Home OPINI Media dan Konstruksi Realitas Keagamaan di Indonesia

Media dan Konstruksi Realitas Keagamaan di Indonesia

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh  Usman Hadi

Doc. Pribadi

Doc. Pribadi

Indonesia merupakan satu dari sekian negara yang memiliki karakteristik “keunikan” tersendiri. Keunikan Indonesia terletak pada pluralitas masyarakatnya. Pelbagai suku, ras, golongan, dan agama tumbuh subur di Indonesia, dan negara Indonesia sendiri dibentuk untuk mewadahi pelbagai keberagaman itu. Hal ini bisa dilihat dari semboyan negara Indonesia, yakni ke-bhineka-an. Tentu bukan perkara mudah menjaga hubungan yang harmonis antar masing-masing golongan, mengingat kondisi yang plural ini amat riskan terhadap konflik antar golongan itu sendiri.

Belajar dari Sejarah

Indonesia yang dalu bernama Nusantara sejak awal abad masehi telah ramai dikunjungi pelbagai bangsa asing dengan maksud untuk berdagang. Ramainya Nusantara ini ditunjang letak yang strategis di jalur perdagangan dunia. Bangsa yang mula-mula berinteraksi dengan Nusantara ketika itu yakni bangsa Tiongkok dan India, dan setelah itu menyusul bangsa-bangsa lain seperti Persia, Arab, dan Eropa.

Lewat interaksi antara masyarakat Nusantara dengan bangsa-bangsa asing itu, nyatanya juga turut mewarnai pola-pola budaya yang berkembang di masyarakat Nusantara. Selain itu, kalau kita tarik lebih jauh, agama dan pengetahuan baca tulis yang berkembang di Nusantara ketika itu juga diperoleh dari bangsa luar.

Berkembangnya agama dan budaya di Nusantara yang berasal dari bangsa luar pada dasarnya ditunjang oleh watak masyarakat Nusantara yang amat ramah terhadap bangsa asing, dan cenderung hormat. Ketika masyarakat Nusantara menganggap bahwa apa yang dibawa oleh bangsa asing itu baik, maka mereka tidak segan untuk mengikuti kebiasaan bangsa asing itu.

Tak ayal, dalam perjalanannya kemudian karena pelbagai bangsa asing silih berganti mewarnai kehidupan masyarakat Nusantara. Maka terbentuk pola-pola beragama dan budaya masyarakat yang pelbagai macam pula. Agama yang berkembang di Nusantara bukan hanya agama Islam (pengaruh dari Persia, Tiongkok, dan Arab), melainkan juga agama Hindu dan Budha (pengaruh dari Bangsa India dan Tiongkok), agama Kristen dan Protestan (sebagai imbas dari keberadaan bangsa Eropa yang bercokol di bumi Nusantara), ataupun pelbagai kepercayaan lokal yang telah ada pada abad sebelum masehi dan masih berkembang hingga kini.

Pelbagai keberagaman itu tentu tak bisa kita elak, dan itu merupakan realitas kongkrit yang ada sampai sekarang ini. Tentu menjadi teramat geli jika menilik bahwa ada sebagaian masyarakat kita – golongan dari kita, yang hendak memaksakan kepercayaan mereka terhadap golongan lain yang berbeda keyakinan.

Maraknya Konflik Bermotif Agama

Konflik bermotifkan agama di Indonesia hampir tiap tahun terjadi. Dan paska reformasi konflik bermotif agama cenderung meningkat. Menurut data yang dihimpun Wahid Institute, kekerasan dan intoleransi di Indonesia antara bulan Januari sampai Desember 2013 mencapai 245 kasus, yang mana 106 kasus melibatkan aktor negara dan 139 kasus didalangi aktor non negara. Dari data ini bisa disimpulkan bahwa kekerasan dan intoleransi menyoal keyakinan di Indonesia masih amat tinggi.

Kekerasan terhadap kaum minoritas di negeri ini banyak dialami oleh kaum Ahmadiyah, syi’ah, golongan agama minoritas, dan golongan kepercayaan lokal. Pelbagai kekerasan – intimidasi yang mereka perolah, sebenarnya bukan hanya didalangi oleh masyarakat saja, tapi pemerintah terkadang juga turut mengamini pelbagai tindakan masyarakat (intimidasi, kekerasana terhadap golongan minoritas) itu.

Tentu hal ini bertentangan dengan semboyan bangsa dan negara kita, yang “katanya” menjunjung tinggi ke-bhineka-an. Yang lebih menggelikan lagi, pemerintah seakan tak tegas, tak berdaya, dan malah cenderung menjadi provokator di balik pelbagai intimidasi yang dialami golongan minoritas itu. Tindakan pemerintah yang malah menjadi provokator seperti dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) pada tahun 2008 menyoal pembekuan pelbagai kegiatan keagamaan Ahmadiyah. Secara tidak langsung melalui SKB ini masyarakat seakan dibenarkan ketika mengusik, mengintimidasi, bahkan membunuh pengikut ajaran Ahmadiyah di Indonesia ini.

Di kasus yang lain juga mengalami hal serupa, sebutlah kasus Syi’ah di Indonesia. Jika menilik ajaran Syi’ah di Nusantara sebenarnya telah berkembang jauh-jauh hari, bahkan Syi’ah merupakan salah satu ajaran Islam yang pertama kali masuk dan berkembang di bumi Nusantara ini. Namun yang menggelikan, pemerintah – dan menteri agama khususnya, malah mengklaim bahwa ajaran Syi’ah merupakan ajaran sesat dalam Islam. Pen-cap-an  ini tentu turut meningkatkan gejolak di dalam masyarakat, dan banyak golongan Syi’ah di pelbagai daerah yang mengalami intimidasi, sebutlah kekerasan di Sampang dan Jember.

Peran Media

Kasus kekerasan dan intoleransi keagaman di Indonesia juga sering kali turut di kompori oleh pelbagai pemberitaan di media. Tak jarang media malah terjebak pada konflik sektarian antar golongan dan agama. Ataupun pelbagai pemberitaan di media yang malah mengecam salah satu kelompok di Indonesia.

Menyoal tentang media sebenarnya media memiliki andil yang sangat besar di dalam membentuk dan merekonstruksi pola fikir, dan membentuk realitas keagamaan di dalam masyarakat. Karena bisa dikatakan media merupakan salah satu produksi pengetahuan, dan lewat politik media bisa membentuk opini publik, sehingga sesuatu yang sebenarnya salah bisa menjadi benar, dan sesuatu yang benar bisa menjadi salah.

Menurut Michel Foucault realitas sosial masyarakat tenbentuk melalui agen kekuasaan dalam memproduksi wacana. Unsur terkecil dari wacana itu adalah kalimat, sedangkan wacana yang ditulisan berbentuk teks. Jika melihat itu maka peran media sangat jelas, karena media merupakan salah satu wadah dalam memproduksi wacana yang amat massif, sehingga andil media dalam merekontruksi realitas masyarakat sangat kuat.

Masih menurut Foucault, wacana yang diproduksi oleh media di dalam penempatan bahasa membentuk konsekuensi logis bahwasannya apa yang tulis media lewat bahasa itu tidak bisa terlepas dari produksi makna dari pembaca. Dalam artian antara apa yang ditulis dengan tafsir bahasa itu sendiri tidak bisa dipisahkan.

Bisa disimpulkan bahwa produksi pengetahuan dari media juga berimplikasi terhadap proses penghegemonian masyarakat. Penghegemonian ini terlihat dari proses terbentuknya realitas kongkrit yang ada di dalam masyarakat. Penghegemonian terkadang bisa diciptakan oleh agen-agen kekuasaan, tapi juga pelbagai pengetahun yang diproduksi oleh pelbagai lembaga, baik itu negara, organisasi, maupun media itu sendiri.

Melihat peran strategis media dalam merekonstruksi realitas keagamaan di masyarakat tentu menjadi ganjil jika menilik sekarang ini banyak terjadi tindak kekerasan dan intoleransi di Indonesia. Jika kita berkaca sekilas lewat pelbagai pemberitaan di media, sering kali dijumpai dan tak jarang media sendiri yang turut menyulut konflik. Hal ini bisa  terjadi karena lemahnya media di Indonesia, dan banyak media nasional di Indonesia yang dimiliki oleh para konglomerat yang juga memiliki kepentingan (konglomerat yang menjadi benalu di dalam pemerintahan). Tak ayal, pemberintaan-pemberitaan di media sering kali tak proporsional dan tak lagi memihak pada rakyat (secara menyeluruh), tapi memihak pada salah satu golongan.

Optimalkan Pers Kampus

Produksi pengetahuan di media yang tak jarang juga menyulut konflik terkadang juga didalangi oleh ketidaktahuan awak media itu soal isu-isu agama yang ia liput, maka yang terjadi si awak media itu hanya mementingkan pemberitaan yang “wah” tanpa memperhatikan efek dari pemberitaan yang dibuat. Meski politik media sangat menentukan arah pemberitaan media itu, tapi kalau awak media itu tak diberi pembekalan terhadap pengetahuan isu-isu seputar agama, maka yang terjadi pemberitaan yang ia buat bisa saja memihak – bahkan memicu konflik antar sektarian dan golongan.

Pembekalan terhadap awak media soal isu-isu keagamaan sudah seharusnya dan selayaknya diberikan sewaktu awak media itu masih berkutat di media kampus. Karena bisa dikatakan media kampus merupakan media mini yang mencerminkan wajah pers di Indonesia kelak. Pemahaman awak media kampus juga dapat menghindarkan subjektifitas awak media dalam meliput isu-isu keagamaan di Indonesia. Sehingga pemberintaan isu-isu seputar agama menjadi lebih objektif. Hal ini diharapkan mengingat kondisi kongkrit masyarakat Indonesia sangatlah plural, majmuk, dan sangat multikultural.

 

*) Penulis adalah Anggota LPM Arena

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta