Oleh Muhammad Qowim
Pendidikan bukanlah monopoli negara, bahkan semua warga yang melek pengetahuan semestinya turut terpanggil untuk mencerdaskan diri dan saudara-saudaranya. Jika semuanya bergerak sebagai ‘intelektual-organik’, mungkin kita akan bertemu dengan senyumnya Gramsci, karena masyarakat telah berhasil keluar dari hegemoni. Barangkali Alvin Toffler benar bahwa problem dunia pendidikan dewasa ini bukan masyarakat yang tidak terdidik (unlearn people), melainkan tantangan untuk terus mengedukasi mereka yang menggerakkan dunia (relearning people). Pendidikan justru mati pada saat seseorang sudah merasa ‘mumtas’ dan karenanya berhenti belajar kembali.
Saya cukup berbangga, munculnya beragam tanggapan atas tulisan saya berjudul ‘Pendidikan dalam Hasrat Postmodernism’. Dari judulnya, kata hasrat memang menunjukkan aksioma ‘idealisme’, namun bukan berarti lantas sepi dari unsur-unsur realisme seperti yang dimaksud oleh Saudara Taufiq. Saya tidak sedang berspekulasi, melainkan tengah berpeluh mengerahkan apa yang saya punya untuk sebijak mungkin menyikapi kebangkrutan modernisme pendidikan dunia (bukan hanya Indonesia). Saya membicarakan kebangkrutan modernisme bukan dalam genre Andre Gunder Frank, Immanuel Wallerstein, Samir Amin, Giovani Arrighi, Johan Galtung, dan para pemikir Neo-Marxis, utamanya aliran radikal. Namun lebih dekat pada Hopskin. Ijinkan saya mengawali pembahasan dengan istilah yang lebih netral, yaitu bagaimana modernisasi membentuk ‘sistem dunia’ (world system) terutama di bidang pendidikan.
Modernisme, mengikuti Weber, adalah rasionalisasi peran-peran sosial yang dalam dunia pendidikan, mulai terjadi ketika lembaga-lembaga pendidikan mulai mengambil alih tanggungjawab mendidik dari para ‘orang tua’. Sejarah sekolah yang tadinya cuman kegiatan untuk mengisi waktu kosong anak dipandu para pengasuh anak dari kasta tinggi (school dari latin “scola” atau “scolae” = “waktu luang”), mulai mengalami perkembangan dramatis yang disebut modernisasi. Modernisasi pertama terjadi di Mesir Kuno sekitar tahun 3000 hingga 500 sebelum Masehi (SM), disusul India sekitar tahun 1200 SM, dan kemudian China pada masa kekuasaan Dinasti Zhou (770-250 SM), sebelumnya diperkenalkan oleh kaum sofis di Yunani sekitar tahun 400 SM (Agus Wibowo, 2008). Di Yunani sendiri muncul tradisi pendidikan dewasa yang bernama “academia’ model Aristoteles yang cukup berbeda dengan pola sekolah.
Fase berikutnya dari modernisasi pendidikan adalah munculnya arena kompetisi antar lembaga-lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dalam tradisi masyarakat feodal, kasta tinggi banyak mempercayakan pendidikan di tangan para empu yang dianggap mumpuni. Sebagai misal, dunia Islam mulai mengenal tradisi ini sejak masuknya pengaruh persianisme pada masa periode dinasti umayyah, setelah sebelumnya Islam pada masa awal tidak mengenal pola relasi guru-murid karena Rosullah saw lebih memperkenalkan konsep sahabat kepada masyarakat madinah. Perebutan ini pernah juga menguat di India, China, dan Nusantara ketika terjadi persaingan terbuka antara para brahmana (Hindu) dengan kalangan pertapa (Budhis). Pendidikan saat itu, dianggap jalur menuju arena kompetisi yang terkadang semakin memanas seiring eskalasi politik aliran. Apapun hasil dari kompetisi sosial, yang layak masuk arena adalah kalangan terdidik.
Sejarah terus bergerak, dan dimulailah fase modernisasi yang muncul dari kebutuhan negara/kerajaan/dinasti untuk menjadikan lembaga pendidikan sebagai alat propaganda dan hegemoni negara. Dua polis di Yunani, yaitu Sparta dan Athena bisa dianggap sebagai pemrakarsa fase modernisasi ini. Sejarah Romawi dan Eropa di wilayah yang disebut oleh Hudson sebagai Kristendom, seperti halnya wilayah-wilayah lain di Asia dan Afrika yang oleh Hudson disebut sebagai Islamdom melanjutkan modernisasi ini. Anda bisa dengan mudah menemukan jejaknya pada sejarah perang dunia I dan II. Pasca perang dunia, gerakan massif yang menjadikan pendidikan sebagai alat propaganda dan hegemoni dunia diprakarsai oleh Amerika Serikat dengan diluncurkannya Marshall Plan. (Mungkin gerakan adopsi anak aborigin di Australia bisa juga disetarakan dengan ini). Rumusnya sederhana, daripada negara-negara adikuasa susah menaklukkan masyarakat pribumi, maka sekolahkan anak-anak pribumi di lembaga-lembaga negara penguasa, bahkan kalo perlu di negeri-negeri penguasa, sehingga mereka berpikir dan bernalar seperti masyarakat di negara penguasa. Pada akhirnya, masyarat pribumi sendiri tidak yakin atas sistem pendidikan mereka sendiri.
Fase termutakhir dari modernisasi pendidikan adalah proteksi negara pada pola-pola pendidikan tertentu (biasanya yang dianggap menjadi penyangga rezim dan konstitusi politik). Negara hadir secara sengaja memperkuat sistem pendidikan tertentu dan –baik sadar maupun tidak- akhirnya meminggirkan sistem pendidikan lain yang berkembang dalam masyarakat. Proteksi tersebut berlangsung dari hulu hingga hilir, dari awal proses sampai pengguna alumni-alumni. Kata ‘proteksi’ sengaja digunakan untuk menggambarkan bagaimana kemudian sistem pendidikan yang diproteksi disebut ‘pendidikan formal’ dan di luarnya disebut nonformal atau bahkan informal. Baik, anda masih bisa menunjukkan bahwa negara juga menyumbang pesantren, TBM, rumah singgah dan seabrek lembaga pendidikan nonforma dan informal (PNFI). Tapi lihatlah, negara tidak memberikan akses yang cukup fair bagi alumni-alumni untuk beradu. Yang ada hanyalah arena yang tidak pernah datar, pertarungan yang tidak pernah simetris. Ilustrasi ini bukan untuk membatasi persoalan pada pengakuan output, mengingat kasus serupa bisa dipertanyakan, bisakah ustad kiyahi pesantren, fasilitator TBM, pengelola PKBM disertifikasi seperti halnya dosen dan guru. Terus terang, sampai saat ini, jika diminta merekrut guru, saya lebih percaya pada alumni pesantren kami daripada alumni jurusan PAI, PBA, PGMI. Tapi maaf, pesantren kami tidak punya sertifikat seperti alumni kampus. Dengan begitu, proteksi tersebut merupakan bentuk mutakhir dari modernisasi pendidikan. Polanya bisa beragam, misalnya atas nama standar nasional pendidikan, sertifikasi, akreditasi dan lain sebagainya.
Modernisasi pendidikan telah berlangsung dari satu fase ke fase berikutnya. Tidak selalu urut memang, sehingga dalam potret hari ini, fase-fase modernisasi pendidikan bisa ditampilkan sebagai kategori-kategori yang tidak harus bersifat periodik berdasarkan kronologi sejarah. Toh, dari masing-masing fase di atas dapat kita temukan bentuknya hingga kini. Konsekuensinya, modernisme pendidikan (yang hemat saya merupakan nalar, kesadaran dan cara pikir yang mengimani modernisasi pendidikan sebagai satu-satunya jalan mencerdaskan peradaban) dengan demikian telah menggeser tanggungjawab pendidikan dari para orang tua kepada lembaga-lembaga pendidikan. Pada fase berikutnya, tanggungjawab itu seringkali diajak selingkuh oleh kekuatan kapital (driven by market) karena terciptanya arena kompetisi. Pada fase berikutnya, tanggungjawab tersebut malah ‘driven by state’. Khalayak sering mengkritik modernisasi pendidikan driven by market sebagai ‘kapitalisasi pendidikan’ dan menuding modernisasi pendidikan driven by state sebagai bentuk lain komunisme dan fasisme. Dalam hemat saya, masyarakat (people) harus mampu berdaulat memerdekakan pendidikan mereka dan tidak membiarkan diri mereka driven by market ataupun by state. Dan untuk mewujudkan itu, masyarakat perlu keluar dari cara pandang modernisme dan menemukan sejuta alternasi (pertukaran) pada kesadaran postmodernisme untuk mengeksplorasi kekayaan budaya dan komunitas mereka. Lebih dari itu, postmodernisme akan mengantar masyarakat menjadi masyarakat terbuka (open society) dalam pengertian Popperian, kendatipun di satu waktu, sistem dunia menggiring pada tatanan dunia datar (the flat world) yang diimajinasikan Tom Friedman, dan pada waktu berikutnya menjadi tatanan dunia melengkung (the curved world) seperti kata David M.Smick.
Nalar modernisme selalu memperkuat diri dengan instrumen-instrumen yang terukur dan bisa diverifikasi (Veryfiable). Namun mengikuti Karl R. Popper, modernisasi beginian hanya benar dalam benak dan logikanya, berani diverifikasi namun tidak berani dikelirukan (difalsifikasi). Kalo anda punya niatan Jokowi ataukah Prabowo sebagai presiden, tentu saja anda punya cara dan nalar untuk membenarkan pilihan anda. Namun siapkah, pilihan anda tersebut dikelirukan dengan ‘kampanye negatif’. Kurang lebih seperti itulah ilustrasi yang mungkin bisa saya kemukakan. Untuk mengatakan bahwa pendidikan yang bermutu memang memerlukan standar, lalu disusunlah SNP. Pertanyaannya, apakah tanpa SNP pendidikan lantas jadi ga bermutu? Untuk menunjukkan standar penilaian diperlukan ujian terstandar, maka digelarlah Ujian Nasional (UN). Mari kita tanyakan, apakah benar standar penilaian hanya bisa dipenuhi melalui UN yang kelewat mahal tersebut?
Masih mengikuti Karl.R.Popper dalam bukunya “Open Society and Its Enemies” (1969), nalar modernisme macam begini, apalagi sudah sampai pada proteksi akut, justru akan menghancurkan sendi-sendi ‘masyarakat terbuka’ (open society). Jika dalam masyarakat terdapat beragam sistem, pola dan lembaga pendidikan, maka hemat saya, tugas negara adalah hadir untuk membantu mereka, bukan memproteksi salah satunya lalu meminggirkan sisanya. Jika nalar modernisme berkata untuk pintar, anak harus sekolah, maka dengan posmodernisme saya katakan, anak saya bisa saya pintar di sekolah, di pesantren, di padepokan, sanggar, taman bacaan bahkan di sosial-media. Selalu ada beragam alternatif dalam tradisi postmodernisme. Justru dengan memproteksi sekolah/madrasah, kita tengah membatasi partisipasi publik dan membuka akses yang tidak pernah simetris bagi semua pecinta pendidikan. Di mata saya, proteksi semacam ini adalah bentuk lain dari otoritarianisme yang menurut Popper mudah sekali ditemukan pada komunisme dan fasisme, tepatnya, ancaman bagi “masyarakat terbuka”.
Dengan menentang proteksi bukan berarti lantas kita menghalalkan ‘kapitalisme pendidikan’. Sebaliknya, ‘kapitalisme pendidikan’ hemat saya merupakan varian lain dari modernisme pendidikan yang bagi saya juga mengancam masyarakat terbuka. Dalam paparan di atas, kapitalisasi pendidikan banyak terjadi pada fase kedua modernisasi pendidikan karena terciptanya arena kompetisi. Sistem masyarakat terbuka itu bersifat menggairahkan, menstimulasi, inovatif dan cenderung mengarah kepada kondisi yang lebih makmur, sementara kapitalisme pendidikan justru akan melahirkan persoalan yang justru membahayakan keutuhan masyarakat terbuka. Jika tokoh postmodernisme seperti Foucoult mengatakan bahwa “Knowledge is Power”, maka kaum postmodernisme tidak ingin memanipulasi menjadi “Certificate is Power” karena bisa jadi dari sinilah kapitalisasi terhadap “added-value” terjadi. Namun untuk menegakkan “Knowledge is Power” ada baiknya kita buka arena yang simetris dan terbuka bagi segala sistem pendidikan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. See, terdapat perbedaan serius antara ‘emoh-modern’ dengan ‘anti-modern’.
*****
Klaten, 6 Juni 2014
*) Makasih atas masukannya. Lain kali kita bahas postmodernisme dalam nalar tasawuf. Rujukan utama al-Hikam karya Ibn Atho’Illah dan Misykatul Anwar karya Al-Ghozali.