Oleh Pongge “Goegoex” Harianto *)
Beberapa hari yang lalu, kawan saya (sekaligus senior), Ahmad Taufiq menulis di website LPM Arena dengan judul “Biar Miskin Penting Sarjana”. Dalam tulisan itu, Mbah Taufiq menjelaskan lika liku orang miskin untuk mendapatkan pendidikan. Dimulai dari logika pasar yang “hanya” akan menerima tenaga kerja berpendidikan, maka orang miskin berbondong-bondong masuk ke Perguruan Tinggi. Kondisi ini, tambah kawan saya itu, diperparah dengan stigma pemerintah yang menyatakan bahwa : orang miskin itu bodoh, dan orang yang bodoh itu pasti akan miskin, dan orang miskin yang bodoh itu adalah sebodoh-bodohnya orang miskin. (Mak Jleb Dab). Misi pemerintah sepertinya akan benar-benar menghapus kemiskinan dan kebodohan secara masif. Segala upaya dilakukan, misal dengan memberi bantuan sosial, subsidi, beasiswa dan bantuan-bantuan bagi orang miskin lainnya. Alhasil, hari ini orang miskin telah memenuhi instansi-instansi pendidikan, tak terkecuali Perguruan Tinggi.
Tujuan orang-orang miskin di atas sama, agar mempunyai nilai jual yang sama dengan orang-orang yang bersarjana. Dan untungnya, kondisi ini didukung oleh pemerintah melalui dana beasiswa. Bualan pendidikan murah, pendidikan gratis gencar dilakukan di berbagai media. Lagi-lagi, agar orang-orang miskin (apalagi orang kaya) tertarik untuk masuk ke Perguruan Tinggi. Perguruan Tinggi sepertinya akan menjawab semua kegelisahan dan kegalauan orang-orang miskin. Tidak ada yang bisa menyelamatkan manusia dari jurang kemiskinan dan kebodohan selain melalui pendidikan. Apa media lain tidak bisa? Bisa, tapi tak secepat dan semanjur pendidikan Bung, apalagi Perguruan Tinggi. Perguruan Tinggi itu adalah Juru Selamat pertama dan yang utama. Catat itu! Begitu kiranya kata kaum motivator pendidikan.
Di Indonesia, pendidikan memang masih dianggap seperti “oase” di tengah padang pasir. Pendidikan menjadi obat atas ekspetasi-ekspetasi murahan ala pasar. Biar dapat kerjanya mudah, kerjanya di ruang ber-AC, gajinya sekian juta dan harapan-harapan lainnya. Jika logika ini yang dibangun, ya sama saja kita menempatkan atau menjadikan pendidikan sebagai “barang dagangan”. Pendidikan tak ubahnya seperti tahu, tempe, ikan asin dan daging di pasar tradisional. Semakin tinggi penawaran, maka permintaan semakin turun. Di sini hukum ekonomi berbicara. Semakin pendidikan itu ditawarkan dengan harga murah, maka permintaan akan pendidikan lambat laun akan turun.Ya bisa dibayangkan to, ketika barang itu murah dan tersedia banyak, selain permintaannya turun, biasanya barangnya gak begitu berkualitas. Ya adalah cacingnya, adalah belatungnya, kan barangnya murahan. Jika anda tak suka, bisa beli di lapak yang sebelah sana kok. Tapi juga tidak menjamin barang yang di sana (pendidikan/Perguruan Tinggi) benar-benar higienis, berkualitas dan anti manipulasi pasar.
Oh, iya. Kawan saya itu (Begawan Ahmad Taufiq) kemarin juga pernah ngobrolin seputar pendidikan di Perguruan Tinggi. Siang itu (kalau tidak salah bersamaan dengan aksi demonstrasi di Rektorat Selasa lalu), Bung Opik nyletuk gini “gimana ya misalnya mahasiswa yang masuk ke Universitas itu masuk aja gitu. Gak usah pake jurusan dan fakultas. Apa yang diminati ya itu aja yang dipelajari. Kampus itu hanya menyediakan fasilitas, dan nanti ujian akhirnya bisa membuat karya atau apa gitu. Pie menurutmu cuk? Waktu itu kami hanya tertawa dan sedikit menyindir si rambut gondrong itu (Opik). Kamu mimpi ya Bung? Kalau itu yang diinginkan, kita duduki dulu Jakarta untuk merubah kebijakannya. Itu salah satu jawaban dari kawan saya yang lainnya. Siang itu, di pojok kantin universitas, kita ngobrol ngalor ngidul mengenai pendidikan. Tak lama sih diskusi kita, namun bisa ditarik kesimpulan : Jika kondisi pendidikan 10 tahun ke depan masih saja seperti ini, jangan harap ada perubahan yang total integral. Perubahan itu tak ubahnya seperti mimpi belaka. Ia akan menjadi lembaran halaman depan suramnya pendidikan Indonesia.
Setelah Sekolah, Aku Kudu Pie Cuk?
Idealisme yang seideal-idealnya. Mungkin itu yang bisa kita harapkan untuk sedikit demi sedikit merevolusi orang miskin dari kemiskinannya. Bentuk konkritnya? Ya dengan tindakan nyata sebagai intelektual, misal memberikan pendidikan alternatif jika pendidikan yang ada (formal) belum menawarkan pembebasan yang sebenarnya. Itulah tugas intelektual, selain memakmurkan dirinya sendiri, memakmurkan orang lain. Bisa jadi kita harus memaksimalkan idealisme eyang Gramsci mengenai intelektual organik. Intelektul yang paham posisi dan kondisi, intelektual yang paham konsep sangkan paraning dumadi, darimana dan kemana kita diciptakan. Dalam konteks pendidikan, darimana dan ke mana setelah kita berpendidikan. Mau kerja? Ya bisa. Tapi, apa pendidikan itu harus ber-ending kerja? Mungkin pertanyaan itu yang akan kita ajukan sebelum mengiyakan atau menolak pernyataan di atas.
Jawaban pertama pasti iya. Setelah kuliah dapat kerja dan makmur. Namun, perlu dilihat juga bahwa hasil pendidikan di luar sana tak menjamin itu semua. Sudah berapa banyak doktor, magister, sarjana, diploma, insinyur dan hasil lain yang dihasilkan pendidikan di negeri ini, namun itu semua belum merubah kondisi yang ada. Butuh waktu seberapa lama lagi? Haruskah kita bersabar lagi dan lagi? Ibarat jika pendidikan itu dokter yang mampu menyembuhkan pasien (kemiskinan), dokter ini selalu jadi pahlawan kesiangan. Ketika kemiskinan rakyat semakin akut dan hampir sekarat, kaum berpendidikan ini masih menuntut kesabaran pada pasiennya untuk meramu obat. Ya bisa dipastikan, ketika obat jadi, pasiennya sudah tak bernyawa. Lalu, apa sih fungsi pendidikan jika tak mampu mengentaskan kemiskinan seperti yang diharapkan kebanyakan orang?
Pendidikan itu abstrak, yang nyata hanya instrumentnya. Oleh karenanya, hasil dari pendidikan itu sudah pasti abstrak pula. Bukannya pendidikan itu tidak ada fungsinya, namun fungsi utamanya berdialektika di tataran abstraksi manusia. Ia bermain di mental, pikiran dan aspek psikis manusia. Pendidikan itu bekerja untuk mematangkan ketiga aspek tersebut pada setiap diri manusia. Jika, pendidikan itu membuat mental seseorang, katakanlah menjadi orang-orang berdasi, maka bisa dipastikan suatu saat si siswa akan jadi kaum berdasi. Begitu juga sebaliknya. Dan kenyataannya, memang banyak yang jadi kaum berdasi dari pendidikan, namun itu semua karena “dipaksakan”. Banyak kaum berdasi yang bermental dan bertindak layaknya kaum kuli. Pakaian rapi dan posisi terhormat, tapi cara berpikir dan bertindaknya tak sesuai dengan pangkat dan jabatan. Tergesa-gesa, kerja full time, gaji pas-pas an, kerja kantoran tapi bagian lapangan, kerjaan selalu menumpuk, selalu bingung dengan jumlah upah yang diterima dan selalu merasa kurang dengan apa yang dihasil. Terkadang juga muncul sifat Buto Ijo-nya, rakus.
Di satu sisi, pendidikan mampu menghasilkan orang-orang yang bermental dasi, meskipun kenyataannya adalah kuli. Mereka benar-benar menikmati hidup sebagai kuli, layaknya di sinetron-sinetron Indonesia. Gaji pas-pas an, hidup miskin, rumah kolong jembatan, makan nasi tahu tempe plus air putih, tak menjadikannya orang benar-benar kuli. Siapa tahu, justru mereka benar-benar menikmati kerjanya, seperti yang diungkapkan oleh Marx. Mereka tak teralienasi oleh kerjanya. Mau hari ini ke sawah atau tidak, tidak akan ada yang memarahi atau mencemooh. Justru mereka yang kuli inilah sebenarnya yang benar-benar berdasi. Dan yang berdasi, sejatinya adalah kuli. Jadi, jika ada yang menyatakan bahwa orang berdasi (kerjanya) itu makmur, maka mereka harus sekolah lagi dan belajar ulang mengenai hakikat kerja. Eh, kuli yang saya maksud itu bukan kuli yang kerja di proyek-proyek itu, melainkan kuli secara strata pekerjaan, bisa meliputi tukang becak, pedangan asongan, pemilik usaha dan wiraswasta lainnya. Intinya, orang yang bekerja dan tak terikat dengan instansi perorangan atau kelompok.
Jawaban kedua atas pertanyaan “setelah kuliah itu kerja tidak?” adalah tidak. Tidak untuk mengatakan tidak untuk bekerja. Intinya, ya harus bekerja, tetapi tidak harus jadi orang yang berdasi kan. Jika tidak ada yang ingin bekerja, lebih baik segera akhiri saja hidupnya. Karena kerja menjadi ciri utama orang hidup. Setelah berpendidikan, harus bekerja dan akan lebih asyik jika bekerja tidak seperti kebanyakan orang lain. Apalagi kerja itu merupakan kerja plua-plua, yakni kerja individu dan sosial. Itu yang memang benar-benar diharapkan oleh Gramsci, mengenai intelektual organiknya. Seorang intelektual mempunyai tugas sosial yang amat berat, di samping menanggung tugas berat pribadinya. Seorang intelektual tak boleh melupakan perannya sebagai seorang intelektual. Ia harus menjadi garda terdepan dalam mengubah tatanan sosial yang menyimpang dan menyesatkan.
Nyatanya, fakta di negeri ini berbicara lain. Seorang intelektual, yang berpendidikan dan bahkan yang bersarjana sekalipun, yang ada lebih asyik dengan dunianya sendiri. Yang penting perut kenyang, persetan dengan orang miskin di kolong-kolong jembatan itu. Persetan dengan petani yang terus dikibuli, persetan dengan asongan yang terus digusur dan persetan dengan setan-setan kemiskinan lainnya. Hari ini, rakyat miskin dan marginal sangat menunggu sang Juru Selamat bagi nasib mereka, terutama dari kaum terpelajar. Syukur, hari ini masih ada geliat dari organisasi mahasiswa yang benar-benar dan “yang ngaku-ngaku”memperjuangkan aspirasi mereka. Dan untuk mahasiswa atau kaum terpelajar lainnya yang masih terjebak absensi kelas, segeralah bertobat. Kalian bisa nyicil kerja sosial tersebut sekalipun masih berstatus mahasiswa.
Lalu, bagaimana dengan Pak dosen dan Bu dosen yang masih melarang mahasiswanya jadi aktivis? Ah, mungkin hanya Pak rektor yang tahu harus bertindak seperti apa. Ingat, kampus ini area bebas berpendapat dan berkomentar. Dilarang melarang!
*) Anggota Ordo Jemaat Arena sekaligus teman ngopi-nya Bung Ahmad Taufiq.