Home OPINI Karena Republik ini Tidak untuk Kita Saja

Karena Republik ini Tidak untuk Kita Saja

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh Jumardi Putra

jumardi

“Civilizations die from suicide, not by murder”. (Arnold J. Toynbee)

Di negeri ini, praktik-praktik politik bagai kerumunan orang-orang di pasar. Transaksi antar partai maupunelit politik diwarnai “kegaduhan”. Para caleg maupun kandidat presiden-wakil terperangkap dalam sangkar virtual. Di ruang terbuka, slogan, jargon, dan janji-janji“serumpun padi” menjelma “tebaran ilalang”.

Pada saat yang sama, di tengah-tengah kesengsaraan kaum miskin, di puncak piramida kita melihat banyak pula yang hidup dalam kebahagiaan tanpa batas. Turbulensikejiwaan keluarga miskin sekedar komiditi di televisi-televisi dan acara berbungkus sosial. Bahkan, mitos desentralisasi-antitesa sentralisasi yang diyakini mempercepat dan memeratakan kesejahteraan, justru melahirkan raja-raja baru yang berperilaku bak orde baru.

Sejurus hal itu, korupsi di daerah terus merajalela. Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, sejak tahun 2004 sampai Februari 2013, sudah ada 291 kepala daerah, baik Gubernur/Bupati/Wali Kota terjerat kasus korupsi. Selain kepala daerah, angka korupsi juga merangkak naik di kalangan politisi di DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Adapun anggota DPRD Kabupaten/Kota tercatat sebanyak 431 orang dan DPRD Provinsi terhitung 2.545 orang. Tentu jumlah di atas diprediksi terus membengkak di tahun-tahun mendatang.

Mengamatikeadaan itu, mengingatkan saya pada ucapan filusuf, penyair dan sejarawan Johann Christoph Friedrich von Schiller: “Eine Grosse Epochas Jahrhundert geboren, Aber der grosse moment findet ein kleines Geschlecht” (Abadnya abad besar yang melahirkan zaman besar, tetapi momen sebesar ini hanya mendapatkan manusia kerdil).

Sementara negara lain, yang notabene mendapat kemerdekaan (de jure) semasa atau setelah Indonesia, justru berhasil keluar dari kemelut keterbelakangan, baik secara ekonomi maupun pendidikan. Tak berlebihan, bila cendekiawan Komarudin Hidayat mengibaratkan negeri ini bagai pasien rumah sakit: “Di saat negara-negara tetangga sudah keluar menjalani rawat jalan, bahkan sebagian sudah sembuh dari “wabah krisis ekonomi” tetapi kita masih telentang di ruang ICU atau Unit Gawat Darurat”.

Mungkin pengibaratan di atas terlalu tajam, tetapi begitulah keadaan paska reformasi di republik ini. Tak heran, betapa pun kalkulasi ekonomi yang disampaikan oleh pemerintah, seperti pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, dan investasi, mengalami perbaikan, tetapi pelaku usaha kecil dan masyarakat sipil umumnya merasa tidak merasakan langsung dampaknya.

Oleh sebab itu, Pemilu (Pemilihan Umum) Presiden 2014 yang sudah di depan mata memunculkan pertanyaan. Akankah kita sebagai bangsa punya kemampuan belajar terhadap pelbagai kegagalan pemerintahan sebelum ini? Jika Pemilu kali ini tidak membuahkan kepemimpinan yang jujur, solid, dan hebat,tentu pekerjaan rumah yang sangat berat itu, sulit dipikul lagi.

Dalam keadaan itu, tentu kita semua berharap Pemilu 2014 berhasil menampilkan kepemimpinan nasional, sebagaimana digambarkan Mohammad Sobari berikut ini: “Pemimpin yang bisa membangun kepercayaan seluruh rakyatnya, bahwa Indonesiaku bukan hanya milikku, melainkan juga Indonesiamu, milikmu. Indonesiaku pelan-pelan kita dirikan di atas impian-impian dan aspirasi kultural yang sangat beragam, penuh variasi, penuh nuansa, dan membuat kita kaya, bagaikan taman bunga yang semarak dan harum dalam benak dan alam ideal kita” (Indonesiaku, Kompas, Mei 2006).

Sejurus hal itu, rakyat sendiri harus mampu menunjukkan dirinya sebagai masyarakatyang tidak silauatau gampang terpukau oleh retorika politik sebagian kaum politisi yang hanya memperdagangkan janji-janji kosong. Kenapa hal itu menjadi penting?Agar partisipasi rakyat tidak hanya menjadi hitungan statistik lembaga survei maupun penyelenggara Pemilu. Pendeknya, kita tidak mau, suara rakyat, untuk lima tahun periode kekuasaan, digunakanpara elit yang hanya mementingkan diri dan kelompoknya.

Dengan demikian, relevan kita merujuk ajakan reflektif  budayawan Radhar Panca Dahana (Kompas, Desember 2013) berikut ini: “Wahai saudara-saudara pemegang kuasa dan kebijakan, jadilah juga penguasa kebajikan, jadi tuntunan dan acuan, jadi otoritas yang membanggakan, di mana pundak Anda sudah kami perkuat dengan seluruh sumber daya yang kami miliki, agar kami bisa bersandar saat kami butuh bimbingan dan semangat. Dan, di situlah saatnya kita bersama. Bekerja sama, tidak untuk kita saja, tapi juga untuk anak, cucu, buyut yang lahir dari rahim kebangsaan kita.

 

Jambi, Mei 2014.