Home - Surat Kecil untuk Aktivis HTI: Respon Atas “Impian Besar” Mereka

Surat Kecil untuk Aktivis HTI: Respon Atas “Impian Besar” Mereka

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

*) Oleh: Maman Suratman

 

Di kampus (UIN Yogyakarta), tak banyak saya dapatkan tulisan-tulisan progresif dari mahasiswa. Dosen pengajar, apalagi. Hanya segelintir orang yang masih setia menghadirkan wacana seperti itu (progresif). Salah satunya, mungkin juga satu-satunya, aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Hampir setiap pekan, mereka menghadirkan wacana di tengah-tengah keapatisan mahasiwa. Namun sayang, setiap wacana-wacana dari mereka, hampir jarang saya temui dikonsumsi secara luas. Lebih banyak yang mengabaikan ketimbang yang memelototinya di mading-mading. Ini fakta. Entah memang orang tak suka isi kontennya, ataupun karena memang tak banyak dari kita yang suka baca.

Terlepas dari masalah di atas, apapun itu, wacana mereka tetap menarik dan penting untuk direspon. Meski tak sekonsisten mereka, menyebarkan gagasan atau wacana ke khalayak, saya kerap menyisihkan waktu untuk sekadar membacai wacana-wacana itu. Dalam berbagai bentuk, entah itu artikel, buletin, ataupun bentuk-bentuk selebaran lainnya, hampir melulu mengusung yang bagi mereka adalah “impian besar”, yakni Khilafah Islamiyah. Jika dibanding gerakan-gerakan mahasiswa di kampus, kekonsistenan yang mereka miliki bisa dibilang cukup luar biasa. Slogannya pun sangat revolusioner, salah satunya, seperti “Tanggalkan Demokrasi, Tegakkan Khilafah!” Hebat, bukan?

Pernah suatu waktu saya berbincang dengan salah satu aktivitas HTI di kampus. Kebetulan sekali, saya dapati dia pasang tulisan di mading-mading. Saat itu, saya bertanya tentang alasan gerakannya usung Khilafah Islamiyah di Indonesia. Tak disangka-sangka, penjelasannya hampir-hampir membuat saya kaget dan memaksa untuk mengatakan WOW: “Mas, gerakan ini adalah gerakan merealisasikan Janji Tuhan!” Janji Tuhan? Bukan dapat pencerahan, justru semakin timbul rasa penasaran. Apa iya Tuhan pernah berjanji seperti itu? Sayangnya, saya bukan ahli kitab yang tahu beragam asal-usul turunnya ayat. Sial.

Karena kejadian itu, saya merasa tertantang membaca beragam literatur, terutama seputar ulasan tentang wacana ini, baik melalui buku-buku ataupun artikel-artikel di dunia maya. Tak lama, saya akhirnya mendapati alasan dasarnya tentang mengapa sebenarnya para aktivis HTI getol sekali usung apa yang mereka sebut “impian besar” itu. Hampir semua literatur dengan beragam sumber, katakanlah yang pro terhadap gagasan ini, bernada sama: bahwa menegakkan khilafah islamiyah tiada lain adalah upaya mengembalikan kejayaan kekhalifahan Islam yang telah berjaya selama kurang lebih 1300 tahun silam. Ditegaskan pula bahwa upaya itu adalah upaya menyongsong kebangkitan Islam kembali. Teringat dengan jawaban salah satu aktivis HTI waktu itu, mungkin inilah yang dia maksud “Janji Tuhan”.

Melalui alasan di atas, saya pun jadi paham mengapa dengan menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam, bagi mereka, bukan hal yang harus ditawar-tawar lagi. Konsep atau sistem seperti ini harus mutlak adanya. Adapun tujuannya, sebagaimana yang sering digumamkan aktifis-aktifis HTI melalui beragam bentuk selebarannya, adalah mewujudkan masyarakat adil-makmur, sejahtera lahir-batin, serta memperoleh ampunan dan ridha Allah, yang jika dirinci lagi seperti: melanjutkan kepemimpinan agama setelah Rasulullah; memelihara kemurnian ajaran Islam dan menyelamatkan akidah umat; mengupayakan kesejahteraan lahir-batin dalam rangka memperoleh kebahagiaan hidup dunia-akhirat; mewujudkan dasar-dasar pemerintahan (khilafah) yang adil dalam seluruh aspek kehidupan umat; melaksanakan hukuman (peradilan) dan melerai pertengkaran antar dua kelompok berlawanan; menjaga keutuhan kedaulatan Negara dari serangan musuh; serta menyebarkan dakwah Islamiyah ke seluruh dunia.

Secara konsep, cita-cita dan tujuan, saya yakin, semua orang di bumi ini tentu tak ada yang menolak adanya kemaslahatan bagi semua, sebagaimana yang juga diusung para aktifis HTI. Dan tentu, jangankan patut untuk kita apresiasi, mendukung dan terlibat di dalamnya pun patut untuk kita lakukan. Hanya saja, ini yang masih dan paling membingungkan saya, kemaslahatan seperti apa yang mereka hendak capai? Jika hanya golongan tertentu, dalam hal ini umat Muslim, tentu tak bisa kita benarkan. Mengapa? Realitas bangsa ini tak boleh kita kesampingkan begitu saja. Lagi pula, apakah semua umat Muslim bercita-cita sama? Saya pikir tidak.

Sejauh yang saya pahami, Nabi pernah berseru pada umatnya bahwa ajaran Islam itu meruang dan mewaktu. Ini berarti bahwa hukum mengikuti ruang dan waktu di mana ia ada. Hematnya, konteks harus mendasari segalanya, termasuk teks dan fakta sosial sekalipun. Jadi, ketika hendak menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam, kesannya tidak hanya memaksa dan juga tidak relevan, tetapi justru akan melahirkan beragam konflik. Di sini, Pancasila tetap tak bisa tergantikan.

Dalam beberapa tulisan yang disebar di mading-mading kampus, seperti misalnya tulisan bertajuk “Khilafah: untuk Indonesia Lebih Baik”, alam pemikiran bangsa ini diidentikkan persis dengan kisah satire klasik: orang yang kehilangan barang di tempat gelap, tetapi barang itu dicari di tempat terang dengan alasan di sana tak ada cahaya. Di tulisan tersebut, bangsa ini dianggap telah gagal mengelaborasi persoalan bangsanya sendiri. Sebabnya adalah solusi yang semestinya diambil tidak berkorelasi dengan persoalan yang sesungguhnya, salah satunya yang paling gencar diisukan adalah soal pergantian rezim, pemimpin, atau presiden. Akibatnya, bagi mereka, bangsa ini terus-terusan terpojok di labirin yang membingungkan. Tak tahu arah mana yang seharusnya ditempuh. Bangsa ini, katanya lagi, hanya mengulangi jalan yang sama untuk mendapatkan kegagalan berulang-ulang.

Memang, selama pergantian rezim di bangsa kita, tak pernah urung memperbaiki kualitas kehidupan Tanah Airnya sendiri, misalnya soal penegakan hukum. Maka itu, saya sepakat ketika di tulisan tersebut mengutarakan bahwa induk persoalan yang kita hadapi bukanlah sekadar siapa yang memimpin, melainkan apa yang diterapkan di dalamnya. Ya, gagasan seperti ini mesti harus didukung perealisasiannya. Hanya saja, ketika Khilafah Islamiyah serta Syariat Islam menjadi solusinya, tunggu dulu, perlu kita timbang-timbang kembali.

Sejauh yang saya baca, maaf jika keliru, konsep khilafah islamiyah itu hanya dijalankan setelah wafatnya Rasulullah, tepatnya di era dinasti-dinasti Islam seperti Umayah sampai Usmani. Bahkan, para sahabat beliau yang kita kenal dengan julukan “al-Khulafa ar-Rasyidun” sendiri pun, tak pernah mempraktekkannya. Jadi, mencontoh Rasulullah, nilai-nilai demokrasilah yang mesti kita tegakkan jika ingin benar-benar meneladani beliau. Piagam Madinah yang dicetuskannya, apa bedanya dengan konsep Pancasila? Di dalamnya, semua golongan memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga Negara.

 

Belajar dari Sejarah

Jika tetap bersikukuh mempertahankan konsep Khilafah Islamiyah sebagai konsep terbaik bagi suatu pemerintahan, berarti kita hendak melupakan kebobrokan-kebobrokan yang pernah lahir dari dinasti yang menggunakan konsep semacam ini. Sebagian besar “khalifah” dalam dinasti-dinasti masa lampau itu, sama sekali tidak pernah mencerminkan sosok khalifah yang memiliki tugas dan kewajiban mulia sebagai “pengatur” bumi. Apakah dengan bertindak secara otoriter, despotik, dan kejam bisa kita sebut sebagai seorang khalifah? Dan karena itu, apakah kita layak mencontohnya? Seperti juga dalam sejarah negara-negara kuno lainnya, pertumpahan darah selalu menandai peralihan kekuasaan dari satu dinasti ke dinasti lainnya, seperti juga dalam dinasti Islam. Jangan lupakan, pengalaman adalah guru terbaik bagi manusia.

Untuk lebih memperjelas kembali tentang ketidaksesuaian Khilafah Islamiyah menjadi konsep suatu Negara. Ada baiknya juga kita melihat pemberlakuan konsep seperti itu di negara-negara Islam hari ini, seperti misalnya Arab Saudi, Pakistan, Iran, Malaysia, juga Afganistan. Apa yang diberlakukannya, syariat Islam dan sistem pemerintahannya (khilafah), cenderung menafikan kebutuhan kehidupan masyarakatnya sendiri. Di Arab Saudi misalnya, entah sudah berubah atau tidak, tetapi yang jelas sejarah telah mencatatnya, alih-alih melahirkan kemaslahatan umat, keterpurukan, pembodohan, dan penjajahan bagi bangsanya sendiri justru paling marak terjadi: pendapatan per kapita per tahunnya, rata-rata angka melek hurufnya, dan yang memprihatinkan lagi adalah tentang emansipasi dan kesetaraan gender dalam realitas kehidupan masyarakatnya.

Kita tahu bahwa Arab Saudi adalah kerajaan yang dibangun melalui simbiosis antara otoritas politik dan agama. Kebijakan publiknya tidak pernah dilahirkan atas dasar komitmen dan kesepakatan sosial, melainkan dari internal keluarga kerajaan saja. Adapun bentuk kebijakannya, melulu berpedoman pada pendapat dan nasehat para ulama—ulama di sini dijadikan sebagai otoritas yang setara dengan kerajaan, meskipun tetap bersumber pada al-Quran dan al-Sunnah. Alhasil, kebijakan apapun bagi semua, mesti sesuai dengan tafsiran para ulama.

Jika konsep di atas diterapkan di Indonesia, diusung aktifis HTI, bukankah ini patut kita waspadai bahwa jangan sampai umat manusia mengalami Zaman Kegelapan (The Dark Age) kembali sebagaimana pernah dialami bangsa Eropa di Abad Pertengahan silam? Siapapun tentu tak akan menghendaki adanya semacam otoritas yang selalu melandaskan kebijakannya atas nama agama, Tuhan, untuk urusan-urusan duniawi—mungkin hanya segelintir orang, itupun karena faktor kepentingan (kekuasaan) Sehingga, benar atau salah, mesti tetap dianulir sebagai kebenaran mutlak karena dianggap bersumber dari Yang Maha Kuasa. “Kalian, wahai manusia, lebih tahu urusan-urusan duniawi,” begitu sabda Rasul.

Apa yang telah kita simak dalam kasus Arab Saudi, tak jauh beda dengan kasus-kasus di Negara-negara Islam lainnya. Di Pakistan, ulama-ulamanya menjadi otoritas tertinggi dalam Negara. Partisipasi masyarakatnya ditiadakan dengan menjadikan mereka hanya sebagai penerima, bukan untuk dilibat-sertakan dalam perumusan kebijakan publik melalui “persaingan” tentang apa yang baik untuk kemaslahatan. Begitupun di Pakistan, Iran, juga Afganistan. Para ulamanya memiliki posisi istimewa dalam politik. Kesemuanya memang berbeda secara konsep, tetapi subtansi dan orientasinya jelas mengarah pada sistem anti-kemaslahatan sekaligus anti-demokrasi sebagaimana diusung Rasulullah sendiri saat di Madinah dulu.

Sekali lagi, saya hanya hendak mengajak rekan-rekan semua, terutama para aktivis HTI untuk selalu belajar pada pengalaman yang sudah-sudah itu. Kita tentu tak mau jatuh pada lubang yang sama, bukan? Karena itu, siapapun yang nantinya bertekad mengusung sistem pemerintahan khilafah sebagai upaya menerapkan syariat Islam di era seperti sekarang ini, tentu patut kiranya kita terus belajar dari pengalaman kegagalan Negara-negara muslim yang pernah mengusungnya. Di samping itu, kita pun tak boleh menafikan konteks kehidupan atau realitas Indonesia sebagai dasar pijakan kita bersama. Hal ini patut guna mewujudkan kemaslahatan umat manusia, bangsa Indonesia, sebagai cita-cita luhur nan mulia.Bahwa sikap bijak dan realistis adalah lebih baik daripada memaksakan kehendak secara tradisional dan konservatif. Kedua sikap terakhir ini tidak akan pernah mengarahkan masyarakat menjadi lebih maslahat, sebagaimana kita saksikan dari pengalaman-pengalaman Negara-negara Islam sebelumnya.

 

*) Mahasiswa Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta