Home - Memahami Eksistensi dan Urgensitas Kajian Cultural Studies di Perguruan Tinggi Agama Islam

Memahami Eksistensi dan Urgensitas Kajian Cultural Studies di Perguruan Tinggi Agama Islam

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

 

buku

Judul buku      : Cultural Studies di PTAI

Teori dan Praktek

Penulis             : Ahmad Muttaqin, dkk

Penerbit           : Laboratorium Religi dan Budaya Lokal (LABEL)

Fakultas Ushuluddin Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta

Cetakan           : Pertama, 2014

Tebal               : xx + 212 halaman

Peresensi         : Hendris

 

Secara universal kebudayaan mengandung tujuh unsur. Diantaranya; religi, organisasi masyarakat, pengetahuan, ekonomi, teknologi (peralatan), bahasa dan terakhir kesenian (Koentjaranigrat: 1998). Budaya masyarakat Jawa sangat dekat dengan kesenian. Namun,  seiring perkembangan zaman eksistensi Cultural Studies (kebudayaan lokal) seperti kesenian keberadaannya di masyarakat sudah mengalami degradasi. Bahkan kajian budaya lokal tidak lagi menjadi kajian yang menarik untuk diketahui, dipahami dan direfleksikan. Jean Paul Satre memaknai eksistensi pada kebermaknaan dan kesadaran akan keberadaan sesuatu. Makna kebudayaan lokal selama ini tidak termaknai keberadaanya. Dengan kata lain generasi penerus di abad 21 terutama pemuda dan pemudi tidak mengetahui yang melatarbelakangi adanya suatu kebudayaan lokal. Contoh sederhana tidak sedikit pemuda/i yang lebih memilih kursus musik, piano, dram dan musik modern lainnya, dari pada belajar kebudayaan lokal, salah satu contohnya adalah gamelan, angklung, tarian etnik dan pernak-pernik kebudayaan lainnya.

       Cultural Studies merupakan kajian keilmuan baru, umumnya di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Pada khususnya di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Hal yang demikian tentunya harus dipertanyakan. Mengapa bisa terjadi demikian? Tentunya yang menjadi faktor penghambat tiada lain disebabkan oleh pesatnya arus dan virus globalisasi. PTAI lebih banyak mempelajari dan mengadopsi budaya global dari pada budaya lokal. Padahal bangsa ini memiliki berbagai macam budaya. Setiap etnik memiliki kebudayaan masing-masing. Di samping itu pula ada legitimasi pengetahuan (baca: Michel Foucault) bahwa PTAI tidak akan mengalami kemajuan jika tidak mempelajari budaya global. Jadi ada narasi besar  yang membentuk yaitu industri media yang memang mensupport hal yang demikian. Masyarakat tidak sadar kalau berada dalam zona yang tidak aman. Artinya, masyarakat sudah digiring secara perlahan untuk melupakan budaya lokal dan beralih ke budaya global.

Buku dengan judul Cultural Studies di PTAI: Teori dan Praktik, merupakan racikan kesatuan pemikiran para akademisi dan peneliti yang telah mempresentasikan makalahnya dalam diskusi bulanan yang  secara rutin diadakan oleh Laboratorium Religi dan Budaya Lokal (LABEL) Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga. Selain itu, buku ini juga sebagai catatan perjalanan intelektual dari bulan Januari hingga Desember tahun 2013. Karya ini memiliki kontribusi bagi para akademisi dan peneliti. Tentunya, wabil khusus untuk yang  mendalami kajian keilmuan Cultural Studies.

Ada tiga ulasan utama naskah nusantara yang menjadi benang merah dalam kajian buku ini. Yang mana semua itu mengarah pada kebudayaan yang berasal dari tradisi lokal. Diantaranya: kearifan Islam Jawa, sufisme Sunda dan keberagaman masyarakat Bugis. Kearifan Islam Jawa mengurai dan menjelaskan tentang penyebaran agama Islam di tanah  Jawa  yang  disebarkan oleh Walisongo. Salah satu diantaranya adalah dakwah yang  disampaikan oleh Sunan Kalijaga. Beliau menyebarkan agama Islam dengan pendekatan budaya lokal. Metode dakwah yang ditempuh oleh beliau merupakan langkah yang komodatif-akulturatif. Artinya ada pelajaran yang dapat diambil lewat buku ini, yaitu bagaimana kontektualisasi dalam menyampaikan nilai-nilai ke-Islaman yang kaffah (Rahmatan Lil Alamin) tentunya dengankedamaian bukan lagi melalui kekerasan. Karena pada dasarnya merubah sesuatu bukanlah secara jasmaniah akan tetapi secara rohaniah.

Bagian Pertama, kajian teoritis Baedhowi misalnya,  menarasikan karya Kyai Siradj tentang “Irang-irang sekar panjang”.Naskah Irang-irang mengandung ajaran agama Islam yang bersifat teologis yang diambil dari naskah teks-teks suci al-Qur’an dan Hadist. Dalam karyanya beliau mengkomparasikan dengan tembang-tembang  ala Jawa yang menjadi idola masyarakat, yaitu: macopat, geguritan dan tembang suluk. Inilah yang menjadikan karya Kyai Siradj diterima dengan baik oleh masyarakat. Beliau melakukan yang demikian, karena sebagai seorang yang tengah memperjuangkan nilai-nilai agama Islam, beliau  menyadari bahwa dakwah melalui media kebudayaaan Jawa sebenarnya merupakan sebuah proses transformatif, dan merupakan wasilah (perantara) yang sangat efektif agar masyarakat mencintai nilai-nilai keislaman. Sehingga proses pengenalan dan internalisasi nilai-nilai keislaman lebih mudah diterima.

Melihat latar pendidikan beliau (Kyai Siradj), ia pernah belajar dan mendalami agama Islam di tanah suci Mekkah.  Namun, pada praktiknya beliau tidak menerapkan Islamisasi ala Islam Arab. Beliau menyebarkan agama Islam dengan tetap menjaga dan melestarikan kebudayaan nusantara. Dari kontek ke teks, begitulah sebutan yang layak terhadap metode dakwah yang dilakukan oleh Kyai Siradj. Di sisi lain naskah beliau (Irang-irang sekar panjang) mengandung dua aspek ajaran. Pertama, aspek keimanan yang menjelaskan tentang kehidupan yang abadi setelah kehidupan di dunia. Kedua, aspek keislaman, dalam naskah tersebut mengandung pembelajaran makrifat, sariat, tarikat dan hakikat. Karena beliau merupakan pengikut tulen aliran Ahlu Sunnah.

Bagian kedua, “Sastra sufistik Sunda karya Haji Hasan Mustapa” meneguhkan tentang Islam lokal melalui karya sastra. Ada 10.000 bait puisi dangding dan guritan sufistik yang ditulisnya. Jajang A Rohmana (Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung) mengkaji karya sastra tersebut dan merefleksikan dunia sufi yang disenyawakan oleh Haji Hasan dengan suasana alam dan budaya Sunda. Hal tersebut menjadi ketertarikan tersendiri karena langkah yang demikian merupakan upaya kongkrit seorang ilmuan. Oleh karenanya  memahami dan memaknai nuansa lokal merupakan hal yang sangat penting,  sebagai landasan bertindak dalam mentransformasikan segala gagasan yang akan diterapkan di masyarakat. Namun terkadang hal tersebut berbanding terbalik yang mana seorang akademisi seakan-akan membawa teori dan mencoba untuk mengkonstruksi masyarakat dengan teori yang telah diketahui. Tanpa merekonstruksi sosio kultural yang ada di masyarakat. Padahal teori dan realitas sering kali tidak berjalan sebagai mana mestinya.

Bagian ketiga, kajian yang ditulis oleh Asma Lutfi mengkaji tentang “Aji Moderang” pada masyarakat bugis utamanya  masyarakat yang letak geografisnya berada di pedesaan. Aji muderang merupakan cara orang bugis dalam mengekpresikan pemahaman dan pengalaman terhadap ibadah haji dalam situasi modern. Dalam hal ini ibadah haji tidak hanya dianggap sebagai hal yang berorientasi ibadah, namun haji juga sebagai bekal yang berorientasi status sosial (Emile Durkheim). Artinya seseorang yang sudah melaksanakan haji secara status sosial akan mengalami perubahan.  Pemahaman tersebut tidak mengalami perubahan walaupun masyarakat sudah berada dalam arus modernitas. Modernitas hanya dijadikan sebagai pelengkap tanpa meninggalkan hal-hal yang ada kaitanya dengan budaya lokal. Dalam kaidah ushul fiqh “Al Muhafadhatu ‘Alaal Qodim As Shalih, Wal Akhdzu Bi Al jadid Al- Aslah” (mempertahankan tradisi lama yang relevan, dan mengambil tradisi baru yang baik).

Pada dasarnya ketiga kajian di atas memiliki karakteristik dan kajian pemikiran yang sama dengan metode dakwah yang diterapkan oleh Sunan Kalijaga, yaitu kajian penyebaran agama Islam melalui wasilah (perantra) budaya lokal. Oleh karenanya, Buku ini merupakan kumpulan ilmu yang fokus pada kajian Cultural Studies. Lewat buku ini pembaca akan lebih menyadari betapa pentingnya mengetahui kebudayaan yang telah kita miliki.  Buku ini tidak hanya direkomendasikan menjadi referensi peneliti dan dosen. Namun  juga cocok menjadi referensi mahasiswa baik mahasiswa lama maupun mahsiswa baru (pemula). Karena lembaran tulisan yang terkumpul dalam buku ini  merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh berbagai pakar keilmuan tentang kebudayaan. Dan narasi tulisan yang dihadirkan tentunya dengan bahasa sederhana dan mudah dipahami. Apalagi dijadikan sebagaai bahan acuan mahasiswa yang mulai belajar menerapkan teori dengan realitas sosio kultural. Catatan akhir, seseorang dapat memahami dengan baik isi buku ini jika seseorang paham tentang kebudayaan daerahnya masing-masing.

 

*) Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Sosiologi, saat ini sedang  menjabat sebagai sekretaris BEM-Ps Sosiologi  Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Saat ini sedang menjabat di BEM Ps Sosiologi