Lpmarena.com, Jagongan perdamaian lintas agama bertajuk “Saatnya Kaum Muda Bersatu Menjaga Perdamaian Indonesia” digelar di Gereja Kristen Jawa (GKJ) Gondokusuman, Selasa malam (28/10). Acara yang diadakan oleh Aliansi Pemuda dan Mahasiswa Cinta Damai (APMCD) bekerja sama dengan Lembaga Analisis Wacana (Lawan) diselenggarakan dalam rangka memperingati hari sumpah pemuda. Menghadirkan tiga pembicara: Alissa Wahid (psikolog/putri Gusdur), Pendeta Indrianto dari GKJ, dan Betriq Kindy Arrazy (panitia acara sekaligus pengurus APMCD).
Pemuda
Dari kacamata Alissa anak muda adalah simbol perlawanan. Perubahan besar datangnya dari pemuda. “Anak muda adalah pelawan kemapanan. Ia tak mau terjebak dalam hal yang itu-itu saja. Ia kritis. Anak muda adalah kesatria. Energi perubahan,” kata Alissa.
Makna sumpah pemuda sendiri bagi Kindy merupakan manifestasi pikiran para pemuda. “Orang-orang muda yang dulu disebut pahlawan, pengkhianat, mereka mengalami pergolakan pemikiran yang progresif,” kata Kindy. Ia mencontohkan seorang tokoh bernama Kartosoewirjo. Meski dirinya berbeda dengan Soekarno, kedua orang ini masih tetap berdialektika dengan sehat.
Dari Pendeta Indrianto sendiri mengajak pemuda untuk melawan sikap apatis. “Melawan ketidakpedulian. Melawan aksi budaya kekerasan,” ucap Indrianto bersemangat.
Alissa juga menambahkan, Indonesia membutuhkan pemimpin-pemimpin muda baru yang bisa mengubah dan menggerakkan. Pemimpin muda tersebut sering lahir dari seorang aktivis. Namun begitu, Alissa menyindir para aktivis. Menurutnya, orang yang merasa dirinya aktivis ada perasaan sombong dibandingkan yang lain (yang tidak berjuang dikatakan bodoh). Aktivis lupa akan tugasnya yaitu mengaktifkan, menggerakkan, menjembatani, dan membangun kesadaran. “Apa yang dibawa aktivis? Ada dua, intelektualitas dan merakyat. Ia tidak hanya berbusa-busa di menara gading,” ucapnya.
Perdamaian
Kindy menjelaskan tentang dua PR utama menyangkut perdamaian. Ada dua faktor yang mempengaruhi, yaitu internal dan eksternal. Internal menyangkut egosentrisme identitas masing-masing etnis. Eksternal menyangkut masalah modernisasi, globalisasi. “Pemuda berada di titik nyaman teknologi dan fasilitas. Pemuda menjadi autis dan acuh akan kondisi sosial,” tutur Kindy dengan nada khawatir.
Sedangkan menurut Alissa, perdamaian tidak akan terjadi jika keadilan tidak ada. “Perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi,” ujarnya. Ia mencontohkan, jika Jakarta dan Papua pembangunannya tidak adil, perdamaian akan sulit dicapai.
Mengutip perkataan Gusdur, “yang sama jangan dibeda-bedakan. Yang beda jangan disama-samakan.” Alissa menggulirkan wacana tentang toleransi dan kearifan lokal. Menurutnya, kearifan lokal di Indonesia yang begitu banyak harus digali dan tidak sekedar mencomot modernitas. (Isma Swastiningrum)