Oleh M. Faksi Fahlevi
Pada tanggal 10 Agustus 2012 sebuah artikel yang bertemakan “70% Mahasiswa UIN Suka Yogyakarta sudah tidak perawan” sempat menjadi tema yang booming di kampus UIN Sunan Kalijaga (UIN Suka). Bahkan artikel yang dikarang oleh Dharma Putra tersebut kembali menjadi topik yang hangat di media sosial (facebook dan twitter) hari-hari ini. Tak ayal suasana kampus terasa tidak lagi berimbang. Di kelas-kelas, kantin, dan taman kampus, wanita yang tidak bersalah terasa kembali didiskriminasikan seperti abad 19 di nusantara (baca; Bumi Manusia- PAT).
Penulis artikel mengatakan judulnya sangat bombastis. Lantas bombastiskah judul artikel tersebut di situasi hari ini, ketika melihat eksistensi kampus UIN Suka yang kebudayaanya telah dirasuki oleh kebudaayaan barat ketimbang kebudayaan Islam itu sendiri. Jika “iya” jawabnya, maka mereka termasuk orang yang dangkal otaknya, karena ia hanya mampu membaca polemik hari ini dengan matanya bukan dengan hatinya. Jika ia membaca dengan hatinya maka ia akan berperilaku bijak, tidak semena-mena menjustifikasi 70% mahasiswa UIN Suka sudah tidak perawan lagi.
Manusia pada kodratnya, dituntut menjadi insan yang berkesadaran kritis pada realitas dan radikal pada polemik sosial. Dituntut menanyakan ulang kenapa di antara mereka melakukan tindakan amoral (hubungan intim yang dilarang), apakah karena murni kemauan dirinya atau konstruk sosial yang merubah perilakunya? Atau penulis artikel yang kehilangan keperjakaanya karena kosong ilmunya?
Pada akhirnya aku lebih tertarik bermaksud merubah judul artikel tersebut dengan judul “70% mahasiswa UIN Sunan Kalijaga sudah tidak perawan pola pikirnya”. Alasanya nyata hari ini yang memperkosa mereka adalah realitas sosial yang dibangaun oleh kaum imprealisme kapitalisme barat. Hal itu sama persis dengan apa yang digelisahkan oleh temanku ketika kemaren hari (05/10/14) aku membaca tulisan tempelannya di papan pengumuman fakultas Ushuluddin dengan rubrik tulisan “Daily philosophy #2” yang menggunakan gaya tulisan Zarathustra itu, ia menceritakan tentang keterasingan dirinya di dunia postmodernisme, dunia yang penuh dengan gemerlap kepalsuan hingga manusia tidak lagi mengenal dirinya karena pemikiranya ter-narasikan dalam kebudayaan teknologi yang diciptakan peradaban modernisme.
Secara eksplisit saya membenarkan apa yang dikatakan oleh Pujianto di atas ketimbang Dharma Putra. Kampus tidak lagi menjadi wahana pembebasan atas ketertindasan manusia melainkan menjadi benalu bagi mereka yang ada di dalamnya. Kebudayaan kampus menuntun mereka harus berprilaku tidak sopan. Kenapa demikian, budi luhur kebudayaan yang dimiliki bangsa ini telah luntur dan terkikiskan, karena mereka para birokrat lebih patuh pada aturan baru yakni kebudayaan kebarat-baratan (westernisasi). Contohnya, dari budaya sandal ke sepatu, dari baju batik ke kemeja dan bayak yang lainya.
Perlu dipahami sebelumnya, Perilaku mahasiswa di atas didorong oleh kekuatan dari cita-cita kebangkitan kaum borjuasi (Uni Eropa) luar negeri dengan menggunakan trisulanya yakni, eksplorasi, eksploitasi, dan ekspansi sebagai senjata untuk mengantisipasi krisis ekonomi yunani. Di mana salah satunya lewat dari dunia pendidikan dengan mencuci otak dari obyek pendidikan, agar supaya berkebudayaan barat, dengan berprilaku modernisme. yakni berperilaku yang serba instan. Dengan tuntutan berpenampilan menarik dan kesadaran konsumeris pada prodak kapitalistik.
Jika hal demikian yang terjadi maka naluri hati yang bersenergi dengan pola pikir akan mati. Mahasiswa secara naluri akan tetap memilih mempertahankan harga diri secara materi walaupun menjual sari patih sucinya yang ia miliki. Disinilah letak persoalannya kenapa kita hari ini selalu mengamini apa yang terjadi pada diri kita sendiri tampa harus bertanya ulang siapa sebenarnya eksistensi yang menggerakkan diri ini? Apakah betul kesadaran murni atau memang ideologi postmodernisme yang mengerakkan di balik kebudayaan universal ini?
Bagi penulis jawaban di atas hanya bisa dijawab sejauh mana seorang peka terhadap realitas yang terjadi hari ini. Sebagaimana dikatakan oleh seorang sosiolog kontemporer Francis Fukuyama dalam bukunya yang sangat populer The End Of History And The Last Man bahwa “sains alam modern telah menyediakan untuk kita seatu mekanisme yang berkembang progresifnya mampu memberikan sebuah direksionalitas dan koherensi menuju sejarah manusia selama bebarapa abad yang lalu”. Artinya apa The Will Of Power yang ada di diri manusia tidak lagi murni kesadaran Will of Free, melainkan kostruksi sains modern itu sendiri.
Perawan hanya mitos yang tidak usah disesali oleh seorang wanita. Keperawanan bisa kembali apabila Will of Free pada corak berpikirnya kembali dihadirkan dan merekostruski kembali apa yang anda yakini bahwa orang cantik tidak harus putih tapi yang penting berahlak. Pengerti rapi tidak harus bermodal kaya tapi harus bersih, dan kata-kata harus selalu menjadi benteng mempertahankan eksistensi, tentunya bertindak pasti menuntuk ketidakadilan yang terjadi. Hingga tercipta sama rasa sama rata. Ya itulah perawan.
Melirik kembali sosok wanita bumi putra tempo dulu “Kartini”. Bagaimana kartini memberontak terhadap feodalisme, poligami, dan adat istiadat yang mengungkung perempuan. dia yakin pemberian pendidikan yang lebih merata merupakan kunci kemajuan, (Tempo, Edisi 22-28 april 2013). Penulis bermaksud agar supaya makna kesucian (keperawanan) dari seseorang bukan diukur dari robeknya selaput dara, melainkan dapat diukur dari sejauh mana seorang menggunakan akal pikirnya untuk mensintesiskan perubahan dengan kenerja praksisnya.
Irama warung kopi
Semenjak tahun 2013 ketika menginjak usia setahun di jogjakarta aku punya aktivitas ngopi di malam hari dengan seniorku pada waktu itu di kebun laras, sebut saja namanya Makin Santoso mahasiswa tarbiyah dan keguruan asal Cilacap, Jawa Tengah. Aku serentak kaget ketika ia menyuruhku untuk membaca kompasiana dengan rubrik artikel “70% mahasiswa UIN Suka sudah tidak perawan”. Setelah selesai membaca spontan rasa traumatis mengganggu psikologisku.
Pikirku kabur. Yang terlintas seketika melihat wanita berdua dengan lelaki dianggapnya mengadakan transaksi, karena di artikel tersebut tempat transaksinya di warung kopi. Hal ini saya kira yang menjadi penyebab hilangnya nilai dari warung kopi, agar supaya mahasiswa hanya fokus dalam dunia akademik saja ketimbang di warung kopi yang sering kali melahirkan percikan demonstrasi.
Aku alami sendiri, kritisisme mahasiswa seringkali muncul di warung kopi karena kita selalu berdialektik dengan gagasan yang berbeda yang menghasilkan wacana baru dan perubahan baru. Hal ini juga seringkali disinggung oleh para aktivis ‘98 bahwa warung kopi merupakan pusat dari terbentuknya revolusi melawan rezim. Tidak hanya di dalam negeri di luar negeri juga terjadi pada sosok Hassan al-Banna pendiri ikhwanul muslimin yang juga revolusi dari warung kopi (kedai kopi).
Dari sekarang jangan takut lagi mendatangi warung kopi walaupun Dharma putra mengatakan warung kopi dijadikan tempat transaksi untuk menjual diri. Tapi percayalah pada apa yang dikatakan Puji bahwasanya anda kaum wanita dinodai oleh arus modernisasi bukan alat kelamin lelaki.
Banyak irama di warung kopi yang harus dipelajari di antara, solidaritas tertinggi untuk membangun kekeluargaan yang dicita-citakan oleh bangsa ini “…Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” dan kita dituntut untuk selalu solid di bidang bertahan hidup. Warung kopi juga tempat kita bersuka ria dalam arti mencari makna, makna pembebasan atas ketertindasan, karena warung kopi adalah konsitusi yang memberikan kehendak bebas bagi yang ada di dalamnya tapi tidak saling merusak di antara kelompok yang lain. Mereka dari setiap kelompok yang berbeda asyik menjaga kebudayaannya masing-masing tanpa harus memikirkan kawasan kelompok di sekitarnya, karena warung kopi merupakan institusi kerukunan yang tidak harus ditakuti.