah sepasang mata yang selalu membuat naluri kelelakianku membara untuk menundukkan tiap inci dari kesombonganmu, tapi sungguh, kau tak akan pernah mengerti. Jiwamu hanyalah jiwa yang terperangkap diantara ambisi dan penyerahan. Kau mencintaiku itu ku tahu, tapi pun aku mengetahui, sebelah hatimu mengatakan kau telah terkalahkan.

Di bangku peron ini, kudapati orang-orang datang silih berganti, dengan wajah lelah penuh keringat dan wajah-wajah kusam tersapa debu jalanan, tapi di wajah-wajah itulah aku menemukan harapan-harapan yang paling murni meski sering pula kudapati aura kecewa.

Tiba-tiba seorang ibu penjual gorengan yang hampir renta mendekat dan membuatku terjaga dari lamun.Kuambil beberapa gorengan untuk mengganjal perut yang tak kusadari telah lama tak terisi. Namun selepas kepergian penjual gorengan itu, aku kembali berselancar dengan fikiranku sendiri, tentang seorang perempuan yang telah beberapa tahun menjungkir balikkan paradigma fikirku.

Apakah kau tak tahu, atau pura-pura tak tahu seberapa hidupku terasa hidup justru karena ideologimu itu, aku merasa mendapatkan kawan sekaligus lawan yang setanding.Kadang-kadang kau membuatku tersenyum puas karena berhasil membohongimu dengan hal-hal kecil, dan pertengkaran-pertengkaran yang kadang juga aku rindukan.Sungguh, aku tak berdusta. Tapi kemudian kita tak pernah bertengkar lagi, kemudian tak terdengar lagi diskusi sederhana dari hasil bacaanmu.Kemudian tak lagi aku dapati serangan tajam yang menelikung. Tiba-tiba kau bak perempuan yang selalu sendiko dawuh5. Sesuatu yang menjijikkan! Kemudian dan kemudian lagi, sampailah aku di sini.

***

Kemudian kau pun pergi.

Dahulu sekali sayangku, kalau boleh jujur, aku mendekatimu, menggodamu dengan caraku, dengan tujuan untuk mengalahkan. Dan aku merasa seperti pahlawan atas perempuan yang telah tersakiti kala kau ungkapkan kata-kata yang memintaku untuk jadi pacarmu. Aku fikir dengan mengiyakan permintaanmu maka aku menjadi pemenang. Tapi kemudian yang terasa adalah sebaliknya, aku merasa kalah dan menjadi penghianat sebab diam-diam aku menyayangimu. Beberapa bulan aku masih menganggap diriku kalah, sebab sungguh aku menjadi begitu gandrung akanmu.

Tapi lagi-lagi, otakku koyak, kau membuatku merasa menjadi pemenang lagi. Di suatu malam dengan muka kusut kau datang kekosku.Ku buka pintu dan langsung kau menghambur di pelukku, kau begitu tak berdaya dan semalaman aku tak tidur, membiarkanmu lelap di pangkuan. Ku belai rambut dan ku kecup kedua matamu. Saat itulah aku sadar bahwa menang-kalah telah melebur sehingga tak satupun memilikinya. Tak ada yang menaklukan sesiapa, yang ada hanyalah saling menaklukan.

Sebenarnya aku tak sepenuhnya mempercayai apa yang ku katakan barusan.Sebagaian hatiku percaya bahwa semua orang pada hakikatnya berdaulat pada diri masing-masing, sering ku enyahkan fikiran itu, namun terus datang dan terus mengganggu. Aku memilih diam, aku memilih sendiri, aku ingin mengosongkan segala hal dan maafkanlah kau adalah salah satunya.

***

Itu dahulu, untuk pertama kalinya aku merasakan kekalahan dari seorang perempuan, tapi aku begitu rela jika perempuan yang mengalahkanku itu kamu. Selepas itu aku tak pernah meremehkan perempuan manapun begitupula seiring waktu aku tak lagi menganggap diri telah kalah. Kita sama-sama menang dan tak ada yang terkalahkan. Bukankah begitu yayiku?

Namun siapa yang sangka, perubahanmu begitu drastis. Matamu tak lagi bentuk pengejawantahan sang Durga maupun Umayi, matamu kemudian adalah mata yang kosong. Entah ada apa gerangan denganmu, entah apa yang telah kau baca itu. Kau bilang, kita tak akan menyatu, kau bilang cinta kita tak akan berkurang, tetap sama dengan caranya sendiri, kau bilang semua akan baik-baik saja. Lalu aku bilang “baik, barangkali kepergianku adalah yang terbaik”. Kau terdiam, dengan mata yang telah mati. Bagiku.

***

Senyatanya aku tak jadi pergi dan memutuskan kembali. Ku datangi kostmu hampir dini hari, kostmu tak terkunci tapi kau telah lelap. Ku ambil buku yang kau dekap, menyelimutimu dan kembali pergi. Barangkali kau hanya butuh spasi, gumamku dalam hati. Namun rupanya kau merasakan kehadiranku, kau terbangun, tapi bukan untuk menangis dan memelukku atau sekedar ucap maaf, tidak. Kau terbangun hanya untuk mengambil buku dari tanganku. Tak sengaja ku baca judul buku yang kau renggut paksa dari tanganku.

“The second sex” Simone de Beauvoir.6

 

Yogyakarta, kamar kost yang dingin.

  1. Kreta Pralaya, Jawa, Keranda kematian
  2. Yayi, Jawa, Dinda
  3. Dewi Umayi, Dewa yang dipaksa melayani nafsu suaminya yaitu Batara Guru dalam mitologi Hindu
  4. Jelmaan Dewi Umayi yang dikutuk menjadi dewi buruk rupa oleh Batara Guru
  5. Sendiko Dawuh, jawa, artinya selalu mengikuti kehendak tuannya
  6. Filsuf, sastrawan dan feminist eksistensialis Prancis.