Home - Lomba Karikatur 2014 “Petani Kecil Menggugat Takdir”

Lomba Karikatur 2014 “Petani Kecil Menggugat Takdir”

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

TOR LOMBA KARIKATUR

“Petani Kecil Menggugat Takdir”

“When tillage begins, other arts follow. The farmers therefore, are the founders of civilization.” — Daniel Webster

Ada petani besar, mereka adalah “farmer” yang bergerak dalam usaha pertanian, agri industri, mengedepankan perolehan untung melalui perdagangan dan penguasaan baik tanah mau pun akses modal dan sarana-sarana produksi; di tangan mereka, benih, pupuk, sampai harga kerap dikendalikan—dan ditangan mereka pula monopoli atas “nasib” petani kecil (peasantrys) kerap dilangsungkan, karena menguasai dari hulu sampai hilir pertanian.

Nasib petani kecil sejak Indonesia merdeka tak kunjung membaik. Mereka bergumul dengan lumpur, keringat dan terik untuk memproduksi pangan yang mencukupi kebutuhan nasional bahkan global, namun nasib mereka tak terhubung sama sekali dengan keuntungan usaha tani dan bisnis pertanian pangan oleh korporasi atau bahkan negara.

Di dunia modern dan paling kontemporer di mana pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa dikatakan tinggi, nasib petani kecil tetap di titik nadir, alang-kepalang jungkirnya; petani kerap malah kurang gizi, anak petani kekurangan nutrisi, perempuan petani meninggal karena kesehatan yang buruk saat mengandung, Angka Kematian Ibu (AKI) pada 2013 sebesar 359 jauh lebih buruk 5 tahun sebelumnya (2007) yang berjumlah 228, rumah mereka jauh dari layak apa lagi mewah, untuk kebutuhan pangan yang baik saja kadang mereka susah, seperti ayam mati dilumbung.

Jika dilihat dari data penguasaan tanah, Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat, 56 persen aset berupa properti, tanah, dan perkebunan dikuasai hanya oleh 0,2 persen penduduk Indonesia. Sementara sensus pertanian 2013 menunjukkan, 26,14 juta rumah tangga tani hanya menguasai lahan rata-rata 0,89 hektar (ha). Sebanyak 14,25 juta rumah tangga tani lainnya hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 ha per keluarga. Padahal, skala ekonominya minimal 2 ha. Jumlah petani pun terus menurun (bukan lantaran sejahtera seperti diperkirakan negara, tapi sebaliknya, sebab tak ada tanah untuk digarap, tak ada biaya untuk menanam)

Tak heran rasio gini tanah secara nasional mencapai 0,72. Artinya terjadi ketimpangan sangat besar dalam penguasaan lahan. Ketimpangan itu bahkan sudah lebih buruk daripada ketimpangan pendapatan yang rasio gininya 0,41 (Indeks gini dihitung dari nol hingga satu. Makin mendekati satu, makin timpang).

Padahal terdapat tanah terlantar mencapai 7,3 juta ha; 1,935 juta ha tanah HGU ditelantarkan. Belum lagi “Tanah Negara” terutama di bawah peta kuasa Kementrian Kehutanan? Pemerintah sendiri semasa SBY-Boediono pernah menjanjikan redistribusi 8,15 juta ha lahan kepada rakyat. Namun, sampai sekarang, janji itu tinggal janji. Yang terjadi justru liberalisasi super-kapitalisme melalui terbitnya berbagai UU, Peraturan Presiden dan Peraturan Mentri di sektor agraria yang cenderung memanjakan korporasi ketimbang petani.

Konflik tak terhindarkan,  data KPA (Konsorsium Pembaharuan Agraria) menyebutkan ada 7.491 kasus konflik agraria dengan 2.399.314,49 ha lahan sengketa; melibatkan lebih dari 731.342 keluarga sebagai korban.

Ketimpangan struktur agraria juga mau tak mau membuat kita harus melek pada 6,5 juta TKI yang bekerja di 142 negara asing. Perempuan-perempuan desa dari keluarga petani itu terpaksa bekerja di ruang yang rentan sambil setiap saatnya menanggung risiko dalam bahaya. Ketiadaan perempuan di pedesaan karena telah bekerja di luar negeri satu sisi menjadi faktor tersendiri dari sebab adanya 21 juta orang Indonesia yang terancam lapar absolut dengan 28,55 juta orang di antaranya adalah penduduk miskin.

Gambaran kemiskinan petani memang bukan isapan jempol. Angka BPS (Badan Pusat Statistik) menunjukkan, dari 28,55 juta penduduk miskin, 62,76 persen tinggal di pedesaan yang sebagian besar bergantung pada pekerjaan di sektor pertanian, baik sebagai petani maupun buruh tani.

Nilai tukar petani (NTP), Maret 2014, hanya mampu merangkak naik 0,07 persen setelah bulan sebelumnya turun 0,16 persen dari kondisi Januari. Sejak 2008, NTP yang merupakan indikator kesejahteraan dan pendapatan relatif petani tidak menunjukkan perbaikan berarti. Kenaikan nilai dan harga produksi pertanian tak mampu ”menaklukkan” kenaikan nilai yang dibayar petani untuk kebutuhan pokok dan input usaha pertanian. NTP nasional Maret 2014 sebesar 101,86 masih cukup jauh dari target pemerintah minimal 110.

Di level makro, pertumbuhan ekonomi yang terjadi selama ini juga kian minim dari kontribusi signifikan sektor pertanian. Pada 2013, sektor pertanian—termasuk peternakan, perikanan, dan kehutanan—hanya mampu memberikan sumbangan 0,45 persen terhadap 5,78 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia, lebih kecil dibandingkan sektor jasa kemasyarakatan, sosial, dan perseorangan.

Bahkan, sektor pertanian jadi penyebab utama turunnya pertumbuhan pendapatan domestik bruto (PDB) di triwulan IV-2013 sebanyak 1,42 persen dengan kontribusi penurunan sangat besar (22,84 persen) dibanding triwulan III-2013. Wajar jika tenaga kerja, terutama angkatan kerja baru, lebih memilih bekerja di luar sektor pertanian. Faktual, jumlah rumah tangga usaha pertanian turun 5,10 juta rumah tangga atau 16,32 persen selama satu dekade terakhir (Sensus Pertanian 2013).

Sebaliknya, rusaknya struktur ekonomi politik pedesaan khususnya pengabaian negara atas petani kecil telah menyebabkan tidak hanya petani yang jadi kian tak sejahtera, tapi juga negara yang kian tergentung pada impor terutama sektor pangan.

Volume impor pangan Indonesia dua tahun terakhir sangat tinggi. Pada 2012 berjumlah 13,345,737 ton dengan nilai 6,297 US$ juta, sementara pada September 2013 sejumlah 9,058,766 ton dengan nilai mencapai 3,897 US$ juta. Impor produk holtikultura tak kalah tingginya, jumlahnya 2,138,764 ton, bernilai 1,813 US$juta pada 2012. Per September 2013 jumlahnya 1,296,374 ton dengan nilai 1,261 US$ juta. Singkatnya hal itu berarti, bila dibanding pada 2007-2009 impor komoditas pangan kita meningkat 61 % pada periode 2011-2013, dan itu adalah rekor impor terbesar dalam sejarah bangsa ini.

Di sisi lain sejak akhir 2012 jumlah utang luar negeri swasta melampaui utang pemerintah dan Bank Indonesia. Utang luar negeri pemerintah 131 miliar dollar AS dan utang swasta 145,62 milliar dollar AS. Dari data terbaru, utang luar negeri Indonesia per April 2014 sebesar 276,6 milliar dollar AS. Tumbuh 7,6 persen dari tahun lalu.

Melihat kondisi ekonomi politik demikian, tak mengherankan memang bila pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, tapi tak berkorespondensi signifikan terhadap kesejahteraan petani kecil. Sebaliknya, kesejahteraan rakyat anjlok. Pertumbuhan hanya dinikmati segelintir, sementara gap antara miskin dan kaya kian lebar. Ketimpangan tak terhindarkan, pertumbuhan yang berkuaitas dan inklusif sejatinya masih isapan jari.

Tahun 2008 dengan pertumbuhan elastis 5% tersedia lapangan kerja untuk 433 ribu orang. Tapi tahun 2013 dengan pertumbuhan 6,3% lapangan kerja yang tersedia hanya bisa menampung 290 ribu orang. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi sekarang rupanya hanya“terutama” dinikmati oleh 20% kelas atas; sementara yang 80% tetep berpendapatan rentan dan sangat miskin(BPS, 2014).

Kesalahan desain ekonomi mendatang bisa berakibat sangat fatal dengan acuan hutang tinggalan pemerintah sekarang yang tinggi; ketimpangan rasio gini, penguasaan tanah dan tingginya Angka Kematian Ibu (AKI).

Oleh karenanya masih sangat relevan mengukur dan menilai desain ekonomi 2 capres sekarang dengan framing neoliberal-kapitalis patriarkat, atau populisme monodualis terkait pembangunan pedesaan dan keadilan penguasaan sumber daya agraria sebagaimana dicita-citakan pendiri bangsa ini melalui konstitusi dasar UUD 1945.

Sekarang waktunya, bahwa apa yang dimiliki Indonesia takkan mencukupi satu orang yang serakah. Petani harus menggugat takdir sejarahnya sendiri. Membangun konsolidasi kesadaran dan gerakan agar pengabaian negara atas nasib dan kondisi kemanusiaan mereka tak berlangsung terus-menerus. Di dunia modern, petani mesti berbuat demi generasi yang berikutnya. Petani sampai kapan pun, adalah penjaga paling shahih dari kemandirian, kedaulatan sekaligus kearifan yang selalu akan menyelamatkan bangsa ini dari dekadensi.

Tak bisa ditunda lagi, petani harus menggugat! Kemiskinan dan penderitaan dalam kubangan kemiskinan pedesaan bukanlah takdir, melainkan kondisi politik dan ekonomi yang dibuat oleh sistem yang kapitalistik, patriarkat dan serakah. Sedumut bathuk senyari bumi, ditohing wutahing ludiro; bagi petani kecil, tanah tak sekedar komoditas, tapi tanah adalah identitas, aktualisasi diri dan hikayat batin petani.

Kita tidak boleh abai dengan masalah agraria jika kita menghendaki perubahan radikal dalam penguasaan agraria yang sesungguhnya. Demokrasi tanpa keadilan agraria niscaya akan menjadi demokrasi yang rapuh dan rentan terjerembab dalam kubangan konflik, kemiskinan dan rakyat kecil sebagai korban utama. Keadilan agraria adalah kondisi kemanusian yang dibutuhkan untuk kematangan demokratisasi yang kita perlukan untuk membangun bangsa dan kedaulatan indonesia. (SC*)

Ketentuan Lomba Karikatur

Lomba yang diadakan BINDA DESA dan LPM ARENA Yogyakarta ini bertujuan untuk mewadahi kreatifitas mahasiswa dan masyarakat dalam membuat karikatur.

Lomba ini mengusung tema, “Petani Kecil Menggugat Takdir”.

Tema ini dipilih atas keprihatinan kondisi ancaman krisis pangan dan ketertindasan petani di Indonesia. Ketidakadilan dan ketimpangan struktur pemilikan sumber agararia khususnya tanah.

Indonesia merupakan negara yang luas daratannya mencapa 192 juta hektar. Sayangnya penduduknya tetap miskin salah satunya karena ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah. Selain itu, UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) sebagai usaha peningkatan kesejahteraan rakyat cilik tidak pernah diimplementasikan, dan sampai saat ini belum ada usaha reforma agrarian. Petani pun masih terus hidup susah, karena tak memiliki lahan, dibuat ketergantungan benih, dan ketimpangan lainnya.

Jika kita lihat lebih dalam, perempuan petani mengalami ketertindasan ganda; parahnya dunia pertanian telah dirampas oleh industri pertanian. Sementara statusnya sebagai istri membuatnya sulit memiliki identitas sebagai pemilik tanah, karena pemilik tanah identik dengan kepala keluarga atau laki-laki. Sementara sebagai buruh pun terdiskriminasi hanya sebagai buruh murah dengan upah lebih rendah dari upah laki-laki.

Kondisi memprihatinkan diatas ini membuat BINA DESA dan LPM ARENA menggagas lomba karikatur dengan tema “Petani Kecil Menggugat Takdir”,  sehingga mahasiswa, kaum akademika, intelektual dan masyarakat umumnya diharapkan bukan hanya dapat membuat karikatur yang baik kualitasnya, tetapi juga mampu melihat kondisi yang ada, dan sensitif akan kehidupan “wong cilik”, petani kecil laki-laki dan perempuan.

Ketentuan Lomba

1. Peserta adalah mahasiswa wilayah Jakarta, Yogyakarta dan Jawa Tengah.

2. Karya karikatur yang dilombakan sesuai dengan tema lomba yang ditentukan.

3. Setiap peserta maksimal mengumpulkan 3 karya karikatur yang  berbeda.

4. Karikatur merupakan karya sendiri, belum pernah dipublikasikan dan diikutkan dalam kompetisi apapun.

5. Karya karikatur tidak mengandung sensitif SARA maupun pornografi.

6. Hak terbit karya Karikatur yang dilombakan ada pada BINA DESA dan LPM ARENA

7. Media menggunkaan kertas gambar ukuran A3.

8. Seluruh konten yang ada didalam karya karikatur sepenuhnya adalah tanggungjawab peserta.

9. Melampirkan fotocopy KTM dan KTP yang masih berlaku.

10. Melampirkan NAMA, ALAMAT, UNIVERSITAS JURUSAN, NIM, NOMOR TELEPHONE/ HP, UKURAN DAN MEDIA GAMBAR dan JUDUL KARYA KARIKATURyang dilombakan.

11. Batas Akhir pengiriman karya taggal 20 September 2014 cap pos.

12. Penjurian tanggal 27 September 2014, pengumuman tanggal 10 Oktober 2014 dan penyerahan hadiah tanggal pada 16 Oktober 2014.

13. Karya dikirim atau diserahkan langsung ke Panitia Lomba Karikatur: Lpm Arena, Komplek Student Center Lantai 1 R.14 UIN Sunan Kalijaga, Jl. Laksda Adi Sucipto Yogyakarta 55281.

14. Info silahkan follow: @yayasanbinadesa @PersMaARENA/ www.binadesa.co

 

Karya karikatur juara 1-3 mendapatkan

Juara I  : Uang RP 1.500.000 + Sertifikat dan Tropy  Rektor UIN Sunan Kalijaga

Juara II : Uang Rp 1.000.000 + Sertifikat

Juara II : Uang Rp 750.000 + Sertifikat

 

Penjurian oleh Kuss Indarto*

Karya Karikatur Juara 4-10 mendapatkan Sertifikat

Panitia lomba: Kru LPM ARENA

KOORDINATOR: @sabiqcarebesth

PANITIA: Jamaludin A. , Lugas Subarkah dll.

 

lihat pamflet klik di sini