Oleh: A. Taufiq*
Seiring maraknya orang Indonesia yang mulai rakus bangku kuliah, maka marak pula pengangguran yang lulusan kuliahan. Sementara pengangguran adalah saudara kandung kemiskinan.Setidaknya, keduanya bagi pemerintah adalah masalah adik-kakak yang bikin kacau dan harus diatasi.
Miskin, katanya lagi, erat kaitannya dengan bodoh. Orang miskin pasti akan bodoh. Sementara orang bodoh akan jadi miskin. Logika inilah yang kemudian dipakai pemerintah. Dengan bekal data statistik nan canggih, pemerintah kemudian mendeteksi bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia masih tinggi. Lantas pemerintah punya cara menghapus kemiskinan, salah satunya yaitu menyekolahkan orang miskin, kalau bisa sampai perguruan tinggi. Bahkan pemerintah menyediakan dana 20% dari APBN untuk sektor pendidikan.
Namun fakta berkata lain: ternyata pendidikan tidak mampu mengatasi kemiskinan. Memang bandel!
Tenaga Kerja
Satu-satunya modal yang dipunyai orang miskin adalah tenaga kerja. Dalam hidup yang dikuasai logika jual-beli, maka untuk berlangsung hidup, orang miskin harus menjual tenaga kerjanya.
Sayangnya menjual tenaga kerja juga tak mudah. Apalagi kian kemari kian banyak penjual, tapi kian sepi pembeli. Hukum jual-beli pun berlaku. Semakin ramai penawaran atau semakin sepi permintaan, hasilnya adalah semakin murah harga. Maka, agar penjual tenaga kerja bisa laku, atau dihargai lebih tinggi, mereka harus bersaing.
Logika persaingan itulah yang kemudian membuat para penjual memperbaiki kualitas tenaga kerjanya. Bisa membekalinya dengan sekian kelebihan, sepertiskill, juga jaminan kepatuhan. Dengannya, akan dilirik para pembeli, dan akan dihargai lebih tinggi.
Hal tersebut sangat terlihat jelas saat suatu perusahaan hendak membeli tenaga kerja. Pasti Curriculum Vitae (CV)-nya diminta. Di dalam CV itulah para penjual tenaga kerja mempromosikan dirinya semenggoda mungkin di mata pembeli.
Sialnya orang miskin CV-nya kurang menarik di mata pasar, atau bahkan tidak tahu apa itu CV. Tetapi lihat saja rata-rata pengalaman atau skill yang dipunyai orang miskin. Misalnya, pernah menggembala kambing sekian tahun, jadi penyemir sepatu sekian waktu, atau tukang sapu sepanjang jalan. Ah, apa menariknya di mata pasar?
Maka, dari situlah kemudian orang miskin merasa harus berpendidikan. Berbondong-bondonglah mereka masuk perguruan tinggi. Harapannya jelas, agar tenaga kerjanya lebih berkualitas sebab mengantongi ijazah sarjana. Ya, kemudian muncullah kebanggaan, biar miskin, tapi sarjana.
Gelar, entah sarjana atau yang lebih tinggi, memang menjadi prestise atau gengsi sebab mampu mendongkrak harga jual tenaga kerja pemiliknya. Orang yang di belakang namanya punya ekor S.Pd. atau S.E., misalnya, akan lebih bangga sebab merasa derajatnya lebih tinggi dari yang lain.
Orang miskin yang menyandang gelar tersebut, juga dipandang punya harapan untuk terentas dari kemiskinannya, dan akan hidup lebih layak. Dari sini masa depan mereka nampak lebih cerah. Maka berbondong-bondonglah tetangga menawarkan diri jadi calon mertua. Ah, indahnya…
Cita-cita tiap orang normal saat ini adalah ingin hidup layak. Orang miskin, kalau masih normal, pasti juga ingin hidup layak. Tapi sayang, hampir semua aspek kelayakan hidup sudah dicuri oleh uang. Dan orang miskin tak punya uang.Padahal dengan uang, orang hampir bisa membeli apa saja. Semakin banyak uang, maka akan dianggap semakin layak hidupnya. Artinya adalah semua orang miskin yang normal akan selalu bercita-cita terentas dari kemiskinannya.
Tenaga kerja, satu-satunya hal yang dimiliki orang miskin, harus diperbaiki kualitasnya sehingga mereka masuk perguruan tinggi. Kampus memang institusi yang cukup tersohor dalam memberi harapan. Setidaknya, dengan ijazah perguruan tinggi di tangan, khalayak akan percaya bahwa pemiliknya punya keahlian lebih. Sehingga, di mata pembeli tenaga kerja, mereka akan lebih dipandang, dan dihargai lebih tinggi. Dari situlah kemiskinan “dibayangkan” bisa teratasi.
Di sisi lain, peran pemerintah dalam menggalakkan pendidikan secara bertahap juga terlihat.Seperti memperbesar alokasi APBN untuk pendidikan tadi. Lihat saja,maraknya penggalakan beasiswa untuk orang miskin yang masuk kuliah. Hasilnya dapat kita lihat sejak di awal: semakin banyak orang masuk perguruan tinggi, semakin banyak pengangguran yang lulusan perguruan tinggi. Dan orang miskin tetap merajalela di Indonesia.
Gak apa-apa. Biar miskin, yang penting kan sarjana!
Kamar Merah, 6 Oktober 2014
*Penulis pernah berprofesi sebagai penggembala kambing sepanjang 1999-2007. Kini aktif dalam Jabaranta Institute (JI), dan menjabat sebagai Sekjen pada Aliansi Peternak Kelinci.