Sedikit cerita untuk menjawab pertanyaan seorang teman di kelas filsafat politik. Barangkali seperti inilah politik. Dalam perjalanan pulang Jogja-Cirebon,di bagian belakang bus, sebut saja bus A, terdapat dua kalimat kurang lebih seperti ini, kalimat pertama “Sesama Bus A dilarang saling mendahului”, dan kalimat kedua berbunyi “Jika anda melihat supir kami yang mengemudi dengan membahayakan, anda bisa melaporkan ke kami melalui fax, telephon atau Sms ke nomer 0123456XXXX”.
Kedua kalimat tersebut bila dilihat secara tidak cermat mengandung makna semacam legitimasi sebuah perusahaan jasa angkut, bahwa supir Bus A anti ugal-ugalan, tertib nan sopan. Jadi, jika anda hendak berpergian ke luar kota, Bus A akan mengantarkan anda dengan selamat sampai tujuan yang dipesan, kira-kira begitu.
Politik dapat menjelma apapun, seperti susunan dua kalimat di atas, atau bahkan menjadi sang supir bus itu sendiri. Walaupun pada kalimat pertama mengandung seruan untuk para supir Bus A agar tidak salip-salipan sesama supir bus A, tetapi untuk saingannya, bus B, C, D dan seterusnya bisa jadi “halal” untuk ditikung. Barangkali juga benar karena “seorang supir juga homo politicus” kata Aristoteles, atau istilah “homo homini lupus” yang dipopulerkan oleh Thomas Hobbes.
Syahdan, tak heran bila bus A melaju kencang, satu-dua kendaraan lainnya dilewati dengan gaya jigjag sang sopir yang mahir. Pengendara bus lain tak gentar, kecepatan ditambah dari 70 km/jam menjadi 90 km/jam. Ada juga pengendara yang terpaksa mengalah karena ukuran dan bunyi klakson yang lebih kecil.
Dalam politik tak pernah pandang bulu, bahkan bulu domba sekalipun. Sebagian orang berebut tempat untuk cepat sampai ke hulu, yang kesemuanya demi memenuhi hak dan kewajiban suatu kelompok atau individu tertentu. Namun, politik bukanlah momok di siang bolong, seperti yang kita maknai hari ini, bahwa politik melahirkan seorang politikus yang mesti diberangus karena sering tertangkap tilap-menilap uang, atau seorang politikus yang mendadak “bisu”.
Pada awalnya politik hanyalah sebuah metode untuk mencapai suatu tujuan, selama metode itu digunakan untuk kepentingan yang tidak merugikan berbagai pihak, terutama rakyat, itu menjadi sebuah keharusan. Sehingga politik dengan berbagai sistem-sistem di dalamnya melahirkan kebijakan-kebijakan yang bersifat universal. Sayangnya manusia tak sebodoh yang Darwin kira, politik digeser ke arah kepentingan individu atau kelompok demi tercapainya hasrat berkuasa, setelah itu lupa. Mungkin, itulah yang menyebabkan kita alergi pada politik.
Hari rabu 1 Oktober 2014 tepatnya, di ruang rapat paripurna MPR Senayan, Jakarta. Sekitar 555 anggota DPR dan 130 anggota DPRD RI periode 2014-2019 dengan berbagai kepentingan rakyat, resmi dilantik sebagai wakil rakyat, itu artinya politik sepenuhnya didedikasikan untuk rakyat.
Namun, ketika politik berhenti di lampu merah traffic line bukan berarti pula bahwa politik sampai pada garis akhir. Politik tetap perlu mendapat pengawasan. Karena politik hanyalah sebuah jalan, dan sang sopir bisa saja keluar jalur, atau sang pengendara patas melaju dengan bebas dan melanggar rambu-rambu lalu-lintas.
Jangan pernah lupa bahwa hari esok adalah induk semai yang melahirkan selaksa kemungkinan, jutaan kejutan setiap detiknya. Dan wakil rakyat adalah manusia yang penuh dengan hasrat yang tak pernah karat dengan politiknya.
Jika sudah seperti itu, Pada akhirnya rakyat hanya menjadi tumbal ritual lima tahunan. Atau seperti Zen RS tulis dalam salah satu artikelnya yang berjudul “Nyeri Itu Setiap Hari, Bukan Lima Tahun Sekali”.[] Andy R