lpmarena.com,Tepat pukul 20.30 WIB di kanan panggung terdengar seorang membacakan surat Al-Qalam. Pembacaan ini sebagai pembuka tadarus puisi dalam wujud teater berjudul “Al-Qalam Pena dan Lautan Tinta” produksi Teater Eska di Gelanggang Mahasiswa UIN Suka (10/7).
Panggung yang dibagi menjadi tiga ini dari arah kanan panggung muncul sesosok manusia berambut panjang berpakaian putih yang menyimbolkan kebaikan. Lalu dari arah kiri panggung seorang manusia bertopeng seram sebagai simbol kedurjanaan. Juga di belakang panggug terciptalah sebuah siluet yang memperlihatkan orang menulis dengan penanya, yang dari tulisannya itu muncul sesosok manusia yang bangkit dari sebuah lembaran yang penulis tuliskan dengan penanya. Penonton seperti dibawa ke dalam sebuah dunia mistis.
“Nun. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan” (Al-Qalam:1). Nun merupakan sebuah teka-teki, tidak ada yang tahu dengan pasti apa sebenarnya arti dari Nun sendiri. Ada beberapa penafsir yang mengatakan Nun adalah ikan paus, Nun itu sebuah perahu, sebuah kendi, atau sebuah tempat tinta yang berisi pena. “Nun itu melengkung dengan titik di tengah, seakan-akan itu seperti tempat tinta dengan pena di tengah. Ada juga yang mengatakan Nun itu adalah insan manusia, apa yang dituliskan adalah apa yang dijalani,” ucap Jauhara Nadvi Az-zadine, lurah Teater Eska.
Apresiasi datang dari M. Badrul Munif (Mumun) selaku lurah dari Sanggar Nuun. Dalam diskusi evaluasi karya ia menanyakan benang merah apa yang dibawa Teater Eska tentang banyaknya penafsiran tentang surat Al-Qalam di tengah kebudayaan saat ini yang carut marut. Saat manusia berjalan dengan ideologi mereka sendiri-sendiri. “Sudah dipancing banyak tafsiran tentang surat Al-Qalam. Namun, tagline atau benang merah apa yang Teater Eska dapatkan sehingga dalam menyampaikan itu bisa terbaca, dalam artian dekat dengan realita sekarang?” Tanya Mumun. Az-Zadine pun menjawab yang ingin Teater Eska sampaikan adalah tentang pena, tinta, dan lembaran. “Tagline-nya itu tiga, pena, tinta, dan lembaran yang kesemuanya itu adalah ilmu. Ketika di siluet orang menulis dan dia pergi lalu tulisannya hidup. Juga bagaimana ilmu dipraktekan,” jawab Az-Zadine yang juga sutradara dalam pementasan ini.
Apresiasi lain datang dari penonton bernama Banu. Ia menyayangkan jika pertunjukkan ini terlalu maskulin dan tidak ada sisi feminisnya, sedangkan Tuhan itu ada sisi maskulin dan sisi feminis. “Seharusnya ada yang berakting perempuan atau setidaknya menampilkan sesuatu itu equality (seimbang—red),” kata mahasiswi jurusan filsafat dari Universitas Paramadina ini. (Isma Swastiningrum)
Editor : Ulfatul Fikriyah