Home - Adimanusia

Adimanusia

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: A Taufiq*

 

Anggap saja ini serius.

Sebelum mengantar nyawanya di penghujung Abad XIX, Nietzsche mendongeng. Jika dongeng ibu mengantarkan kita waktu kecil jadi lelap tidur, maka dongeng Nietzsche mengantarkan manusia jadi gila, sebagaimana ia mengantar dirinya sendiri terlebih dahulu.

Dongeng itu tentang adimanusia. Tokohnya ia namai Zarathustra.

Lewat mulut Zarathustra, dikatakan bahwa tuhan sudah mati, dan kitalah yang membunuhnya. Dan pembunuhan tuhan bukan sesuatu yang sepele, sementara kita masih abai. Kita telah membunuh tuhan, dan mencampakkan moralitas yang berpusar padanya sebagai moralitas lama, tapi belum siap menjadi tuhan baru, dan membentuk moralitas baru.

Juga, ia hendak bilang bahwa moralitas lama adalah moralitas manusia gerombolan. Moralitas yang tak lebih dari tumpukan (sistematika) kepalsuan yang sudah berkerak berabad-abad.  Sementara moralitas baru adalah moralitas dengan kebenaran baru. Kebenaran sebenar-benarnya kebenaran. Dan untuk mewujudkannya, ia mengajak naik tangga, lalu membuang tangganya. Hanya dengan begitu, kita jadi adimanusia. Manusia-manusia jenis baru nan unggul.

Dulu saya fikir, itu hanya khayalan. Tapi setelah saya melihat dengan jeli kanan-kiri, saya terkejut: jangan-jangan cerita Nietzsche kini jadi kenyataan?

Terus terang, akhir-akhir ini (Abad XXI) saya banyak menemui manusia yang punya kemiripan (atau dimirip-miripkan) dengan cerita Nietzsche: Manusia yang adimanusia.

Entah mereka mendengar dongeng Nietzsche atau tidak. Yang jelas, atas nama anti kemapanan, mereka mencampakkan sistematika, ketertiban, dan norma-norma yang ada sebelumnya. Mereka sangat menjunjung spontanitas. Menggila-gilai absurditas. Menghargai kebebasan berekspresi diri sebebas-bebasnya. Dalam mitologi Yunani, mereka meniru Dionysos. Memunggungi Apollo.

Dalam pergaulan, adimanusia itu enggan menyapa sesama—eh, bukan sesama. Apalagi membaur dengan para jelata. Mereka punya dunia sendiri. Dunia yang ada dalam hayalannya, juga ada dalam genggamannya.

Manusia biasa (atau manusia gerombolan) memang belum selevel. Pandangan ini bagaikan manusia modern memandang manusia purba yang dianggap proses evolusi dari monyetnya belum selesai. Maka wajar saja jika ada manusia gerombolan lewat, adimanusia memandang sinis. Entah hatinya, mungkin romantis.

Tapi tak usah ribut soal hati. Adanya hati bukan untuk diributkan. Kita lanjut saja.

Perubahan manusia menuju adimanusia itu, oleh Nietszhe, menjelma semacam naik tangga, lantas membuang tangganya biar tak bisa turun lagi. Dan untuk naik tangga  saja tak mudah. Apalagi membuang tangganya.  Maka, perlu latihan-latihan yang sangat berat buat manusia gerombolan. Antara lain harus mandiri sebagai individu yang merdeka. Berani melepas dari baju-baju lama. Atau ajaran-ajaran yang dianggap sudah jadi berhala. Termasuk mencampakkan segala bentuk ibadah klasik ajaran nabi-nabi. Lalu menjadi nabi buat diri sendiri. Menjadi tuhan buat diri sendiri.

Karena itu, menjadi wajar jika kemudian adimanusia itu tak mau berorganisasi. Kalaupun adimanusia tercatat anggota organisasi, itu pasti hanya catatan sebelum ia naik tangga. Sebab, organisasi hanya membelenggu kemerdekaan diri. Di organisiasi, orang tak lagi bisa sebebas-bebasnya mengekspresikan diri. Organisasi adalah bagian dari tangga yang harus dibuang.

Para adimanusia itu memang tak banyak, wong namanya manusia unggulan. Mungkin satu banding sejuta. Tapi, kalau dilihat sebarannya, adimanusia memang bermacam rupa. Ada yang berstatus jadi seniman, sastrawan, wartawan, atau demonstran.  Tapi adimanusia tetaplah adimanusia. Ia tak peduli soal statusnya jadi apa. Toh status itu setiap saat bisa ditinggalkan. Status hanya penting bagi manusia gerombolan. Ia barang fana nan menjijikkan.

Informasi terakhir, katanya akhir-akhir ini adimanusia diam-diam mulai berkoloni. Kalau sedang beruntung, kita bisa menemukan mereka di cafe-cafe, lorong-lorong istana kota, bilik-bilik kampus, atau di sanggar teater.

Ya, mereka adalah adimanusia yang dengan ikhlas diantarkan Nietzsche dengan dongengnya. Dan semakin hari manusia yang mengikuti dongeng itu kian lama kian membiak. Tak percaya? Tanya saja sama kawan saya yang namanya Sayyid Sabiq.[]

Tepi Gajah Wong, 13 Oktober 2014

 

*Anggota gerombolan perusuh Jemaat ARENA.Tergabung dalam Forum Pemangsa Buah Talok. Fans berat Pongge Goegoex.