Home - Prolog Kenek – Pengamen

Prolog Kenek – Pengamen

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

bus

Oleh: Isma Swastiningrum*)

 

Aku bertanya, apakah pulang menjadi sebuah kepentingan? Atau sebuah kerinduan akan keluarga dan kampung halaman? Atau sebuah implikasi bahwa kuliah libur panjang? Atau hanya sekedar aposteriori pengalihan diri belaka?

Lupakan pertanyaan absurd ku. Dua hari ini langit Jogja diselimuti suasana yang temaram. Mendung membuat atmosfer seperti dihujani abu. Pagi ini aku sudah berencana untuk pulang. Aku teringat dengan Hartika temanku, dia punya gagasan pulang dari Jogja ketempat asalnya Demak naik sepeda. Aku juga ingin merealisasikan hal itu ke daerah asalku Cepu, tapi jangan sekarang. Hutan Ngawi terlalu seram ketika malam, apalagi sendirian.

Aku putuskan naik kendaraan umum, bus. Pagi itu setelah trans jogja sukses memutar-mutarkanku mengikuti rutenya yang panjang dan menjemukan, aku turun di daerah Janti. Di sana aku naik bus yang menuju ke Solo. Hal yang paling aku suka adalah duduk di dekat jendela. Di sana aku bisa melihat pemandangan di luar sana. Seumpama syuting video klip, tempat ini adalah angle yang tepat untuk adegan ber-memorabilia dan ber-melankolia.

Secara imperatif, tiba-tiba saja aku melamun tentang banyak hal. Tanpa terasa, masuklah seorang pengamen membawa gitar. Setelah melakukan semacam prolog, ia bunyikan gitarnya. Tak kusangka berjumlah tiga orang dan salah satunya memainkan biola, dua lainnya gitar. Lagu yang disuguhkanpun lagu klasik, kalau nggak miliknya si Mozart ya Beethoven. Tontonan berkelas bisa dinikmati juga dalam bus bersama trio pengamen professional yang mumpuni di skill, juga sopan santunnya. Untuk setiap pengamen yang seperti ini, tanpa diminta pun, penumpang akan dibuat merasa bersalah jika tidak memberi uang. Lagu berikutnya adalah The Final Countdown—Europe di tengah hiruk pikuknya piala dunia 2014. Dan lagu terakhir adalah lagu Chrisye, Seperti yang Kau Pinta. Kurenungi lagu ini…

“……….aku tahu ku takkan bisa, menjadi seperti yang engkau minta

namun selama, nafas berhembus, aku kan mencoba

menjadi seperti yang kau minta…………….”

Aku berpikir, bagaimana mungkin cinta menjadikan orang menjadi tidak menjadi dirinya sendiri? “Cinta Itu Buta” kata salah satu band, ah, pendapat yang keropos. Cinta itu dengan hanya melihat mu saja aku sudah senang. Setidaknya itu yang kurasakan.

Saat sampai di stasiun bus Solo, aku digiring untuk mengikuti sebuah jalan yang menuju sebuah peron masuk. Orang-orang berjejer masuk membayar seribu rupiah. Rasa skeptis membawaku menanyakan untuk apa uang seribu itu pada penjaga peron? Menurutku ini semacam pungutan liar terstruktur, cuma masuk gerbang saja ternyata ada restribusinya. Lalu beberapa orang dengan gaya provokatif mereka menanyai para penumpang mau pergi ke mana? Lalu ada seorang laki-laki seperti preman. Dia kenek. Berjaket hitam, bercelana jins longgar, bersepatu kets, berambut gondrong sebahu dengan warna merah alami di permukaan rambutnya, dan bermuka judas. Orang itu menggiring ku masuk ke dalam busnya. Aku naik dan duduk di dekat jendela.

“Tujuannya kemana mbak?” Tanya kenek itu.

“Cepu,”

“Empat puluh ribu,” selorohnya tanpa beban. Aku langsung kaget dengan kenaikan empat kali lipat dari yang seharusnya. Aku bawa uang tidak banyak, mau pulang pakai apa aku entar?

“Berapa? Empat puluh! Emang turunnya langsung di Cepu atau Ngawi?”

“Ngawi. Ya sudah, tiga puluh lima,” katanya menurunkan harga.

“Nggak dua puluh, pak?” kataku.

“Saya bilang ke bos dulu,” orang itu melirik sebelah.“Dua puluh mbak,” ucapnya. Aku ambil uang berwarna hijau.

“Nggak kemahalan pak? Biasanya cuma sepuluh ribu, naik-naiknya, ramadhan gini lima belas,” protes ku ragu memberikan uang.

“Nggak bisa mbak, sudah pesanan dari sana,” alasannya. Berhubung dia sudah menyobek kertas semacam tiket. Aku berikan uang itu. Hatiku dongkol sekali (karena merasa ditipu). Lalu seorang bapak-bapak di kursi seberangku mengajakku bicara.

Badhe ting pundi mbak? (Mau ke mana mbak?)”

“Ngawi pak,” jawabku singkat. Aku penasaran dan bertanya, “Biaya ke Ngawi berapa ya, pak?”

“Wah, aku ke Jombang’e mbak. Iki bus’e suwi banget ra mlaku-mlaku mbak. Wis setengah jam luweh ngenteni (Ini busnya lama banget tidak jalan-jalan mbak. Sudah setengah jam lebih menunggu),” keluhnya. Lalu seorang perempuan yang duduk di sampingnya, yang mungkin adalah istrinya protes pada sopir. “Pak, kapan berangkat?” tanyanya sambil menyuapkan mi cup pada anaknya dan ke mulutnya sendiri. Bepergian jauh mungkin membenarkannya untuk tidak berpuasa. Sopir yang ditanya itu pun menjawab “Sebentar lagi,”katanya.

Masuklah penumpang baru, seorang pasutri setengah baya. Saat mereka duduk, kenek berwajah judas itu menghampiri pasutri itu. Aku perhatikan percakapan mereka. Ternyata tujuannya sama denganku, Ngawi. Saat dibilang tarifnya duapuluh, pasutri itu protes. Lalu merekakeluar dari bus. Kertas semacam tiket yang dibawa pasutri itu dikembalikan kekenek itu, lalu dengan angkuh dia bilang, “Buwak! (Buang!)”. Keterlaluan, harusnya aku juga ikut keluar, masak gini aja aku nggak berani? Kuperhatikan pasutri tersebut dari jendela mencari bus lain. Pilihan mereka tepat. Lain kali sebelum masuk bus, harus kupastikan tarifnya wajar.

Bus berisik dengan suara lagu-lagu yang para intelektual menyebutnya berlirik sampah yang (maaf) murahan dari tape di atasku. Pemaklumanku, dengan kondisi sosial seperti ini akan aneh lagi kalau yang diputar lagu-lagu Bjork—Human Behaviour atau John Lennon—Imagine. Ya, setidaknya aku menanti tembang-tembang Jawa yang syahdu melantun.

Kepala ku makin pusing dengan aroma bus. Aku ambil buku yang kusembunyikan dalam tas dan memutuskan membaca saja. Meski budaya ini aku yakin akan terlihat aneh, atau mungkin aku disangka orang yang sok rajin. Terserah.

Beragam pengamen tak berstandar keluar-masuk bus. Tapi untuk kali ini, ada dua pengamen yang menyebalkan sekali. Yang satu memegang ukulele dan benyanyi dengan  suara sangat cempreng. Yang satu sebagai pelengkap, pria dengan tubuh penuh tato, pakaian pudar, gaya awut-awutan cuma tepuk tangan sambil sekali-kali ikut menyanyi. Pas narikin uang, pengamen itu memaksa penumpangnya untuk memberikan sesuatu. Kalau nggak uang, dia minta rokok, atau apa saja yang penting diberi. Sampai di belakang terjadi obrolan alot, antara bapak-bapak dan pengamen yang memaksa itu. Oh Tuhan, sistem apa yang menjadikan mereka seperti itu?

 

Cepu, 16 Juli 2014

 

*) pecinta seni sekaligus pemilik NIM 13620024 jurusanFisika UIN Suka. Aktif di sudut SC No. 1/14 dan aktor amatiran di Sanggar Nuun. Tulisan in iterinspirasi dari perjalanan pulang dari Jogja ke kampung halaman penulis, Cepu, Blora, Jawa Tengah.