Sebentar lagi kuliah libur. Sebagian dari kita akan mudik, kecuali yang ambil KKN-SP (Semester Pendek). Sebelum pulang, mari kita persiapkan bekal.
Setiap “pulang” adalah momen yang menyenangkan. Menyambutnya datang saja sudah tersenyum senang. Kita akan pulang, ke tempat di mana kita merasa menjadi diri sendiri. Kembali pada tanah kelahiran, tempat tumbuh dan besar menjadi seseorang. Tempat di mana kita menjadi dan diterima sebagai pribadi secara utuh. Begitu biasanya yang kurasakan.
Sebagian besar dari kita adalah anak rantau. Meninggalkan rumah demi suatu tujuan. Mungkin mencari pengalaman, pengetahuan, dan yang pasti belajar. Sehingga, pulang menjadi sesuatu yang benar-benar spesial. Setelah jenuh dengan kuliah, buku, diskusi dan beragam tetek-bengek kampus yang mekanis ini.
Di rumah nanti, tak kita dengar lagi istilah-istilah ilmiah dan intelek yang berat untuk diucapkan seperti di sini. Tak pula ditemui berjubel buku tertata rapi di rak perpustakaan. Juga mall besar ber-AC yang tinggi menjulang dan deretan ruko yang sesak seperti Malioboro.
Istilah intelek berganti dengan bahasa sederhana yang tak memperumit kehidupan. Diskusi dan seminar ilmiah berganti dengan obrolan ringan tentang peristiwa keseharian, Piala Dunia yang sudah di depan mata dan kisah masa kecil. Tak ada lagi mall dan kafe berkelas layaknya di sini. Berganti warung sederhana di pinggir jalan yang penuh lubang dan bergenang air hujan.
Bumi serasa dibalik. Dari rumah nanti, kita kian terang menyadari bahwa selama ini kita berada di tanah rantau. Tanah yang jauh dari rumah, jauh jarak dan perwajahannya. Dari sini, rasanya beragam teori besar macam revolusi, kapitalisme, neoliberalisme dan lain sebagianya yang kita santap dan diskusikan di kampus terkecap hambar, tak ditemui dalam kenyataan. Kalaupun ada, ia hanya fragmen-fragmen berserakan. Kesenjangan tampak terlampau besar, bahkan tak tersambungkan.
Lalu muncul asumsi-asumsi pesimis di benak kita. Bahwa segala teori yang terlampau besar itu hanya sebatas teori, cetak terang dalam buku tapi gelap pada kenyataan. Sekedar hafalan untuk memeperoleh nilai bagus sebagai pelajar dan indeks prestasi untuk garansi pekerjaan di masa depan.
Berdasarkan asumsi itu, lalu kita menjadi “alergi” dengan segala teori besar yang senantiasa jadi bahan diskusi di kampus. Karena wajah teori tak bisa jelas tergambar dalam kenyataan. Tak sejelas perilaku tetangga miskin kita yang menerima amplop dalam Pilpres. Atau perubahannya tak sekonkret pemilik warung makan sebelah yang bisa memberi pekerjaan untuk tiga pemuda pengangguran.
Jika seperti itu pikiran kita, alangkah bodoh dan ruginya kita ini sebagai pelajar yang jauh-jauh merantau.
“Kebodohan” tampak dari dangkalnya masing-masing kita memahami konstruksi teoretik dan menyambungkannya dengan keadaan. Tapi tak perlu berkecil hati dulu, rasanya ini telah menjadi fenomena maklum zaman sekarang. Di mana beragam istilah dan wacana diproduksi dan dikonsumsi secara massal dalam tempo kilat. Maka sebagai konsekuensi sebuah konsumsi massa, beragam istilah pelik macam: revolusi, kapitalisme, neoliberalisme dan lainnya menengalami pendangkalan makna dan kehilangan daya kritisnya secara teoretik.
Mentalitas banal ini telah mengemuka pada kondisi sekarang. Kita begitu bangga menggunakan bermacam istilah intelek tanpa faham benar konstruksi dasarnya. Ini sepertinya yang menjadi pangkal persoalan. Terlalu meyakini fragmen-fragmen pemahaman yang tak utuh. Pemahaman yang setengah ini kita jadikan pandangan dasar. Dan sialnya lagi pandangan ini dipaksakan untuk membaca keadaan. Maka, ketumpulan daripadanya terus membayang ketika hendak terjun pada keadaan. Pesimisme seolah tak terhindarkan.
Sering juga kita terjebak pada hal-hal yang bersifat permukaan. Padahal kedalaman pembacaan adalah hal yang penting untuk memahami sebuah kondisi dengan benar. Taruh kata istilah “kapitalis”, pemahaman untuk satu istilah ini saja kita perlu memahami beberapa istilah lain yang terkandung di dalamnya seperti; kepemilikan pribadi, alat produksi, kelas sosial, modal, buruh dan sebagainya. Tanpa menguasai bangunan elemen tersebut, pemahaman kita atas “kapitalis” akan banal. Padahal hampir setiap diskusi istilah tersebut terucap.
Kebanalan adalah hal yang tak kentara dan sering tak kita sadari pula. Itu teraba ketika pemahaman atas suatu teori hendak digunakan untuk membaca realitas. Mudah kata ketika teori hendak dibumikan. Pemahaman yang parsial akan sangat sulit menjelaskan keadaan. Belum lagi ketika hendak melakukan sebuah perubahan.
Sedangkan, tampaknya kita nyaman terjebak dalm kondisi ini. Merasa tak perlu membaca buku yang berisi macam teori dan sejarah peradaban. Berpendapat bahwa mendiskusikan persolan secara mendalam adalah hal yang membosankan dan menghabiskan waktu. Padahal pemahaman yang lebih komprehensif dimungkinkan muncul dari sana.
Sekarang kita lebih suka bicara tentang sesuatu yang update, booming, dan renyah. Saya tak tahu apakah itu apologi kita saja, untuk menghindari berpusing-pusing memahami keadaan dan mengulur nafas untuk diskusi. Kalaulah begitu, patut rasanya kita prihatin dengan kondisi kita sendiri.
Prihatin atas jauhnya jarak yang kita tempuh dari rumah hingga sini. Juga atas tingginya angan orang tua untuk sang anak yang diharapkan bisa memperbaiki nasib keluarga dan berbakti pada nusa-bangsa. Prihatin atas masyarakat kere-melarat yang harus membayar pajak-di mana pajak itu adalah sumber subsidi pendidikan kita. Dan yang paling utama tentu pada diri kita sendiri, yang membuang jarak dan waktu untuk menemu “kebodohan”.
Untungnya, terselip hikmah dari semua ini, setidaknya sebelum pulang, secara pribadi saya memperoleh pemahaman atas kebodohan yang masih melekat ini. Ah, namanya juga masih proses belajar bukan? Asalkan kita sadar bahwa masih bodoh dan terus belajar ya tidak jadi masalah.
Minimal sebelum pulang, mental dan pikiran telah kita persiapkan. Untuk melihat kenyataan di “rumah” yang telah cukup lama kita tinggal. Guna mengukur seberapa manjur institusi pendidikan bernama UIN ini memberi “bekal”.
Dalam perjalanan pulang, kita akan menemu fragmen keadaan yang berserakan. Kiranya kawan-kawan telah menyiapkan bingkai pengetahuan untuk merangkainya. Mari pulang kawan, mari merangkai puzzle dari kenyataan.
Jamaludin A.