Judul : Debu, Duka, Dsb. Sebuah Pertimbangan Anti-Theodise
Penulis : Goenawan Mohamad
Penerbit : TEMPO & PT Grafiti
Tahun terbit : 2011
Tebal : 142 halaman
Peresensi : Hilman Firdaus*)
Pertanyaan tentang keadilan Tuhan memang pertanyaan yang sarat kontroversial, sebagaimana pertanyaan tentang Tuhan itu sendiri. Kaum agamawan berkeras bahwa Tuhan itu Mahaadil, karena sifat tidak adil menunjukkan keterbatasan.Sementara Tuhan itu tidak tejangkau oleh batasan. Mereka yang berusaha merasionalkan Tuhan mencoba menggugat dengan menyatakan bahwa Tuhan tidak adil mengingat begitu banyak malapetaka dan bencana yang terjadi di muka bumi ini.
Tetapi Dia sendiri telah menegaskan dalam firman-Nya: Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan, tetapi mereka lah yang akan ditanya (Al-Anbiya [21]: 23).
Rupanya, ada yang tidak puas dengan penegasan ini. Melalui bukunya yang berjudul Debu, Duka, Dsb: Sebuah Pertimbangan Antitehodise, Goenawan Mohamad (GM) menjelajahi berbagai fenomena dan berbagai literatur sebagai bahan perenungan tentang keadilan Tuhan.
Istilah theodise mulai diperkenalkan Leibniz dalam esainya yang berjudul Essais de Theodice. Istilah ini berasal dari kata “theos” dan “dike” yang berarti “Tuhan” dan “Kebenaran”. Melalui bukunya ini GM berusaha untuk merumuskan pemahamannya tentang paham antikeadilan Tuhan. Tetapi bagi saya, apa yang dimaksudkan GM tentang theodise ini bukan semata-mata menolak sifat Mahaadil Tuhan; theodise dari sudut pandang saya berdasarkan pemaparan GM adalah sifat untuk tidak mengatakan “semua baik” saat segala sesuatunya “berjalan tidak baik.”
Penulisan buku ini sendiri dilatarbelakangi oleh tragedi gempa dan tsunami Aceh pada akhir tahun 2004. Tragedi kemanusiaan yang menggunacang setiap orang itu membawa kita pada pertanyaan: Kenapa semua ini harus terjadi?
Pertentangan pun terjadi. GM menyajikan pendapat Al-Ghazali dan golongan Ash’ariah yang menyatakan bahwa manusia tidak bisa menilai tindakan Tuhan. Iradah-Nya tidak bisa ditaruh pada skala rasionalitas. Bagi mereka, Tuhan sepenuhnya tak ditentukan oleh ketentuan apapun: Ia bebas untuk menghukum orang tak bersalah dan mengabaikan apa yang sesuai bagi kemaslahatan manusia. Lalu, Leibniz menghubungkan rahmat-Nya dengan dunia yang berabad-abad dirundung sengsara melalui sebuah aksioma: “Asas tentang Alasan yang Cukup”. Bila ada durjana dan aniaya, malapetaka dan kepedihan, itu tentu berdasarkan alasan Tuhan yang cukup. Maka, Tuhan dalam pengertian Leibniz adalah Tuhan yang tak putus-putusnya dimaafkan.
Aksioma Leibniz diserang oleh Voltaire melalui satire Candide. Candide memandang optimism sebagai mania untuk mengatakan bahwa semua beres ketika sebenarnya kita berada di neraka. Camus menambahkan: kita tidak bisa membantah bahwa yang keji hadir di atas bumi. “Manusia mati. Dan mereka tidak berbahagia,” tulis Camus dalam lakon Caligula.
GM kemudian mengalihkan pertentangan sengit itu kepada persoalan nasib dan harapan. “Nasib,” kata GM, “adalah penjelasan yang senantiasa terlambat. Kita baru dapat menyimpulkannya setelah perjalanan selesai. Hidup mungkin merupakan berkah, mungkin pula sebuah hukuman, tapi keputusan penilaian kita tentang itu mustahil dapat didasarkan hanya dari satu dan dua kali bencana atau dari satu dan dua generasi yang berbahagia. Tapi kiranya benar: nasib selalu dapat diatasi dengan menistanya.”
GM kemudian menyajikan mitos Sisyphus dan kisah pahit Sri Ambar. Sisyphus menjalani hukuman menjadi pengangkut batu dari kaki ke puncak gunung. Tetapi, begitu sampai di puncak gunung, batu itu kembali menggelinding ke kaki gunung dan Sisyphus harus mengangkutnya kembali. Sementara Sri Ambar dianiaya atas nama stabilitas negara: raganya disiksa, anaknya diculik, ibunya yang sudah renta diintimidasi. Tetapi, baik Sisyphus maupun Sri Ambar, keduanya tak kunjung hancur meskipun nasib memperlakukan mereka dengan semena-mena. Menurut Camus, “yang mewujudkan siksaannya pada saat yang sama justu memberi mahkota bagi kemenangannya”.
“Manusia,” kata GM, “adalah sesuatu yang bangkit dalam laku, dan mengubah laku itu menjadi perbuatan.” Maka kemudian pembahasan dalam buku ini pun menyasar wilayah eksistensi manusia dan Tuhan, lalu hubungan keduanya. Keadilan kembali disinggung ketika GM menyajikan legenda Athena yang membantu Orestes lolos dari hukuman mati para dewi penegak keadilan. Orestes dibebaskan demi menghentikan siklus kekerasan tiga generasi. Dendam tidak bisa disimpan sepanjang tujuh turunan. Hukum ditegakkan untuk meringkasnya.
Menurut Derrida, “orang tidak dapat mengatakan dengan langsung tentang keadilan, tak dapat merumuskan dan mengatakan ‘ini adil’ atau ‘aku adil’ tanpa seketika itu juga mengkhianati keadilan.” Keadilan bukanlah tesis, tetapi sebuah pertanyaan. Keadilan dirumuskan tiap kali sebagai respon terhadap ketidakadilan di suatu tempat, di suatu waktu. Dengan kata lain, keadilan didorong dan juga diacu dari pengalaman hidup yang berubah-ubah.
GM sendiri menyatakan bahwa theodise lahir disebabkan oleh gambaran tentang Tuhan yang terus menerus terdiri atas anomali. Keadilan kemudian dianggap sebagai “sesuatu yang-masih-belum” (istilah Derrida), sebuah kelak yang tak jelas. Hal ini ditegaskan oleh konsep Tuhan dalam filsafat Levinas: “Tuhan bukanlah ditandai dengan kehadiran, melainkan justru ketidakhadiran semua penanda.” Ia tak bisa disebut, Ia tak bisa dijebak dalam nama, Ia adalah ketakterhinggaan yang membentuk “hubungan tanpa hubungan”.
Levinas ingin berbicara tentang agama yang tanpa janji, tanpa penghiburan. “Iman tanpa theodise,” katanya. Dengan kata lain, tanpa Tuhan yang digambarkan selamanya adil dan memberikan yang terbaik bagi manusia, manusia tetap ingin menjadi saksi dari kebaikan dan keadilan.
Buku GM mungkin berhenti sampai di sini, tetapi saya yakin pergulatan GM—dan juga kita—tentang keadilan masih akan terus berlanjut. Hal ini tidak terlepas dari keadilan itu sendiri sebagai “sesuatu yang-masih-belum”. Dan juga manusia yang tak pernah puas akan sebuah jawaban. Pencarian akan makna keadilan akan terus berlanjut sampai “kelak yang tak jelas”.
Bagi para akademisi dan pembaca kritis, buku ini sangat layak untuk dibaca dan diperdebatkan. Tema sentral tentang keadilan adalah tema yang tak akan habis untuk digali, baik dalam hubungan manusia dengan Tuhan, maupun dalam hubungan sesama manusia itu sendiri. Terlebih di masa demokrasi yang carut marut ini, di mana keadilan barang langka yang teramat sulit untuk diperoleh.
Pemilihan kata yang digunakan GM membuat saya terpukau—kita semua tahu GM adalah seorang penyair. Kata-katanya menusuk tetapi juga hidup. Mengangkasa tetapi mempesona. Di beberapa bagian saya menemukan beberapa aforisme yang padat tetapi begitu kaya makna. Sebagai seorang penyair tampaknya GM paham betul bagaimana menggunakan kata untuk menyihir pembaca.
Apa yang patut ditiru dari GM pada buku ini adalah kerendahhatiannya untuk tidak mengklaim kebenaran sendiri. Di setiap bagian buku akan ditemukan berbagai referensi yang sengaja dikutip untuk memperkuat pendapatnya, mulai dari filsafat, ilmu kalam, sosiologi, psikologi, linguistik, sejarah, sastra, dan bahkan literatur asli Jawa. Berlimpahnya referensi ini menunjukkan bahwa seorang penulis sekaliber GM sekalipun membutuhkan pembacaan sebelum menghasilkan sebuah gagasan. Akhir buku ini pun sengaja dibuat menggantung. Mungkin GM tidak ingin memaksakan satu kesimpulan, mungkin GM menginginkan sebuah penafsiran: sebuah teks yang “belum selesai” akan membuat kita terus mencari tanpa pernah berhenti.
Dengan demikian, keadilan tak akan pernah usai.
*) Penulis adalah mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta