lpmarena.com, Senin (02/06), sekitar 200 orang pedagang kaki lima (PKL) Sunday Morning UGM (Sunmor) berkumpul di Jl. Abubakar ali untuk mengadakan aksi di Gedung DPRD Yogyakarta. Aksi ini dikemas dengan kirab budaya, dengan tiga gulungan yang berisi aneka barang dagangan mereka. Serta spanduk bertuliskan “Laksanakan pasal 33 UUD 1945, Sunmor anti krisis moneter dan sumor adalah ekonomi kerakyatan.”
Desi Triyanto, Ketua himpunan paguyuban pedagang Sunmor UGM menjelaskan aksi bertema “berjuang bersama untuk kebersamaan” ini bertujuan menuntut relokasi yang tidak manusiawi oleh pihak UGM terhadap PKL Sunmor. “Kami para pedangan sudah lebih dari tiga kali mengadakan audiensi dengan pihak UGM. Harapannya DPRD menjadi mediator kami,” ungkap Triyanto kemudian.
Dalam aksinya, masa aksi menuntut agar Sunmor tidak dibubarkan, karena kurang lebih 700 PKL yang berjualan di jalan Notongroho dan olahraga itu mengadu nasib hanya untuk memenuhi hidupnya. Selain itu, Korlap (koordintor lapangan) aksi memaparkan yang perlu diperhatikan adalah Sunmor merupakan ikon budaya lokal kota Yogyakrta di Minggu pagi.
Audiensi di DPRD
Di depan gedung DPRD Yogyakarta, masa aksi menuntut untuk audiensi dengan para anggota dewan (anggota DPRD) DIY. Tak lama setelah menyampaikan tuntutan, anggota dewan keluar dari gedung DPRD DIY dan menyambut hangat para PKL, serta menerima untuk mengadakan audiensi bersama. Pukul 10.00 bertempat di Ruang Sidang DPRD Yogyakarta Lantai 2 rapat audiensi digelar. Hadir H. Ahmad Subangi, Sukanto, dan Agus Sumartono, selaku anggota dewan.
Dialog dimulai dari Kholis (PKL Sunmor) yang menjelaskan konflik antara PKL dan pihak UGM di Sunmor yang belum menemukan titik temu. Dan tidak diketahui sebab mengapa harus direlokasi. “Kami di Sumor dalam hitungan hari selama 7 hari hanya minta 1 hari untuk mengais rezeki,” ungkap Kholis.
Kemudian Indri yang juga PKL mengatakan bahwa pihak UGM memang tidak manusiawi terhadap PKL Sunmor. Karena beberapa kali berdagang, selalu dihadapkan dengan konflik. Pertama portal ditutup, kedua dilempari dengan batu. “Hingga dengan adannya konflik ini membuat penghasilan menurun,” jelas Indri pada anggota dewan.
“Alasan UGM kenapa harus direlokasi, karena kampus bukan tempat berdangan melainkan mencari ilmu,” ungkap Arya yang sejak 2005 berdangan di Sunmor UGM. Jika demikian yang menjadi alasan, ia tidak sepakat. Karena di dalam arena kampus UGM sendiri juga ada hotel, ada losmen dan usaha yang elite lainya. Hal demikian diadukan Arya ke anggota dewan. “Apa bedanya PKL dengan pengusaha yang ada di dalam kampus ? Apakah karena PKL ada di pinggiran hingga dikucilkan,” tuturnya.
Dari banyak pertanyaan dan keluhan yang disampaikan para PKL Sunmor, Sukanto menanggapi bahwa anggota dewan hanya bisa membantu dengan negosiasi, tidak bisa membantu secara hukum. Karena anggota dewan bukan lembaga hukum. “Anggota dewan hanya bisa menjembatani untuk mempertemukan dengan pihak UGM,” ungkap sukanto. Paling lambat anggota dewan berjanji pada PKL Sunmor dalam satu minggu ini sudah bisa bertemu dengan pihak UGM.
H. Ahmad Subangi bagian komisi A DPRD DIY mengungkapkan UGM tidak secara jujur membuka hati, karena bagi dia Sumor merupakan salah satu solusi kerja untuk mahasiswa maupun masyarakat. Jika UGM pintar bisa menciptak jiwa entrepreneurship dan bahkan menjadi pusat labotarium perdaganga. “Karena Sumor adalah kearifan lokal yogyakarta yang seharusnya dilestarikan,” ungkapnya. Sementara Agus Sumartono mengungkapkan bahwa UGM tidak lagi menjadi kampus rakyat.
Di penghujung audensi masa aksi mengibarkan gulungan yang disiapkan oleh panitia agar kirab budaya Sunmor UGM hari itu cukup untuk menunjukkan arti dari Sunmor UGM. Sebagaimana tertulis di selebaran yakni arti kemanusian, memberikan manfaat bagi lingkungan sekitar atas nilai kreatifitas dan juga ruang berbagi hati. (M Faksi Fahlevi)
Editor : Ulfatul Fikriyah