Home - Koin, Warna, dan Bahasa

Koin, Warna, dan Bahasa

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh Indria Hartika*)

 

Dunia jasad dan dunia roh hanyalah dua dari sisi koin yang sama . Jasad menyibukan diri melewati lorong – lorong sempit dan memungut sampah demi bertahan . Tak ubahnya tumpukan – tumpukan persoalan membuat jasad goyah dan berbeda halauan. Sementara dunia roh yang sakral menjadi permulaan dan tujuan dari sebuah kesatuan. Aku terus berjalan, terlihat asbak melayang, pohon sekarat, peluru ditembakan keudara.

Dan kini warna – warna dari segala lukisan tumpah ruah membanjiri kota. Hanya satu perseribu orang yang bisa terhindar cipratan, ada yang berlari menuju selokan, naik pohon, masuk mobil, teriak, menangis. Bayi – bayi meringkuk dibawah ketiak ibunya. “Warna jahanam, keparat, bajingan!”, seru pelacur yang langganannya kabur.

Sekarang kota sudah penuh dengan warna, hanya satu sudut kota yang berwarna kelabu. Awan diatasnya mendung tapi menyayangkan hujan turun. Angin malu untuk bertiup bahkan hewan seperti semut, kecoa dan serangga dekil lainnya sungkan untuk lewat. Aku tak mengerti kenapa warna kelabu hanya berkumpul disitu ?

Usut punya usut dulunya itu adalah bangunan stasiun kereta api. Banyak jasad berkepala anjing, serigala, buaya, beruang, monyet, tikus saling berpasangan disana. Ada yang menunggu dan ditunggu. Saling rindu – merindu. Lantas kenapa warnanya kelabu ?

Orang menunggu dan ditunggu sama – sama cemas, dan menyimpan juru doa yang sama. Ada yang ditunggu dan ada yang menunggu sebuah pasangan atau sebab – akibat kesatuan. Yang jelas keduanya sudah berpasangan sejak semesta melahirkan pemikir alam. Itu menjadikan warna kelabu, sebuah tempat yang memiliki ketetapan alam yang sangat kuat. Menunggu dan ditunggu, seperangkat yang tak terpisahkan.

Aku beringsut cemas. Penasaran, rasanya campur aduk. Ditembok jalan aku melihat sebuah jasad menempel dengan warna tak karuan. Perpaduan warna yang gelap dipunggung nyaris seperti lukisan abstrak yang menggambarkan kekacauan sosial. Saat aku akan bertanya, dia mengucap mantra :

                Aku membacakan ajiku sibelut putih

                Melancar lekas

               Galir gelegur

              Merojol – rojol atas iradat Tuhan

              Seyampang terlenggang

              Terlenggang

              Terlenggang

             Terlenggang

            Terbuka terang

            Sekonyong – konyong

Setelah mantra itu dibacakan kepalaku pusing tak karuan, kupaksakan mataku agar tetap terbuka namun jasad ini jatuh kedasar sampai terlihat gelap dan semakin mengecil semua suara, dan hening. Sampai beberapa detik kemudian aku terasa dibawa ke sebuah tempat yang lembut seperti kulit, aku meringkuk tanpa busana, rasanya lengket tapi nyaman. Tanpa makan dengan mulut aku tak merasa lapar sedikitpun. Kadang tubuhku tak tahan untuk bergerak bebas, berputar, menendang karena penasaran tak ada ruang untuk aku melihat keluar.

Hingga suatu titik waktu aku dihuyung untuk keluar ke sebuah pintu dan didorong secara paksa. Ada selapis daging yang membatasi dua jasad dan sama sama memiliki kulit. Daging yang keluar dari pintu daging dan ber induk daging. Aku berhasil keluar, semua orang berbisik riang. Itu bukan sebuah pintu melainkan tabir.

Banyak kata yang terucap dari bibir mereka. “Kau datang dengan pelajaran dan kebijaksanaan, kau datang dengan sebuah nama dan harapan, kau datang dengan segala kegenapanmu.”

Saat itu aku terlihat rapuh dan silau dengan warna – warna yang ada di dunia baruku ini. Semua warna terlihat emas dan berkilau membuat mataku sakit. Bukan itu saja, aku meliht gantungan tulisan yang memuat perjanjian :

Kita berasal dari satu koin hanya berbeda sisi. Tolong ingatkan aku, jika aku berubah menjadi kepala babi yang liar dan menerkammu suatu hari nanti. Entah bagaimana aku akan mencintaimu wahai Embrioku, tolong ingatkan aku dan segera kamu ambil sebilah pisau dan sayat mataku. Kau lebih dari seorang guru dan sahabat.Waktu kau tiba dalam bentuk mungil dan rapuh nanti, biarlah alam yang mengajarkanku untuk mencintaimu lagi dari nol. Dan kelak kita akan bercakap – cakap bagai dua manusia dewasa. Aku tak sabar mengenalmu lagi .. lagi .. dan lagi ..

Terimakasih untuk perjalanan ini, aku terhuyung sampai disini. Sekumpulan warna membuat aku mengerti kehidupan. Dua sisi koin membuat aku lebih waspada dalam segala hal. Dan bahasa membuat aku paham semua ini.

 

*) Penulis adalah anggota LPM Arena 2014, mahasiswa jurusan Filsafat Agama

\