Home - Demokrasi Tanpa Kesejahteraan : Menyoal Demokrasi Kita

Demokrasi Tanpa Kesejahteraan : Menyoal Demokrasi Kita

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh Arjuna Putra Aldino

Sasaran demokrasi adalah “Kedaulatan Rakyat”.Dimana rakyat di dalam kehidupan sehari-hari dapat memenuhi hak-haknya. Bukan sekedar hak politiknya saja. Namun hak-hak ekonomi dan sosialnya seperti mendapatkan akses pangan, sandang, dan papan yang cukup serta mendapatkan jaminan sosial yang layak sehingga harkat hidup rakyat terangkat dan beradab. Artinya demokrasi sebagai mekanisme politik diharapkan mampu menghasilkan kebijakan yang dapat menciptakan tata kehidupan yang adil dan makmur. Namun jika kita melihat realitas politik yang ada saat ini, demokrasi tak berefek besar bagi penghidupan rakyat. Rakyat telah menggunakan hak politiknya setiap 5 tahun sekali, namun kehidupannya tak ada perubahan yang berarti. Penyebabnya adalah praktek demokrasi yang diselewengkan oleh penguasa melalui relasi politik dan modal.

Artinya berjalannya proses demokrasi sangat dipengaruhi oleh perkembangan struktur ekonomi. Pasca Orde Baru Indonesia mengalami liberalisasi ekonomi yang berorientasi padapasar bebas dan liberalisasi politik. Dimana sebagian besar kondisi sosial dan ekonomi dianggap sebagai wilayah privat yang lepas dari intervensi negara. Sehingga di dalam wilayah ekonomi, peran modal swasta semakin besar. Baik modal multinasional maupun modal domestik.

Konsekuensi logis dari implementasi liberalisasi ekonomi atau pasar bebas, yakni semakin kuatnya aroma kompetisi di antara kelompok-kelompok bisnis. Mereka harus saling bersaing untuk memperoleh sumber daya ekonomi. Begitu juga yang terjadi di aras politik, sebagai konsekuensi dari liberalisasi politik. Maka mulai muncul sistem multi-partai, yang menjadi penanda kekuatan politik, tidak lagi tunggal dan hegemonik layaknya di era Orde Baru.Perubahan struktur ekonomi dan politik pasca Orde Baru tersebut mengakibatkan pola relasi politik dan modal yang berprinsip pada simbiosis mutualisme.

Kekuatan bisnis memiliki sumberdana, sedangkan kekuatan politik memiliki otoritas dan akses pada kebijakan. Dengan kata lain, terciptalah hubungan timbal balik antara kekuatanpolitik dengan kekuatanekonomi, dimana kekuatan-kekuatan politik membutuhkan uang untuk merebut dan mempertahankan kekuasaannya sedangkan kekuatan ekonomi (pemilik modal) membutuhkan kekuatan politik untuk memperlancar akumulasi modal mereka. Sehingga terjalin “persekutuan” antara sistem politik (demokrasi) dengan sistem ekonomi (kapitalisme). Kekuasaan politik erat kaitannya dengan hubungan produksi, ia dapat menjadi alat untuk mempertahankan atau mengubah hubungan produksi.

Akibat dari hubungan struktural ini, sistem demokrasi tereduksi menjadi “pasar loak”. Demokrasi sekedar menjadi arena bagi aktualisasi para elite melakukan pesta politik transaksional. Demokrasi kita tunduk pada rasio instrumental, yaitu cara berpikir jangka pendek yang hanya berorientasi pada kekuasaan dan sikap-sikap pragmatis semata. Partai politik sebagai basis demokrasi lebih berfokus pada konsolidasi kekuatan finansial sebagai kapital utama meraih kekuasaan politik, dan mengabaikan fungsi utamanya untuk memperjuangkan aspirasi rakyat. Dalam proses demokrasi yang demikian kebijakan pemerintah tidak lagi ditentukan atas dasar aspirasi rakyat melainkan oleh elite-elite tertentu yang mempunyai “mobilitas modal” cukup kuat. Kebijakan pemerintah cenderung menguntungkan kelompok bisnis tertentu seperti monopoli sumber daya ekonomi, kontrak dan konsesi dalam proyek-proyek pembangunan. Dalam titik ini demokrasi tak lagi mampu menghasilkan “Kedaulatan Rakyat”, melainkan “Kedaulatan Modal”.

 

Doc. Pribadi

Doc. Pribadi

*) Penulis adalah mahasiswa semester VIII jurusan Teknologi Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta, dan juga aktivis GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) Yogyakarta.