Oleh: Ritanjang*)
I
Namaku Kan’an. Aku selalu dikutuki oleh banyak manusia sebagai anak durhaka. Dan kutukan itu belum berakhir hingga detik ini. Mungkin sampai kiamat kelak. Hanya gara-gara aku tidak ikut perahu ayahku!
Aku tidak sedih dengan itu. Mereka manusia yang punya hak untuk mengutuk seseorang dan menyanjung yang lain. Yang kusedihkan hanya kutukan yang tertuju padaku tanpa memahami posisiku lebih dulu. Maka, hari ini aku ingin menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi. Dengarlah sampai akhir. Lalu kau berhak menilaiku sesukamu.
Aku masih ingat betul kejadian itu. Aku seorang pemuda. Anak seorang Nabi yang aneh, seaneh namanya: Nuh. Ya, bagaimana tidak? Di musim kemarau, ayahku membikin bahtera yang sangat besar, dan di atas bukit! Buat apa? Katanya, itu perintah Tuhan. Aku pun diam. Firman Tuhan adalah hal yang paling ampuh untuk membungkam mulut dan nalarku selama ini. Sebab selalu saja hanya ada dua pilihan tanpa penjelasan. Ikuti atau tinggalkan. Ikut berarti surga, dan tidak ikut berarti neraka. Aku takut neraka.
Waktu terus bergerak. Bahtera yang dibuat ayahku sudah hampir sempurna. Sesempurna ejekan orang-orang kepadaku sebagai anak orang gila. Aku malu. Aku benar-benar malu. Tapi malu itu belum seberapa. Yang membuatku sangat terpukul adalah saat calon mertuaku membatalkan pertunanganku dengan anak gadisnya yang kucintai. Aku ditolaknya gara-gara aku anak orang gila menurut masyarakat. Dan gadis itu tak mau kuajak kawin lari. Lebih tepatnya tak berani.
Hatiku hancur! Ya, sejak detik itu aku marah besar dengan ayahku. Dan aku memutuskan minggat.
II
Sejak kecil aku adalah anak disayang oleh ayah dan ibuku. Aku anak yang paling cerdas dibanding kakak-kakakku, begitu kata ibu yang kudengar dari tetangga. Aku mudah sekali menghafal doa-doa yang diajarkan ayah. Selain itu, aku juga pandai membuat kerajinan yang sering kujual untuk memenuhi kebutuhan keluarga saat ayah pergi berdakwah. Maka, selain perajin, aku juga pedagang. Dan dalam pedagangan yang menjadi pertimbangan adalah untung rugi.
Ibuku sering tersenyum bahagia saat menyambutku pulang dari pasar. Apalagi saat kubawakan oleh-oleh, kadang kain, makanan, dan pernah sekali kubelikan berlian. Senyum ibu—ah senyum itu—membuatku merasa semesta kebahagiaan hanya tumpah kepadaku.
Lalu, datanglah hari itu saat ayah pulang dengan kondisi sangat lemas. Peluhnya berleleran. Wajahnya menggambarkan orang yang sedang putus asa. Aku pun menerka, ayahku kehabisan akal untuk mengajak masyarakat menyembah Tuhan yang Esa, sementara tak ada yang mengikutinya kecuali 10 orang! Sebagai seorang Nabi, ayahku mungkin sangat malu. Pernah ia cerita padaku tentang betapa sulitnya berdakwah. Dan ia bertanya: nak, bagaimana caramu mempengaruhi orang-orang membeli barang danganganmu? Dan kujawab kalau aku menjual apa yang mereka butuhkan. Tapi wahyu memang bukan barang dagangan. Dan menyadarkan masyarakat kalau mereka butuh menyembah Tuhan tidak semudah membalik telapak tangan. Aku tahu itu. Tapi aku belum bisa berbuat apa-apa. Apalagi aku bukan nabi.
Dalam keputusasaannya, ayahku akhir-akhir ini lebih sering menyendiri dalam kamar. Mungkin berdoa, atau memikirkan strategi berdakwah baru. Makanan dan minuman sering diantar ibu, atau kuantar. Sehari, dua hari, seminggu, dua minggu, tepat sebulan sepuluh hari ia kemudian baru keluar dengan wajah bersinar. Seperti menemukan ide-ide, atau mendapat wahyu. Dan benar, keluar kamar, ayahku langsung bercerita bahwa Tuhan punya rencana. “Tuhan menyuruhku membuat bahtera yang sangat besar. Dan tepat di atas gunung itu!” katanya.
“Untuk apa?” Aku geleng-geleng kepala.
“Saat behteraku jadi, Tuhan akan membanjiri seluruh bumi. Siapa yang mau naik bahteraku, artinya menjadi pengikutku, akan selamat. Siapa yang tak mau naik, ia akan tenggelam, mati. Dengan begitu yang tersisa adalah pengikutku. Orang-orang yang beriman saja.”
“hmm…” aku tak bisa berkata apa-apa. Apalagi membantah, atau menuduh berbohong. Ayah orang yang jujur, sangat jujur. Tak pernah kulihat sekalipun ia berbohong. Tapi, mengapa Tuhan harus merencanakan hal segila itu? Apakah Tuhan marah jika di dunia ini hanya satu dua orang saja yang menyembahnya? Apakah Tuhan gila sembahan? Kurasa tidak. Tapi mengapa Tuhan hendak menjadikan dunia ini seragam dengan memusnahkan orang yang tak mau mengakuiNya? Aku benar-benar tidak tahu. Mungkin saja ayahku yang miskomunikasi dalam menerima wahyu. Ya, pasti ayahku yang salah faham!
III
Sudah tiga bulan ayahku berangkat ke gunung. Membawa bekal seadanya. Menuntaskan rencana Tuhan. Membuat bahtera. Sendirian! Aku tak tahu sudah sampai mana pembuatan perahu itu sekarang.
Aku tetap seperti biasa. Berdagang. Apalagi pelangganku sekarang mulai banyak. Dan memang, akulah yang harus memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga. Ya, akan kulakukan ini sebaik-baiknya.
Saat baru saja aku buka lapak, ada temanku datang tergopoh-gopoh. Ia tanya apakah ayahku membuat perahu di atas bukit belakang kampung? “Apakah ayahmu menjadi gila seperti kata orang-orang?” tanyanya memberondong.
Aku tak tahu bagaimana menjawabnya. “iya, ayahku membuat perahu. Tapi ayahku tidak gila.”
“Untuk apa?”
“Itu perintah Tuhan. Akan ada banjir besar yang melanda seluruh negeri. Ayahku melakukan semacam antisipasi.”
“hahahaha.. eh, maaf. Tapi mana mungkin? Sepanjang sejarah daerah ini kan belum pernah banjir?”
“Entahlah, itu daulat Tuhan,”
“Huu… dasar, ayah sama anaknya sama saja!”
Aku diam. Malas menimpali.
IV
Hari itu adalah setahun sejak ayahku memutuskan membuat perahu. Adalah sebulan genap setelah aku minggat dari keluargaku. Dan banjir benar-benar melanda. Hujan terus-menerus mengguyur tanpa henti. Banjir makin lama makin tinggi. Penduduk pontang-panting. Berlari. Mencari tempat yang tinggi. Di atas pohon, di atas atap, ada pula yang berkumpul di atas gundukan tanah yang lebih tinggi.
Ayahku pasti menghalau masyarakat untuk lari ke arah bukit. Mengajak mereka menaiki perahu bikinannya. Tapi banyak orang enggan. Atau malah masih saja menertawai.
Tapi banjir mulaimerangkak tinggi, hendak menenggelamkan perkampungan. Aku mulai khawatir bahwa apa yang dikatakan ayahku benar. Bahwa Tuhan akan benar-benar mengazab hambanya sebab enggan menyembahnya, dan malah menertawai utusannya.
Maka, sebelum semua ini terjadi, aku hendak menghampiri kekasihku. Membujuknya agar ikut perahu ayahku. Aku khawatir keselamatannya. Meski aku sempat sakit hati sebab dulu tak mau kuajak kawin lari, tapi bagaimanapun aku masih sayang padanya.
Namun, usahaku kandas. Air bah keburu meninggi. Aku tak bisa kemana-mana selain lari. Dan aku baru tahu, dari semua penduduk, akulah yang berlari jauh dari kampung. Mencari bukit tertinggi.
Ya, aku lari ke bukit tertinggi. Sampai di atas, aku benar-benar tahu, bahwa sepanjang mata memandang, semua sudah diliputi air banjir. Juga bukit-bukit rendah sudah tenggelam. Pasti banyak orang mati tenggelam. Dan kulihat di sana perahu ayahku berlayar. Mirip sekali perahu layar di atas lautan. Dan dimanakah kau kekasihku? Apa kau juga ikut perahu ayahku? Ya ya, semoga saja.
Perahu itu kemudian menghampiriku. Aku bisa melihat dengan jelas kini, bahwa banyak penduduk yang ikut perahu ayahku. Juga orang-orang yang dulu menuduhnya gila. Hanya saja kekasihku tak nampak wajahnya disana.
“Kan’an, anakku, kemarilah nak. Naik perahu ini, agar kau tidak tenggelam,” seru ayahku.
“Tidak, ayah. Aku tidak mau ikut. Aku malu. Bagaimana mungkin kini aku mengikuti perahumu sementara aku punya prinsip sendiri bahwa perahuku adalah akal budi? Aku tidak mau, ayah. Maafkan aku yang dulu sempat goyah, dan mulai berpikiran bahwa kamu mulai gila.”
“Ayolah, nak. Kau adalah anakku. Aku sudah memaafkan sejak dahulu sebab ketidaktahuanmu. Dan, lupakanlah akal budimu sejenak. Ingatlah bahwa akal budi Tuhan jauh lebih tinggi dari akal budi manusia. Akal budi kita harus pula tunduk pada akal budi-Nya.”
Aku ragu. Ayahku mungkin benar, tapi aku memutuskan untuk tidak ikut perahunya. Aku berpaling darinya. Aku ingin membuat suatu pembuktian. Bahwa perahuku adalah tetap: akal budiku. Dan itu prinsip yang akan kubawa mati.
Surabaya, 10 juli 2014
*) Penulis adalah bukan penulis.