Home - Karya Seni Rupa Gambaran Perpolitikan Indonesia

Karya Seni Rupa Gambaran Perpolitikan Indonesia

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email
Lukisan buaya yang menggamparkan revolusi Indonesia yang dibayar dengan nyawa.

Lukisan buaya yang menggambarkan revolusi Indonesia.

 

 

lpmarena.com, Dari luar pagar sebelum masuk pintu Taman Budaya Yogyakrta (TBY), tempak boneka-boneka berjajar di depan istana negara. Boneka-boneka itu dinamai Goni Kabinet yang merupakan satir dari wakil rakyat yang menduduki kabinet. Karya Samsul Arifin, dengan tema “Kabinet Goni” ini salah satu hasil kesenian yang dipamerkan dalam “Art Jog 14” bertema Legacies of Power yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan setahun sekali, Minggu (08/06).

Legacies of Power kali ini lebih banyak mengilustrasikan persoalan politik. Karena tahun 2014 merupakan tahun politik di mana rakyat harus memilih pemimpin baru mereka. Demokrasi merupakan pilihan yang harus diprioritaskan untuk dipahami semua kalangan, baik secara sosial maupun ekonomi. “Demokrasi harus dikawal untuk perubahan” sebagaimana ARENA kutip dari pernyataan Bambang Toko Witjaksono, selalu kurator “Art Jog 14”.

Agung “pekik” hanafi, memberikan gambaran dalam karyanya di bidang politik. Menurutnya kegiatan politik 5 tahun sekali hanya merupakan sebuah ritualitas semata tidak ada indikasi apapun, hingga dalam lukisanya ia berkisah tentang perkembangan gedung-gedung yang mencakar ke langit, yang di dalamnya berisi orang-orang pribumi yang menjadi budak. “Pemimpin kita merasa sok suci, sok berisi, padahal di antara mereka tidak ada bedanya, yang membedakan warna bajunya”. Sebagaimana diterangkan di samping lukisanya.

Heri Dono dalam karyanya “Riding the Tigerish Goat” tidak menggambarkan tahun 2014 sebagai tahun politik. Ia mengisahkan politik pada masa Orde Baru. Dalam lukisannya ia menggambarkan sosok pemimpin yang diktator yang sedang menunggangi kamping menyerupai seekor harimau.

Orde Baru memang sejarah yang tercekal oleh jeratan kapitalisme hingga sejarah diri manusia terlupakan, sebagimana di ilustariskan oleh Titarubi dengan judul lukisanya “History repeat its self”. Ia mengutip dari buku Das Kapital yang dikarang oleh Karl Marx “sejarah mengulang dirinya sendiri, pertama sebagai tragedi, berikutnya sebagai banyolan”.

Sebuah lukisan menggambarkan seekor buaya yang memanjang dengan lidah merah terjulur. Dan di hadapan buaya terdapat banyak orang membawa senjata tajam. Lukisan itu mengambarkan sejarah revolusi Indonesia yang ditebus dengan nyawa. Akan tetapi sejarah paska kemerdekaan berkata lain, kapitalisme mencabik-cabik hingga menjarah kekayaan tanah air. Teriak para rakyat dengan senjata tajam “wahai penerus bangsa kembalikan martabat bangsa, daulat negara dan hentikan penjarahan kapitalisme asing “. Terangnya dalam sebuah lukisan yang di sertai dengan teks.

Gencarnya kapitalisme membuat orang bisu dan palsu hingga menjadi penipu dengan adanya gambar-gambar yang bergelantungan hingga membuat gerah dan sesak. Itulah kota jogja gambaran saat ini, sebagaimana diceritakan oleh Arwin Hidayat. “Aelamat tinggal koalisi kemunafikan, karana kesenianlah yang akan menyelamatkan jiwa dan jogja,” ungkapnya saat ditemui di Gelantungan Gedung Taman budaya Yogyakarta  dengan tema lukisanya “warisan kota hantu”. (M Faksi Fahlevi)

 

Editor : Ulfatul Fikriyah